Edward terkejut saat istrinya yang hilang ingatan tiba-tiba mengajukan gugatan cerai kepadanya.
Perempuan yang selama empat tahun ini selalu menjadikan Edward prioritas, kini berubah menjadi sosok yang benar-benar cuek terhadap apapun urusan Edward.
Perempuan itu bahkan tak peduli lagi meski Edward membawa mantan kekasihnya pulang ke rumah. Padahal, dulunya sang istri selalu mengancam akan bunuh diri jika Edward ketahuan sedang bersama mantan kekasihnya itu.
Semua kini terasa berbeda. Dan, Edward baru menyadari bahwa cintanya ternyata perlahan telah tumbuh terhadap sang istri ketika perempuan itu kini hampir lepas dari genggaman.
Kini, sanggupkah Edward mempertahankan sang istri ketika cinta masa kecil perempuan itu juga turut ikut campur dalam kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemui Nana
"Ini akan jadi kejutan besar untuk Edward," gumam Silva setelah menerima pesan dari salah satu teman baiknya di pagi hari.
Masih menggunakan piyama tidur, Silva keluar kamar untuk mencari keberadaan Edward. Dan, ternyata pria itu sudah berada di meja makan dengan semangkuk mie rebus dihadapannya.
"Ed, kamu sarapan apa?" tanya Silva berbasa-basi.
"Mie rebus," jawab Edward singkat. "Maaf, aku cuma bikin satu. Soalnya, aku harus buru-buru ke kantor. Kalau kamu mau, kamu bisa bikin sendiri."
"Nggak ada makanan yang lain?" tanya Silva. Mie instan adalah salah satu makanan yang sangat tidak ia sukai.
Menurutnya, makanan tersebut hanya cocok untuk rakyat jelata. Bukan calon istri seorang CEO, seperti dirinya.
"Nggak ada," geleng Edward. "Biasanya, Nana selalu masak sarapan yang sehat dan bergizi. Tapi, karena sekarang dia lagi nggak ada, makanya kita harus makan yang ada saja."
"Hmmm... Ed?" panggil Silva ragu-ragu.
"Kenapa?"
Wajah Silva dibuat sebimbang mungkin. Dan, hal tersebut cukup berhasil menarik perhatian Edward.
"Ada yang mau kamu sampaikan? Katakan saja! Nggak usah ragu," lanjut Edward.
Silva kemudian meletakkan ponselnya didekat Edward.
"Kamu harus lihat ini!"
Sedetik.
Dua detik.
Hingga tiga detik berlalu, mata Edward sontak langsung memerah. Tangannya mengepal dengan kuat. Foto yang sedang ia lihat, benar-benar membuat dadanya serasa terbakar.
"Kamu dapat foto ini darimana, Sil?" tanya Edward.
"Temanku yang kirim. Katanya, dia nggak sengaja lihat Nana di resto hotel Marriott tadi malam," jawab Silva. "Kamu kenal sama laki-laki itu, Ed?" lanjutnya bertanya.
"Nggak," geleng Edward dengan napas yang mulai memburu karena amarah.
"Kayaknya, laki-laki itu teman dekatnya Nana. Lihat saja! Gesture keduanya kelihatan seperti sudah sangat kenal sekali. Mereka kelihatan mesra kayak orang pacaran."
Brak!
Silva tersentak kaget saat Edward reflek memukul permukaan meja.
"Nana!" geram Edward. "Pantas saja dia begitu percaya diri untuk keluar dari rumah ini. Ternyata, karena dia sudah punya laki-laki lain yang bersedia menampungnya," lanjut Edward sambil tersenyum sinis.
"Apa Nan
a juga menginap di hotel yang sama?" tanya Edward lagi.
"Kayaknya sih, iya. Nana..."
Belum selesai kalimat yang ingin dikatakan Silva, namun Edward sudah lebih dulu bangkit kemudian menyambar jas yang ia sampirkan di sandaran kursi.
"Ed, kamu mau kemana?" tanya Silva sembari menahan pergelangan tangan Edward.
"Aku mau ke hotel Marriott," jawab Edward.
"Bukannya, kamu buru-buru mau ke kantor?"
"Urusan kantor bisa ditunda. Yang paling penting sekarang adalah menemukan Nana dan menghentikan dia untuk mempermalukan aku diluar sana."
"Kalau gitu, aku ikut, ya!" pinta Silva.
"Tapi..."
"Aku ganti baju dulu. Kamu tunggu sebentar, ya!" pangkas Silva dengan cepat.
Jika, Edward ingin menemui Nana maka Silva harus ikut. Silva tak mau jika Edward luluh terhadap perempuan muda yang manja itu.
Edward hanya boleh mendengar kata-katanya. Bukan kata-kata Nana.
"Ed, aku sudah siap."
Setelah menunggu selama hampir lima belas menit, akhirnya Silva keluar juga. Dia dan Edward pun segera berangkat menuju ke hotel Marriott.
Sampai di hotel yang dituju, Edward lekas menanyakan posisi kamar Nana. Begitu berhasil mendapatkannya, dia segera memasuki lift bersama Silva untuk menuju ke kamar Nana.
