Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilar di Antara Reruntuhan
Dina berdiri di depan ruang rapat yang megah di Surabaya. Gedung pencakar langit di sekelilingnya terasa seperti dunia lain dibandingkan Jatiroto yang sederhana. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Mira sudah mengirimkan pesan pagi ini, memberikan semangat. “Apa pun keputusanmu, aku tahu itu untuk kebaikan kita semua,” tulis Mira. Pesan itu menjadi jangkar bagi Dina, mengingatkannya pada tujuan awalnya.
Di dalam ruangan, para investor sudah menunggu. Pak Bimo duduk di ujung meja, tersenyum menyambut Dina. Setelah presentasi yang berlangsung selama setengah jam, seorang pria berjas abu-abu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Surya, berbicara dengan nada serius.
"Kami sangat terkesan dengan proyek Anda, Dina. Energi terbarukan di desa terpencil adalah sesuatu yang sangat kami dukung," katanya. "Namun, untuk memastikan proyek ini dapat berkembang, kami merasa perlu untuk mengambil peran lebih besar dalam pengelolaannya."
Dina mengerutkan dahi. "Maksud Anda, investor akan mengambil alih proyek ini?"
Pak Surya tersenyum tipis. "Bukan mengambil alih, tetapi mengelola dengan lebih profesional. Anda tetap akan terlibat sebagai konsultan utama, tetapi keputusan strategis ada di tangan kami. Dengan skema ini, kami bisa menjamin pembangunan tidak hanya tiga, tapi lima kincir angin tambahan."
Hati Dina terasa berat. Ia tahu, ini bukan sekadar tentang membangun lebih banyak kincir. Ada harga yang harus dibayar: kedaulatan desanya.
"Saya mengerti tawaran Anda," jawab Dina dengan suara tenang. "Tapi, apakah ada kemungkinan untuk melibatkan koperasi desa sebagai mitra utama? Saya ingin proyek ini tetap menjadi milik masyarakat."
Pak Surya tertawa kecil. "Koperasi desa mungkin cocok untuk tahap awal, tapi untuk skala besar, kita perlu pengelolaan yang lebih efisien. Anda harus memilih, Dina. Inovasi besar membutuhkan keputusan besar."
Dina meminta waktu untuk berpikir. Ia meninggalkan ruang rapat dengan kepala penuh keraguan.
Di Jatiroto, situasi semakin tegang. Kelompok kecil warga yang tidak puas mulai menyebarkan kabar burung bahwa proyek Dina hanya menguntungkan sebagian orang. Mira berusaha menenangkan situasi, tetapi tanpa kehadiran Dina, suasana semakin sulit dikendalikan.
"Kita perlu tahu siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan kincir itu," kata Pak Karim dalam pertemuan darurat warga. "Kalau sabotase ini dibiarkan, kita tidak akan pernah maju."
Pak Hamdan menambahkan dengan nada keras, "Bagaimana kita bisa percaya pada proyek ini kalau dari awal saja sudah ada masalah seperti ini?"
Mira mencoba menenangkan mereka. "Dina sedang berusaha mencari solusi terbaik. Kita harus percaya padanya. Sabotase ini hanya ujian kecil, dan kita pasti bisa melewatinya."
Namun, di sudut ruangan, seorang pemuda bernama Joni tampak gelisah. Ia terus memandangi lantai, menghindari tatapan siapa pun. Mira memperhatikan hal itu, tapi ia tidak mengatakan apa-apa—belum saatnya.
Malam itu, Dina kembali ke desa. Ia mengumpulkan semua warga di balai desa untuk menjelaskan hasil pertemuannya dengan investor.
"Mereka menawarkan dana besar untuk membangun lebih banyak kincir angin," kata Dina, suaranya terdengar mantap. "Tapi ada syarat: mereka ingin mengambil alih pengelolaan proyek ini."
Ruangan itu langsung dipenuhi bisikan. Beberapa warga tampak bingung, sementara yang lain mulai terlihat khawatir.
