NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tahun Baru Pertama

 

Setelah melewati perdebatan alot yang membuat Raga dan Ronald nyaris smackdown, Raga tetap bersikukuh pada pendiriannya.

“Aku nggak akan pergi, tanpa Nada.”

“Ya sudah, ayo!”

“Tuh! Nada aja mau!” sambut Ronald penuh semangat.

“Aku yang nggak mau Nada kelayapan dengan cowok hingga lewat tengah malam. Bagaimana pun, dia gadis. Nggak pantas dilihat orang.”

“Nggak ada masalah! Jalan ya jalan aja,” paksaku.

Aku bersikap demikian sebab tidak mau kawan-kawan Raga beranggapan kehadiranku merusak euforia mereka menikmati malam pergantian tahun. Setiap persahabatan pasti memiliki tradisinya masing-masing. Mungkin sebelum ada aku, mereka biasa merayakan tahun baru bersama-sama. Lalu, Ronald merasa Raga berubah. Itu sebabnya dia marah.

Selain itu, aku tidak terima terhadap komentar Kevin yang kurang nyaman di telinga. Komentar yang seolah menantangku untuk membuktikan bahwa stereotip mengenai cewek itu tak sepenuhnya benar.

“Ayo berangkat sekarang!” tantangku kemudian ketika melihat mereka berlima bengong. “Aku tuh sama saja dengan kalian!”

“Nggak! Tempat paling aman untuk kamu itu di rumah, bersama Ibu dan Bapak,” cegah Raga. Yang lain masih diam, menatapku dengan ekspresi aneh masing-masing. “Kita nggak akan ke mana-mana. Kita temani Nada, paling tidak sampai orang tuanya pulang.”

Seperti biasa, keputusan Raga selalu menjadi keputusan akhir. Tidak ada pertentangan. Bahkan Ronald yang semula beringas melawan pun, pada akhirnya tunduk.

Pukul 5 sore, kami bubar. Setelahnya, aku pun bergegas mandi, salat asar, lalu mengisi waktu dengan menulis cerpen di ruang tamu. Rumahku tak ada TV, tak ada media hiburan. Kalau sedang sendiri, yang bisa kulakukan hanya membaca atau menulis.

Bapak sudah berangkat narik becak sejak pukul 4, sebelum insiden berantemnya Raga dan Ronald terjadi. Malam tahun baru merupakan malam penuh berkah bagi para pengais rezeki jalanan seperti Bapakku. Tentu saja tak boleh disia-siakan.

Sebelum Bapak berangkat, aku sudah berpesan, “malam nanti aku nggak ikut ke tempat Ibu. Aku mau sama teman-teman.”

“Mau ke mana?” Bapak menatap kami secara bergantian.

“Nggak ke mana-mana, Pak. Di sini saja.” Raga buru-buru menjawab pertanyaan tersebut.

 

🍁🍁

 

Malam pun menjelang. Lampu rumah kunyalakan semua, sehingga suasana terang benderang. Sembari menunggu kedatangan Raga dan komplotannya, aku mengeluarkan mesin ketik dan mulai mengetik naskah cerpen yang rencana hendak dikirim ke redaksi majalah.

Sebagai gambaran saja, rumahku ini memiliki arsitektur kuno mirip rumah zaman Belanda. Bangunannya besar, dengan halaman luas. Halaman belakang difungsikan sebagai tempat jemuran dan juga garasi. Ada tiga kolam ikan ukuran sedang yang berisi Gurami dan Koi. Garasinya sendiri bisa muat dua mobil jenis Carry dan Sedan.

Sementara halaman depan, luasnya setengah dari halaman belakang. Lumayan luas juga. Hanya saja, halaman belakang berupa tanah dengan rumput liar di sebagian tempat tertentu, sedangkan halaman depan sudah paving, nyaman untuk tempat nongkrong.

