seorang anak perempuan bercita-cita untuk sukses bersama sang ayah menuju kehidupan yang lebih baik. banyak badai yang dilalui sebelum menuju sukses, apa saja badai itu?
Yok baca sekarang untuk tau kisah selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica Wulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Surga
Sinar matahari pagi menerobos celah tirai, menyinari wajah Alya yang masih sembab. Kenangan semalam masih terasa jelas sentuhan tangan Romi, rasa sakit, dan air mata yang tak tertahankan. Ia baru saja bangun dari tidur yang tak nyenyak, rasa sesal menusuk hatinya.
Namun, pandangannya tertuju pada sebuah ATM card yang terletak di nakas. Luna, kakaknya, telah menaruhnya di sana semalam. Dengan tangan gemetar, Alya memeriksa saldo di ATM tersebut di m-banking HP baru milik-Nya. Lima puluh juta rupiah! Nominal yang begitu besar, menutupi rasa sesal yang sempat menguasainya. Senyum tipis terukir di bibirnya, menggantikan rasa sesal dengan kebahagiaan semu.
*Ceklekk*
Beberapa saat kemudian, Luna memasuki kamar. Ia melihat Alya sudah bangun dan langsung mendekat.
"Gimana, perasaan kamu? Seneng kan sama pekerjaan ini?" tanya Luna, suaranya lembut namun penuh arti.
Alya hanya mengangguk, matanya masih tertuju pada ATM card di tangannya. Lima puluh juta rupiah… itu cukup untuk mengubah hidupnya.
"Baguslah kalau kamu suka," kata Luna, tersenyum puas. "Kalau kamu rajin melayani para pria kaya itu, kamu bisa cepat kaya, Sayang. Kamu bisa beli apartemen mewah kayak punya aku, bahkan lebih bagus lagi!"
Mendengar ucapan Luna, sebuah harapan baru muncul di hati Alya. Bayangan apartemen mewah, mobil mewah, dan kehidupan yang serba berkecukupan memenuhi pikirannya. Ia membuang jauh-jauh rasa sesal yang sempat muncul. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah jalan terbaik untuk mencapai keinginannya.
"Iya, Kak," jawab Alya, suaranya mantap. "Aku akan terus bekerja seperti ini. Aku mau cepat kaya!" Senyumnya kini lebih lebar, terpancar tekad yang kuat untuk terus menjalani pekerjaan itu, meskipun ia tahu bahwa itu adalah jalan yang penuh resiko dan penuh dengan dosa.
🕰🕰🕰🕰🕰🕰🕰🕰
Menjelang pukul 3 sore, Aisyah dan Caca menyelesaikan urusan pendaftaran mereka. Mereka berjalan beriringan menuju gerbang universitas, sambil berbincang ringan.
"Ca, capek banget, deh!" keluh Aisyah, menyeka keringat di dahinya.
"Iya, nih. Tapi seneng juga, akhirnya selesai juga!" jawab Caca, tersenyum lega.
Tiba-tiba, sebuah motor berhenti di depan mereka. Bagas, laki-laki yang tadi pagi menabrak Aisyah, turun dari motornya. Ia tersenyum ramah kepada Aisyah dan Caca.
"Aisyah, kebetulan banget ketemu kamu lagi," sapa Bagas. "Pulang bareng, yuk? Aku antar."
Aisyah sedikit terkejut, namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Eh, Kak Bagas? Gak usah repot-repot, kok. Kosan kami dekat dari sini," jawab Aisyah, menolak dengan sopan.
"Ya sudah, kalau begitu. Sampai jumpa lagi, ya," kata Bagas, tersenyum. Ia kembali naik motornya dan pergi.
Begitu Bagas pergi, Caca langsung menggoda Aisyah. "Wih, Say! Langsung dapet gebetan aja nih! Kak Bagas ganteng banget, lho itu omagaa kayak habibi arab!"
Aisyah langsung memerah. "Sssttt... Diam, Ca! Jangan ngomong gitu!" Ia mencubit lengan Caca, sedikit kesal.