"Aku menolak tawaran mereka," lanjut Dina, membuat semua orang terdiam. "Karena aku percaya bahwa proyek ini adalah milik kita. Jika kita menyerahkan semuanya, apa yang akan tersisa untuk kita?"
Pak Karim berdiri. "Kalau begitu, apa rencanamu? Kita tidak punya cukup uang untuk membangun lebih banyak kincir."
Dina tersenyum tipis. "Kita akan membangun koperasi yang lebih kuat. Kita akan bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang mendukung usaha kecil seperti kita. Memang, ini akan memakan waktu lebih lama, tapi kita tidak akan kehilangan kedaulatan kita."
Mira menatap Dina dengan bangga. Kata-kata sahabatnya itu seakan menyulut semangat baru di hati semua warga.
Namun, tak lama setelah pertemuan selesai, masalah lain muncul. Mira mendekati Dina dengan wajah serius.
"Din, aku rasa aku tahu siapa yang merusak kincir itu," katanya pelan.
Dina terkejut. "Siapa?"
Mira menunjuk ke arah rumah Joni. "Aku melihat dia bolak-balik ke area kincir malam sebelum rusak. Aku tidak mau menuduh tanpa bukti, tapi sikapnya tadi mencurigakan."
Dina mengangguk. "Kita harus bicara dengannya. Tapi jangan sampai kita membuatnya merasa terpojok."
Keesokan paginya, Dina dan Mira menemui Joni di rumahnya. Awalnya, Joni tampak enggan berbicara, tetapi setelah didesak dengan lembut, ia akhirnya mengaku.
"Saya... saya hanya kesal," katanya dengan suara gemetar. "Ayah saya merasa dia tidak mendapat apa-apa dari proyek ini, jadi dia menyuruh saya membuat kerusakan kecil supaya perhatian orang tertuju ke dia. Saya tidak tahu ini akan menjadi masalah besar."
Dina merasa marah, tetapi ia menahan diri. "Joni, proyek ini untuk kita semua. Jika ada masalah, seharusnya kalian datang dan bicara dengan kami, bukan melakukan sabotase."
Joni menunduk, merasa bersalah. "Saya akan bertanggung jawab. Saya akan membantu memperbaiki apa pun yang perlu diperbaiki."
Dina dan Mira kembali ke balai desa, membawa kabar tentang pengakuan Joni. Meski ada rasa kecewa, warga merasa lega bahwa pelakunya sudah ditemukan. Dina memanfaatkan momen ini untuk menekankan pentingnya transparansi dan kerja sama.
"Ini adalah pelajaran bagi kita semua," kata Dina di depan warga. "Kita harus saling percaya dan mendukung. Jika ada masalah, bicarakan. Jangan biarkan rasa frustrasi menghancurkan apa yang telah kita bangun."
Dari kejauhan, kincir angin yang telah diperbaiki berputar pelan, seolah menyimbolkan harapan baru bagi Jatiroto. Dina tahu, jalan di depan masih panjang, tetapi ia percaya bahwa bersama-sama, mereka bisa menghadapi apa pun.
Malam itu, balai desa Jatiroto kembali dipenuhi suara warga. Meskipun kasus sabotase telah terungkap, luka yang ditinggalkan tetap membekas. Beberapa warga merasa marah pada Joni dan ayahnya, sementara yang lain merasa simpati karena memahami tekanan yang mereka alami.
Dina berdiri di tengah ruangan, mencoba memimpin diskusi dengan tenang.
“Kita tidak bisa membiarkan insiden ini memecah belah kita,” katanya, suaranya mantap. “Joni sudah mengakui kesalahannya, dan dia siap bertanggung jawab. Sekarang, tugas kita adalah mencari cara agar semua warga merasa terlibat dan mendapat manfaat dari proyek ini.”
Pak Karim angkat bicara, “Tapi, Dina, kalau masalah ini terus berulang, bagaimana kita bisa melanjutkan? Ketidakpuasan seperti ini harus diatasi dengan tegas.”