Sekitar pukul 18.30 WIB, mereka datang rame-rame. Selain Raga, Kevin, Satria, Ronald, dan Taufik, ada Tania dan Kirana juga.

Kirana adalah kekasih Taufik. Mereka PDKT sejak SMP, lalu jadian setelah lulus. Taufik keren! Mengejar satu gadis dan setia menunggu sampai dapat. Tidak seperti Ronald yang—sumpah—sifatnya cocok sekali dengan nama julukannya.

Buaya!

Di antara mereka berlima, yang paling santai dalam urusan perempuan itu hanya Satria dan Kevin. Kevin sudah jelas wataknya memang dingin. Sementara Satria, karena orangnya super baik, dia cenderung memilih persahabatan daripada kepentingan sendiri.

Cowok berbadan kekar tersebut pernah menyukai seorang gadis yang bersekolah di SMK F Madiun. Kejadiannya sebelum kenal aku—waktu mereka masih kelas 1. Satria sedang gencar-gencarnya PDKT ketika tahu-tahu ceweknya diembat Ronald.

Dia juga salah, sih. Ngapain ngajak si Boyo mendatangi tuh cewek? Sudah tahu Boyo matanya ijo kalau lihat barang bening. Ya kena tikung, lah.

Lalu, dengan legowo Satria mengalah dan berucap santai, “biar saja kalau mereka bahagia. Toh kayaknya saling menginginkan, kok.”

Gemes nggak, sih?

 

🍁🍁

 

Malam itu kami bersantai lesehan di halaman depan. Ronald mengangkut kursi plastik untuk digunakan duduk, sebab dia dan Tania mojok di dekat tanaman kaktus. Raga memainkan gitar, menyanyikan lagu kebanggaan yang pada akhirnya mendapat protes keras dari kami semua. Eneg rasanya setiap hari mendengar lagu yang liriknya Adam dan Hawa melulu.

“Basi banget! Ganti kek, lagu apaan gitu!” Taufik yang lebih dulu nyeletuk. Langsung diamini oleh kami semua.

Raga sebagai pihak terhujat hanya bisa nyengir, lalu menghentikan petikan gitarnya. “Lagu ‘apaan gitu’ teh, kuncina naon nya?” guraunya dengan logat Sunda yang kental.

Entah kenapa aku senang mendengar Raga berbicara dalam logat Sunda. Keren aja dengernya. Beda dengan Rio.

Ah... dia lagi!

“Da aku mah baru tahu, ada lagu judulna ‘apaan gitu’. Kuncina teh naon?”

“Kuncinya iman dan takwa!” sahut Satria disambut tawa cekikikan kami.

“Itu mah lagu Bang Haji!” sangkal Raga.

“Haji siapa?” Satria nge-leg.

Raga kembali memetik senar gitarnya, lalu mulai ngaco. “Streees... obatnya iman dan takwaaa... etaaaa!”

“Heuuu,” dengus Satria sembari melengos, disusul oleh yang lain. Sementara aku hanya bisa menahan tawa melihat tingkah mereka.

Rasanya duniaku benar-benar lengkap. Aku seakan tak butuh apa-apa lagi. Kakak lelaki yang sudah lama aku inginkan telah aku miliki. Bukan hanya satu, bahkan sekaligus lima. Mereka dengan ciri khas masing-masing, karakter masing-masing, yang semuanya memiliki keunikan.

“Makan bakso kayaknya enak,” celetuk Raga kemudian, menatap kami satu persatu.

“Ayok!” dukung Ronald dari pojokan.

“Wei! Iniii... heci, apa kabar?” Satria menunjuk sepiring bakwan sayur di atas kursi. Taufik membawanya dari rumah waktu masih hangat tadi.

“Kurang nampol, Sat!”

“Iya, aku belum makan sejak sore!” Ronald menimpali ucapan Raga. “Udah, buruan! Siapa yang jalan ke sana?”

