Asyifa rela jadi adik madu dari Naura, wanita cantik yang bersosialita tinggi demi pendidikan yang layak untuk kedua adiknya. Hanya saja, Adrian menolak ide gila dari Naura. Jangankan menyentuh Asyifa, Adrian malah tidak mau menemui Asyifa selama enam bulan setelah menikahinya secara siri menjadi istri kedua. Lantas, mampukah Asyifa menyadarkan Adrian bahwa keduanya adalah korban dari perjanjian egois Naura, sang istri pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebelas - Gaun Merah
“Ternyata, dia membelikan rumah mewah untuk Linda dan anak-anak mereka,” ucapnya dengan berderai air mata. “Rumah itu lebih mewah dari rumahku dan Rudi, dan hal yang paling mengejutkan, mereka sudah menikah SAH tanpa sepengetahuanku, sebelum anak pertama mereka lahir. Mereka menikah Sah dengan berdasarkan surat perjanjian yang aku buat, sehingga pihak Kantor Urusan Agama mengesahkannya, karena berdasarkan surat itu, aku telah menyetujuinya,” jelas Desti dengan sesenggukan.
“Kok bisa sih? Kamu bilang Rudi sangat mencintaimu dan tidak akan berpaling darimu meski ada Linda?” tanya Dini.
“Iya dia mencintaiku, dan mencintai Linda. Dia tidak mau melepaskan Linda juga diriku. Terlebih Orang tua Rudi tahu pernikahan dia dengan Linda karena aku yang minta, karena aku yang tidak mau hamil. Sekarang aku tidak tahu harus bagaimana, Rudi bilang semua yang ia kasih untuk Linda sudah di atas namakan anak-anak mereka, sudah tercatat dalam surat dari Notaris, itu semua sah,” ucapnya.
Naura yang mendengarnya membuat dirinya bimbang. Pikirannya berkecamuk, ia pun takut itu akan terjadi pada dirinya. Namun seketika pikiran seperti itu menghilang, kembali ia melihat tubuh indahnya, dan mengingat semua kejadian pahit yang pernah ia saksikan, hingga ia tidak ingin bentuk indah tubuhnya ternodai karena dia hamil dan melahirkan.
Dasar gendut! Gak bisa rawat tubuh, baru saja anak satu, apalagi kalau anak tiga?! Kau tahu kalau kau sudah tak cantik lagi? Membosankan!
Naura menutup matanya, mengingat kata-kata yang pernah terlontar dari seseorang. Hatinya berdenyut, sakit rasanya saat mengingat semua itu.
“Enggak, aku yakin Mas Adrian tidak seperti Rudi. Aku harus yakin!” batin Naura menenangkan dirinya.
“Ra, aku takut kamu bernasib sama denganku, Ra,” ucap Desti.
“Des, jangan berpikiran begitu, aku saja yang menjalaninya santai kok. Aku percaya Mas Adrian,” ucapnya dengan senyum yang mengambang ragu.
“Aku sudah menebak ini pasti akan terjadi, lagian kalian itu aneh, udah kodratnya hamil ya udah sih hamil saja. Enak punya anak tahu, kalau punya anak cewek kayak punya saingan dari rahim sendiri, kalau cowok seperti punya penjaga kecil yang selalu ngademin hati,” ujar Lena
“Len ... pemikiran orang kan beda-beda? Gak semua kayak kamu. Lagian kamu punya anak saja gak pernah ngurus? Yang ngurusin ibu mertua sama ibumu, kadang suster?” ujar Nina.
“Ya kan ada mereka, ngapain aku yang urus? Ada pembantu, suster, aku tugasnya menyenangkan suami di ranjang dan senang-senang dong?” jawab Lena santai.
“Sudah ada teman yang lagi gini kalian malah ribut! Kalian sama saja seperti kita!” lerai Dini.
“Aku harus gimana? Aku masih sangat mencintai Rudi, aku butuh dia. Tapi, aku tidak mau cinta Rudi terbagi, aku ingin pisah, Rudi tidak mau. Dan satu lagi, aku disalahkan Mama dan Papa juga atas semua ini,” ucap Desti.
“Mama sama Papamu tahu?” tanya Naura.
“Iya mereka semua tahu, baru kemarin aku tahu, kalau aku tidak ingin hamil, Ra. Kamu tahu kontrak kerjaku, kan? Aku ini model terkenal, aku gak mau merusak tubuhku ini sedikit pun!” jawabnya.
“Sudah-sudah, selesaikan dengan baik-baik semua ini, Des. Aku yakin kamu bisa menjalani semua ini, dan keputusan terbaik ada pada dirimu. Sekarang, kita kan mau liburan? Mau di sini saja menyelesaikan masalah kamu dengan Rudi, dan madumu, atau ikut kami?” ucap Naura.