Dina mengangguk. “Betul, Pak. Karena itu, aku ingin membentuk tim khusus yang terdiri dari perwakilan warga untuk memastikan transparansi proyek. Tim ini akan mengawasi pembagian manfaat, pemeliharaan kincir, dan pengelolaan koperasi. Semua keputusan akan dibahas bersama.”
Warga mulai saling pandang, beberapa mengangguk setuju. Ide itu tampaknya memberi mereka rasa memiliki yang lebih besar.
Keesokan harinya, Dina mengundang Mira, Pak Karim, dan beberapa warga lain untuk membahas langkah konkret. Joni juga hadir, meski ia terlihat gugup.
“Joni,” kata Dina lembut, “aku ingin kamu memimpin tim pemeliharaan kincir. Kamu tahu bagaimana kincir itu bekerja, dan ini bisa jadi cara bagimu untuk menebus kesalahan.”
Joni terkejut. “Aku? Tapi… bagaimana kalau aku membuat kesalahan lagi?”
“Kita semua belajar dari kesalahan,” jawab Dina. “Yang penting adalah kemauanmu untuk berubah.”
Mira tersenyum ke arah Joni, memberi semangat. “Kita semua ada di sini untuk mendukungmu.”
Sementara itu, masalah dengan investor belum selesai. Dina menerima pesan dari Pak Bimo yang meminta kepastian tentang keputusan Jatiroto. Investor masih berharap Dina mengubah pikirannya dan menerima tawaran mereka.
“Din, kamu yakin nggak mau nerima tawaran itu?” tanya Mira saat mereka berjalan di sekitar desa sore itu.
“Aku sudah bilang, Ra. Kalau kita menyerahkan segalanya ke mereka, kita akan kehilangan kendali. Proyek ini bukan hanya soal kincir angin. Ini tentang membangun sesuatu yang benar-benar milik kita.”
Mira mengangguk pelan, meski raut wajahnya masih menyimpan kekhawatiran. “Tapi mereka punya sumber daya yang jauh lebih besar. Apa kamu yakin kita bisa bertahan tanpa bantuan mereka?”
Dina tersenyum tipis. “Kita akan menemukan jalan. Aku percaya pada kemampuan kita. Tapi aku juga tidak menutup kemungkinan untuk bekerja sama dengan pihak lain yang lebih menghargai visi kita.”
Beberapa hari kemudian, Dina menerima telepon dari seorang aktivis energi terbarukan yang pernah mendengar tentang proyek Jatiroto. Aktivis itu, seorang perempuan bernama Farah, menawarkan bantuan teknis dan menghubungkan Dina dengan komunitas yang mendukung proyek desa mandiri.
“Aku suka ide koperasi yang kamu usulkan,” kata Farah melalui telepon. “Banyak desa lain juga mengembangkan model serupa. Mungkin kita bisa mengadakan pertemuan dengan komunitas lain untuk berbagi pengalaman.”
Dina merasa semangatnya kembali menyala. Ia tahu, ini adalah peluang untuk memperluas jaringan dan memperkuat posisi Jatiroto tanpa harus menyerahkan kendali kepada investor besar.
Di tengah perjalanan pulang dari sawah bersama Mira, Dina berhenti di dekat kincir angin. Mereka memandang baling-baling besar yang berputar pelan di bawah sinar matahari senja.
“Kita sudah melewati banyak hal,” kata Dina pelan.
“Tapi perjalanan kita baru saja dimulai,” sahut Mira.
Dina tersenyum. “Dan aku bersyukur punya kamu di sisiku, Ra. Aku nggak akan bisa melakukannya sendirian.”
Mira menepuk bahu Dina. “Kamu nggak pernah sendirian, Din. Warga Jatiroto ada di belakangmu. Selama kamu percaya pada mereka, mereka akan percaya padamu.”
Dina mengangguk. Ia menatap langit yang mulai berubah warna, memantapkan hatinya untuk tantangan berikutnya. Di kejauhan, kincir angin terus berputar, membawa harapan dan janji bagi desa kecil mereka.
Bersambung...