"Aw! Sakit, Say!" Caca meringis, namun tetap tersenyum jahil. "Tapi serius, dia perhatian dan ganteng banget, lho. Sayang kan kalau dilewatin."
"Ih, aku gak mau pacaran dulu, Ca! Aku mau fokus kuliah dulu, ngumpulin IPK tinggi, terus wujudkan cita-cita aku," jelas Aisyah, menjelaskan alasannya.
Caca mengangguk mengerti. "Iya, iya... Aku ngerti kok. Tapi, jadi temen boleh, kan?" Caca menambahkan dengan jahil, mengedipkan sebelah matanya.
Aisyah tersenyum kecil. "Temen boleh lah, tapi jangan ganggu fokus kuliahku juga"
Caca tertawa lepas. "Nah gitu dong!" Mereka berdua melanjutkan perjalanan pulang ke kosan, dengan hati yang gembira dan penuh semangat untuk memulai babak baru kehidupan kuliah mereka.
...****************...
Aroma masakan yang harum memenuhi dapur kost sederhana Aisyah dan Caca. Mereka berdua memasak bersama, suasana penuh canda dan tawa. Aisyah mengiris bawang putih, sementara Caca mengaduk sambal.
"Say, ngomong-ngomong, si lenong kuliah nggak, ya?" tanya Caca, tiba-tiba. Ia mengerutkan hidungnya, mengingat Alya, sepupu Aisyah yang terkenal centil.
Aisyah tertawa mendengar pertanyaan Caca. "Lenong, kok lenong sih ca, Kamu emang benci banget sama dia, ya?"
Caca mendengus. "Idih, emang dia itu lenong Say,udahlah bedak tebel 5 senti sok cantik pula hihhh!"
Aisyah kembali tertawa. "Ya ampun, kamu ini. Aku juga nggak suka sama kelakuannya, tapi nggak sampe sebenci itu, kok."
"Terus, dia kuliah apa nggak?" Caca masih penasaran.
Aisyah menggeleng. "Aku nggak tau, Ca. Kayaknya dia nggak kuliah deh. Aku juga jarang ketemu dia, jadi nggak tau pasti."
Caca berdecak. "Halah, pasti lagi sibuk cari mangsa baru, tuh!"
Aisyah tertawa lagi. "Jangan gitu, Ca! Kasian juga, lho. Mungkin dia lagi ada masalah."
"Masalah apa coba? Masalah kekurangan cowok kali!" Caca berseloroh, mengaduk sambal dengan semangat. Aisyah hanya menggelengkan kepala, tersenyum geli melihat tingkah sahabatnya yang satu itu. Mereka melanjutkan kegiatan memasak mereka, suasana dapur kembali dipenuhi dengan aroma masakan dan tawa mereka.
Setelah makan malam, Aisyah dan Caca bersantai di ruang tamu kost mereka. Suasana malam terasa tenang dan nyaman.
"Ca, aku lagi mikir-mikir nih," kata Aisyah, memegang cangkir teh hangat di tangannya.
"Mikir apa, Sya?" tanya Caca, menatap Aisyah dengan penuh perhatian.
"Aku pengen nyari kerja sampingan, sambil kuliah," jawab Aisyah, suaranya terdengar sedikit ragu.
Caca langsung mengerutkan keningnya. "Hah? Ngapain, sih, nyari kerja? Nanti kamu capek kuliah, sya! Kota besar ini bahaya, lho! Aku takut kamu kenapa-kenapa."
Aisyah tersenyum lembut. "Aku ngerti kok, kekhawatiran kamu. Tapi, aku harus bantu Ayah, Ca. Biaya kuliahku kan lumayan mahal. Terus, aku juga pengen nabung buat kirim uang ke Ayah di desa."
"Tapi, Say…" Caca masih terlihat khawatir.