“Aku gak bisa meninggalkan acara di Paris, Ra Ini acara yang aku tunggu dari tahun lalu, kamu ngerti, kan?” ucap Desti.
“Oke, jadi kamu ikut? Yakin? Udah dapat izin Rudi?” tanya Naura.
“Sudah, dia tahu satu minggu yang lalu,” jawab Desti.
“Ya sudah, jangan nangis lagi. Sekarang fokus untuk ke Paris dulu, ya?” Naura memeluk sahabatnya itu, menenangkannya di dalam pelukan.
Sebetulnya Naura masih memikirkan Adrian, apalagi perkataan Adrian tadi saat di kantor terngiang selalu di telinganya. Naura menepiskan rasa khawatirnya itu, jika memang Adrian sampai seperti Rudi, itu adalah konsekuensi dari perbuatan dirinya.
**
“Ini apa, Pak Yoga?” tanya Asyifa.
“Tuan Adrian meminta mengirimkan semua ini untuk Nyonya,” jawabnya.
“Pak, kan saya bilang, panggil Asyifa saja,” protes Asyifa.
“Tidak, Nyonya, karena itu adalah kesalahan besar, saya tidak bisa memanggil orang sembarangan, apalagi Nyonya adalah istri Tuan Adrian, nanti saya bisa dipecat oleh Tuan,” jelas Yoga.
“Baiklah, saya nurut saja. Ini Handphone?” tanya Asyifa.
“Iya, Tuan sudah memasang kartunya, nanti Tuan akan menghubungi Nyonya. Sudah tahu cara pakainya, Nyonya?” tanya Yoga.
“Saya juga pernah punya seperti ini, Pak Yoga, jadi saya bisa pakainya, tapi karena kebutuhan sekolah kedua adik saya yang mengharuskan pakai Handphone untuk tugasnya, jadi saya berikan pada adik saya,” jawab Asyifa.
“Saya kira Nyonya tidak bisa,” ucapnya.
“Ya sudah kalau begitu saya pamit, Nyonya. Takut kelamaan, nanti Tuan marah,” pamit Yoga.
“Benar tidak mau ngopi dulu?” tanya Asyifa.
“Haduh ... tidak usah, Nyonya, bisa berat urusannya kalau Tuan tahu saya ngopi di sini, saya sudah diwanti-wanti Tuan supaya cepat kembali ke kantor setelah urusan ini selesai,” jelas Yoga.
“Ya sudah, terima kasih ya, Pak?” ucap Asyifa.
Selepas Yoga pergi dari rumahnya, Asyifa membawa beberapa box dan paper bag yang dibawa Yoga ke dalam, karena dia menemui Yoga di teras rumah saja. Ia tidak mau memasukkan laki-laki lain ke dalam rumahnya, kecuali pekerja yang disuruh Asyifa membetulkan sesuatu yang rusak di rumahnya.
Asyifa membuka satu persatu paper bag tersebut, juga beberapa kotak yang ia letakkan di atas meja.
“Ya Allah ... ini kenapa Pak Adrian memberikan baju sebanyak ini? Tas, sandal, sepatu, parfum, sampai skincare ini yang aku beli di klinik seberang saja dibelikan? Untuk apa sih?” gumam Asyifa sambil mengeluarkan barang-barang tersebut.
“Ini ada baju Pak Adrian juga? Apa Pak Adrian mau tinggal lama di sini? Aduh ... bagaimana ini? Apa aku siap melakukannya? Kok deg-degan?” ucapnya dengan menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya yang semakin kencang.
Dengan hati bertanya-tanya, apakah setelah ini suaminya akan sering tinggal di rumahnya, Asyifa menata baju miliknya dan baju Adrian yang baru saja dibawakan Yoga.
Sore menyapa, Asyifa terlihat sudah rapi dengan pakaian santainya. Setelah mandi ia memilih duduk di teras sambil membuka handphone barunya, lalu ia menghubungi adiknya di kampung. Memberitahukan kalau dia sudah punya handphone baru.
Ting!
Ada notifikasi pesan masuk di gawai Asyifa. Segera ia buka, ia berharap adiknya membalas pesan darinya, namun ternyata itu pesan dari Suaminya.
“Suamiku?” batin Asyifa melihat kontak yang mengirimkan pesan padanya. Lalu ia membuka pesan dari Adrian.
[Nanti malam aku pulang ke rumahmu. Aku mau kita mengenal lebih dekat lagi, Asyifa.]
Jantung Asyifa berdebar membaca isi pesan dari Adrian. Ia tidak tahu harus bagaimana nanti malam saat Adrian di rumahnya.
[Baik, Pak.]
Jawab Asyifa.
[Dandan yang cantik, aku mau kamu memakai baju warna merah hati yang aku belikan tadi siang.]
“Hah? Baju merah hati itu?” Asyifa sontak bergidik ngeri mengingat baju merah hati yang tadi Adrian bawakan.