“Laaah? Kok siapa yang jalan?” Raga mengalihkan tatapannya ke sudut halaman tempat Ronald indehoi. “Jalan rame-rame, atuh!”

“Aku nitip aja, Ga!” Ronald keukeuh pada pendiriannya. “Lagi pewe!”

“Hadeeeuh,” keluh Raga. “Sudah kuduga.”

“Biar aku yang beli!” usulku menengahi perdebatan yang tidak mungkin ketemu ujungnya. Bisa-bisa gagal makan bakso gara-gara berdebat.

“Beli di...?”

“Sleko.” Aku menjawab pertanyaan Raga dengan cepat. Dan sebelum dia membalas, aku berucap lagi. “Aku sendiri aja.”

“Aku temani!” Raga ngotot.

“Nggak! Mas Raga di sini, jaga rumah.”

“Emang takut rumahnya dibawa siapa?”

Aku menunjuk sudut gelap halaman rumahku menggunakan dagu. “Tuh! Harus ada yang jagain mereka.”

Tawa Raga, Satria, Taufik dan Kirana membelah kesunyian.

Malam itu, suasana memang jauh lebih lengang dari biasanya. Mungkin karena malam pergantian tahun, semua orang merayakan. Tetangga sebelah rumah—yang hanya satu-satunya, sepertinya sedang bepergian juga. Rumahnya tampak kosong dan gelap sejak sore.

“Aku antar naik motor, Dek. Biar cepet.” Raga berusaha membujuk.

Namun, aku tetap menggeleng.

“Kalo gitu, kamu bawa motor aja....” Raga terdiam menatap empat motor yang terparkir di dekat kami. Empat motor yang semuanya berkopling, bahkan tiga di antaranya motor sport.

Senyumku menyembur melihat ekspresi pemuda itu tatkala menatap tempat parkir.

“Udahlah ya... jalan kaki aja,” pungkasku tak mau ribet.

Tanpa banyak cakap, Raga mengambil dompet di kantong celana bagian belakang dan mengeluarkan selembar uang. Dia berikan lembaran merah tersebut kepadaku.

“Bakso aja ini?” Aku mengacungkan uang di tangan seraya menatap tamuku satu persatu.

Raga mengikuti arah pandangku seakan menyerahkan keputusan kepada yang lain. Padahal, itu uang miliknya. Namun, dia bersikap seolah uang tersebut merupakan kuasa kami.

Memang paling enak nongkrong bersama Raga. Kami sama sekali tidak keluar modal. Raga tidak pernah perhitungan dan selalu bertindak sebagai big bos yang siap menghilangkan lapar dan dahaga para sahabatnya.

Kalau soal materi memang dia tidak pernah kekurangan. Ibarat kata, lagi tidur pun uang datang. Yang dia butuh hanya sahabat, orang-orang yang dapat mengisi formasi kosong dalam hidupnya, yakni keluarga.

 

🍁🍁

 

Dengan berjalan kaki, aku meninggalkan rumah dan para tamu. Pasar Sleko tak terlalu jauh. Jaraknya kurang dari 1 Km. Ditempuh dengan jalan kaki pun, 10 menit sampai.

Tiba di belokan gang menuju jalan raya, ada yang menyusul langkahku, mengejar dari belakang. Sontak aku menoleh. Saat itu juga, kurasakan Dewi Fortuna tengah menaungiku.

Bagaimana tidak? Kevin, si gunung es yang biasa masa bodoh terhadap keberadaan orang lain, yang sejak datang ke rumah tidak keluar suara sepatah kata pun, yang kupikir masih kesal terhadapku gara-gara pertengkaran Raga dan Ronald sore harinya, saat itu sedang berjalan menjajari langkahku. Ketika kutoleh dan tatapan kami bertemu, dia mengulaskan senyum tipis.

Ya Tuhan, mimpi apa aku kemarin malam?