"Aku nggak mau merepotkan Ayah terus, Ca. Aku pengen meringankan bebannya. Lagian, aku bisa atur waktu kok, antara kuliah dan kerja," Aisyah meyakinkan sahabatnya.
Caca menghela napas panjang. Ia mengerti keadaan Aisyah. "Aku ngerti, Say. Maaf, aku terlalu khawatir. Tapi, aku sendiri nggak bisa bantu. Ayahku pasti melarang aku kerja."
Aisyah mengangguk mengerti. "Iya, aku ngerti kok. Kamu kan termasuk orang berada, walaupun nggak kaya banget hihi."
Caca tersenyum kecil. "Ihh nggak ya kita semua sama aja, cuma ayahku memang over banget makanya aku cuma bisa dukung kamu dari sini. Semangat ya sya! Aku yakin kamu bisa ngatur waktu dengan baik."
Aisyah tersenyum, merasakan dukungan dari sahabatnya. Ia merasa lebih tenang dan bersemangat untuk menghadapi tantangan ke depannya. Ia akan tetap fokus pada kuliahnya, sambil mencari pekerjaan sampingan untuk membantu meringankan beban keluarganya.
Setelah menunaikan sholat isya berjamaah di mushola dekat kosan, Aisyah dan Caca kembali ke kamar kost mereka. Suasana malam terasa tenang dan damai.
"Say," kata Caca, tiba-tiba, sambil duduk di samping Aisyah yang sedang membaca Al-Quran.
"Iya, Ca?" jawab Aisyah, menutup Al-Qurannya.
"Aku… aku mau minta tolong, deh," kata Caca, suaranya sedikit malu-malu.
"Minta tolong apa?" tanya Aisyah, tersenyum.
"Ajari aku ngaji, dong," pinta Caca, menunduk. "Aku masih belum terlalu bisa ngaji."
Aisyah tertawa mendengar permintaan Caca. "Hah? Kamu? Mau belajar ngaji? Kok tumben banget?"
Caca cemberut. "Ya, aku mau belajar aja sih! Jangan ketawa terus!"
Aisyah masih tersenyum. "Ya ampun, Ca! Kamu ini udah gede, masih aja belum pandai ngaji. Kalah sama anak kecil, lho!"
Caca langsung ngambek. "Ih, jahat banget, sih! Aku kan nggak pernah belajar ngaji. Di rumah, aku sibuk terus." Ia membuang muka, pura-pura kesal.
Aisyah tertawa geli melihat tingkah Caca yang seperti anak kecil. "Iya, iya… maaf, maaf ya sayangku. Aku cuma bercanda, kok. Yaudah, aku ajarin, deh. Tapi, kamu harus serius, ya!"
Caca langsung tersenyum kembali. "Iya, aku serius, kok! Makasih, Say!"
Aisyah mengambil alquran karna dia tidak ada iqro dan membuka halaman pertama. Ia mulai mengajari Caca membaca huruf-huruf hijaiyah. Caca terlihat antusias, meskipun terkadang masih kesulitan melafalkan beberapa huruf. Aisyah dengan sabar membimbing dan mengoreksi bacaan Caca.
"Ini huruf alif, bacaannya… alif," kata Aisyah, menunjuk huruf alif di Al-Quran.
Caca mencoba membacanya. "A… alif?"
Aisyah tersenyum. "Bagus! Sekarang coba baca ini," Aisyah menunjuk huruf ba.
Caca mencoba lagi, "Ba… ba?"
"Betul sekali! Kamu pintar juga, lh ca" puji Aisyah. Caca semakin bersemangat. Mereka berdua belajar ngaji hingga larut malam, suasana kamar kost dipenuhi dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran dan tawa mereka. Meskipun terkadang Caca masih kesulitan, namun Aisyah selalu sabar membimbingnya.
Di akhir pembelajaran, Caca sudah bisa membaca beberapa ayat pendek dengan lancar. Ia merasa senang dan bersyukur bisa belajar ngaji dari Aisyah. Aisyah juga merasa senang bisa berbagi ilmunya dengan sahabatnya.