NovelToon NovelToon
Paman, Aku Mencintaimu

Paman, Aku Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Enemy to Lovers
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.

Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 - Luka Tak Sengaja

Dibalik tirai kantor yang setengah tertutup, Gilang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Jakarta di luar sana masih ramai seperti biasa, langit kelabu menggelantung di atas gedung-gedung yang tak pernah tidur. Tapi di dalam ruangan itu, yang terdengar hanyalah detak jam dan suara hatinya sendiri yang tak bisa dibungkam.

Ia berhasil.

Semua berjalan seperti yang ia rencanakan.

Tari kini telah dipanggil ke ruang audit internal. Nama gadis itu muncul dalam dokumen yang bocor. Meski belum terbukti bersalah, sorotan mata orang-orang di kantor sudah berubah. Bu Tirta pun mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam saat rapat. Kepercayaan itu mulai retak. Pelan-pelan.

Tepat seperti yang ia mau.

Ia tahu, sejak awal itu adalah tujuan—membuktikan bahwa Tari tak layak. Bahwa darah daging pun bisa goyah. Bahwa hanya dia, Gilang, yang benar-benar bisa diandalkan.

Tapi anehnya, hari ini, ia tidak merasa puas.

Ia tidak merasa menang.

Ia merasa kosong.

Beberapa jam sebelumnya, ia melihat Tari duduk sendiri di ruang tunggu audit. Wajah gadis itu pucat, tangannya gemetar meski berusaha tampak tenang. Tapi yang paling menghantam Gilang... adalah mata itu.

Mata yang percaya padanya.

Mata yang dulu memandangnya dengan kagum. Dengan lembut. Dengan kepercayaan yang tidak pernah diminta, tapi diterima begitu saja.

Dan kini mata itu... menatap ruang audit dengan kebingungan dan kecewa.

Dan Gilang tahu—dialah penyebabnya.

Dialah yang menyuruh staf IT internal untuk menggiring laporan ke arah Tari. Dialah yang menciptakan celah agar namanya muncul. Dialah yang diam saat Bu Tirta mulai mempertanyakan posisi Tari.

Karena ia ingin Bu Tirta melihat: bahwa satu-satunya yang pantas tetaplah dirinya.

Tapi sekarang, saat semua itu ada dalam genggamannya... mengapa ia merasa sedang mematahkan sesuatu yang berharga?

“Lo udah berubah, Lang.”

Suara itu datang dari Eko, sahabatnya sejak kuliah. Mereka sedang duduk di rooftop kantor, di bangku panjang di balik mesin pendingin.

Gilang mengangkat wajah. “Maksud lo?”

“Dulu lo bisa bedain strategi dan nurani. Sekarang semua lo sikat demi satu posisi.”

“Dia bukan siapa-siapa di perusahaan ini. Baru datang, belum ngerti apa-apa, udah naik ke atas. Kalau bukan cucunya Bu Tirta, mana bisa?”

“Tapi lo juga bukan anak kandung Bu Tirta. Lo juga naik karena beliau percaya sama lo, bukan karena darah.”

Gilang terdiam.

Eko menatapnya tajam. “Gue lihat cara lo ngeliat cewek itu. Lo nggak bisa bohong. Lo peduli sama dia.”

“Gue cuma...”

“Lo jatuh cinta sama dia, Gilang. Dan lo malah ngebikin dia hancur.”

Gilang memalingkan wajah. Tangannya terkepal di pangkuan.

“Lo yakin lo nggak nyakitin diri sendiri?”

Saat kembali ke ruangannya, Gilang membuka laptop. Ia membuka file lama—presentasi bisnis pertama Tari di Bali. Lalu ia membuka foto Tari di hari pengumuman itu. Wajah terkejut, tapi ada cahaya di matanya.

Cahaya itu... kini redup.

Dan ia yang memadamkannya.

Gilang menunduk, menutup laptop. Tangannya gemetar.

Malam itu, di apartemen yang biasanya membuatnya tenang, Gilang malah merasa dinding-dindingnya menyempit. Ia membuka kemeja, masuk ke dapur, menuang segelas air, dan menatap bayangannya di kaca kulkas.

Apa yang sedang ia lakukan?

Apa ia benar-benar ingin menjatuhkan gadis itu?

Atau... ia sebenarnya hanya takut. Takut kehilangan tempatnya. Takut Bu Tirta tak lagi memandangnya sebagai pewaris.

Tapi apakah semua ketakutan itu... pantas dibayar dengan menghancurkan seseorang yang hanya ingin membuktikan diri?

Keesokan paginya, Tari tidak terlihat di ruang kerja. Ia tidak hadir di rapat. Tidak makan siang di pantry. Bahkan tidak terlihat di koridor.

Gilang menahan diri untuk tidak bertanya. Tapi hatinya gelisah.

Saat malam turun dan lampu kantor mulai redup, Gilang naik ke lantai empat. Di sana, di dekat taman terbuka kantor, ia menemukannya.

Tari duduk sendiri di bangku kayu, memeluk lutut, menatap lampu taman.

Gilang berdiri di ambang pintu kaca. Ia ingin melangkah. Ingin bicara. Ingin menjelaskan.

Tapi ia tahu, tidak ada kata maaf yang bisa menghapus luka yang dibuat dengan rencana.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Gilang merasa kecil.

Karena dalam perang yang ia mulai sendiri... ia justru yang paling kalah.

1
Rendi Best
lanjutkan thor🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!