“Koko ngapain nyusul?” Aku bertanya keheranan. O iya, aku biasa memanggil dia dengan sebutan Koko—panggilan untuk kakak lelaki dalam etnis Tionghoa.

“Nemenin kamu,” jawabnya singkat.

“Aduuuh! Aku sih nggak perlu ditemani juga berani.”

“Kalau siang sih nggak apa-apa.”

“Lah, apa bedanya?”

“Malem tuh rawan buat cewek.”

Diam-diam senyumku mengembang, diam-diam kusembunyikan dalam tundukan kepala.

Dikhawatirkan oleh orang yang kita sukai, yang sebelumnya tak pernah acuh kepada kita, gimana sih rasanya? Bisa kalian bayangkan apa yang tengah berkecamuk dalam batinku saat itu?

Kami lantas saling diam, fokus dengan diri masing-masing. Sambil terus berjalan, yang mana tempat tujuan sudah tampak di depan mata. Tinggal menyeberangi jalan raya, sampailah di Pasar Sleko.

“Kamu sama Raga gimana?” tanya Kevin tiba-tiba, pada saat kami sedang menunggu sepinya kendaraan yang melaju di Jalan Trunojoyo.

Jelas aku kaget mendapat pertanyaan demikian.

“Maksudnya? Gimana apanya?” Kutoleh dia.

Tampak jelas wajahnya yang hanya berjarak sejengkal dari wajahku. Debaran di dada ini kian tak menentu. Menatap wajah mengagumkan itu dari jarak sedemikian dekat, rasanya tak dapat dijelaskan dengan apapun.

Mendadak Kevin memutar pandangan ke arahku. Tentu saja aku kelimpungan karena kedapatan menatap dia dengan sorot mata kagum. Untungnya pemuda itu tak menunjukkan reaksi apapun. Seolah tidak sadar bahwa dirinya diperhatikan sejak tadi, dia tetap lempeng seakan tidak ada yang spesial.

Ah, mungkin baginya sudah biasa dikagumi dan diperhatikan oleh lawan jenis seperti barusan. Walaupun Satria bilang tidak ada cewek yang dekat dengan dia selain aku, aku tidak mau langsung percaya. Mustahil rasanya jika pemuda setampan Kevin tidak disukai banyak gadis.

Kualihkan tatapan ke kanan, berpura-pura mengamati kendaraan yang melaju berkesinambungan sehingga tak ada celah untuk menyeberang sama sekali.

“Kalian sudah jadian?” Sebuah suara menyapa gendang telinga.

Aku kembali menoleh. “Ngapain Koko tanya begitu?”

Kevin menggeleng cepat.

“Nggak pa-pa,” jawabnya singkat, lalu menggamit lenganku—kode supaya cepat menyeberang jalan. Kebetulan lalu lintas jeda sesaat.

Sesampainya di seberang, aku terkesiap ketika menyadari ada jari yang menyelip di sela-sela jari tanganku. OMG! Mimpikah ini, Tuhan? Dia menggenggam tanganku, menggandengku selama kami menyeberangi jalan raya.

Mungkin Kevin melakukan hal tersebut atas dasar tanggung jawab, demi keselamatan. Tapi namanya hati, yang pada dasarnya sudah menyimpan rasa. Wajar jika kebahagiaanku berlebihan. Ternyata—di balik sikap cueknya—Kevin peduli kepadaku.

Ketika cowok berkemeja biru tua itu melepas genggamannya, mendadak aku berkata seperti orang bego, “aku dan Mas Raga belum jadian, Ko.”

Sungguh pernyataan tak berguna. Itu jawaban terlambat yang mungkin sudah tak diharapkan lagi oleh Kevin. Atau memang pertanyaannya hanya sekadar basa-basi? Aku tak tahu.

Yang jelas, Kevin balik lagi ke setelan awal. Bak gunung es, dia terlihat dingin dan tidak menggubris ucapanku.

 

🍁🍁

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!