"Na, keluar!" teriak Edward sambil menggedor-gedor pintu.
"Ed, jangan-jangan... Nana lagi sama laki-laki itu didalam," ucap Silva memanas-manasi Edward.
Dan, usaha Silva nyatanya berhasil. Edward benar-benar semakin marah setelah mendengar ucapan Silva.
"Nana!! KELUAR! ATAU..."
Cklek!
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Ucapan Edward pun seketika menggantung diudara.
Tanpa permisi, Edward langsung memasuki kamar Nana. Diperiksanya setiap sudut ruangan untuk mencari keberadaan pria yang semalam tertangkap kamera bersama Nana.
"Tuan Edward! Apa yang kamu lakukan!?" tanya Nana dengan kesal.
Rencana untuk malas-malasan dan menghabiskan waktu seharian diatas kasur empuk hotel terpaksa batal gara-gara ulah sang suami bersama gundiknya.
"Mana laki-laki yang semalam bersama kamu, Na?" tanya Edward saat tak berhasil menemukan sosok lain didalam kamar sang istri.
"Laki-laki?" Nana mengerutkan keningnya. "Laki-laki yang mana?"
"Jangan pura-pura nggak tahu! Kamu pasti sengaja menyembunyikan dia disuatu tempat, kan? Ayo ngaku!" desak Edward sambil menyentak lengan Nana penuh emosi.
"Na, ayo jujur saja! Dimana laki-laki itu? Seharusnya, kalau kamu memang punya pria idaman lain, kamu jujur saja sama Edward! Jangan malah main belakang seperti ini! Kasihan, nama baik Edward bisa tercemar jika orang lain tahu kalau istrinya berselingkuh bersama pria lain bahkan tidur sekamar di hotel."
Silva tersenyum miring. Ucapannya akan semakin menyulut emosi Edward.
"Diam, kamu!" hardik Nana ke arah perempuan itu.
"Jangan bentak Silva! Dia nggak salah! Yang salah itu, kamu!" tukas Edward memberi pembelaan.
Nana pun seketika tersenyum begitu sinis. Edward selalu saja mempercayai ucapan Silva. Bahkan, tanpa perlu mencari tahu kebenaran pun, laki-laki itu akan terus percaya pada perkataan cinta pertamanya itu.
"Apa dia punya bukti?" tanya Nana dengan sorot mata tajam.
"Ya, aku punya bukti. Ini dia," sahut Silva sembari memperlihatkan foto Nana bersama Dylan di restoran hotel tadi malam.
Sontak, Nana pun tertawa. Dia memukul tangan Edward sehingga cengkraman pria itu terlepas dari lengannya.
"Foto ini hanya membuktikan kalau aku lagi makan bareng sama laki-laki lain. Bukan sekamar seperti yang tadi kamu tuduhkan, Silva!"
Silva kelabakan. Dia berusaha mencari alasan lain.
"Ta-tapi, kalian kelihatan mesra sekali. Bahkan, kamu tertawa lebar sekali saat bersama laki-laki ini. Sementara, waktu sama Edward, kamu jarang banget ketawa. Senyum juga nggak pernah."
Apa yang dikatakan Silva sangat benar sekali. Dan, Edward sangat setuju dengan semua itu.
"Na, sebagai seorang wanita, kita itu harus punya harga diri. Jangan mau menjadi simpanan! Itu hal yang sangat memalukan, Na!"
Nana memutar bola matanya malas. "Kamu lagi ngomongin diri sendiri, ya?"
Degh!
Mata Silva sontak melebar. Sial! Dia terjebak dalam kata-katanya sendiri.
"A-aku..."
"Aku dan Silva nggak selingkuh. Kami hanya berteman. Nggak lebih!" celetuk Edward membela dirinya dan juga Silva.
Silva pun mengangguk setuju.
"Hanya berteman, ya? Tapi, kok sering ciuman?"
"Kamu tahu darimana soal itu?" tanya Edward keceplosan.
Dan, Nana langsung menyeringai sinis. "Jadi, benar, ya? Kalian memang sering melakukan hal serendah itu?"
Edward langsung membuang muka. Sementara, Silva merasa semakin tersinggung akibat kata-kata Nana.
"Seenggaknya, kami nggak tidur bareng kayak kamu sama laki-laki itu," pekik Silva.
Plak!
Telapak tangan Nana reflek mendarat di pipi kiri Silva dengan begitu keras.
"Coba katakan lagi!" titah Nana dengan suara penuh penekanan.
"Aku bilang, kamu sama laki-laki itu sering tidur ba..."
Plak!
Lagi, Nana menampar pipi Silva dengan sangat keras.
"Na! Jangan keterlaluan!" ucap Edward tak terima.
Sementara, Silva tampak memegang pipinya sambil tersenyum penuh kemarahan.
"Heh! Nggak usah mengelak, Na! Laki-laki sama perempuan ketemuan di hotel nggak mungkin cuma sekadar makan. Pasti, mereka juga akan check-in dan melakukan sesuatu yang nggak pantas."
Silva meradang. Dua kali tamparan yang diberikan oleh Nana akan dia kembalikan secepatnya.