Tentang sebuah perasaan dan liarnya hati ketika sudah tertuju pada seseorang.
Rasa kecewa yang selalu menjadi awal dari sebuah penutup, sebelum nantinya berimbas pada hati yang kembali merasa tersakiti.
Semua bermula dari diri kita sendiri, selalu menuntut untuk diperlakukan menurut ego, merasa mendapatkan feedback yang tidak sebanding dengan effort yang telah kita berikan, juga ekspektasi tinggi dengan tidak disertai kesiapan hati pada kenyataan yang memiliki begitu banyak kemungkinan.
Jengah pada semua plot yang selalu berakhir serupa, mendorongku untuk membuat satu janji pada diri sendiri.
”tak akan lagi mencintai siapapun, hingga sebuah cincin melekat pada jari manis yang disertai dengan sebuah akad.”
Namun, hati memanglah satu-satunya organ tubuh yang begitu menyebalkan. Untuk mengendalikannya, tidaklah cukup jika hanya bermodalkan sabar semata, satu moment dan sedikit dorongan, sudah cukup untuk mengubah ritme hari-hari berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lu'lu Il Azizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Apa kau juga merasakannya?
Dia adalah Ain! Masih menggunakan seragam kampusnya, kedua siku bertumpu pada Speedo motor, memandang wajah dekil ku penuh senyum khas anak kecil.
“pansos gundul mu!”ku lempar dia dengan patahan ranting kecil yang berserakan di sekitarku.
Aku mendengus, melihat ekspresi yang dia tunjukan.“senyummu keliatan puas sekali, dasar adik durhaka!”tambahku, mengubah posisi. Kembali menuju tempat semula, ngadem di bawah pohon. Ain cuma tertawa, sebelum akhirnya dia turun dari motor dan mendekat, jongkok persis di depanku sambil mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya.
”biar gak jadi durhaka, kasian kakakku, dekil sekali.”dia menawarkan tisu ukuran kecil sambil cengengesan.
Ku ambil beberapa, segera ku gunakan untuk membersihkan wajah.”berangkat atau pulang Sek?”dengan sengaja, aku melempar tisu bekas membersihkan muka itu, tepat di wajah Ain yang berjarak tidak sampai satu meter denganku.
”mas. jorok!”gerutunya sambil merubah posisi, bersiap mencubit lenganku. Tapi aku lebih cekatan, mampu lebih dulu menepis tangannya. Namun, karena hal itu Ain menjadi hilang keseimbangan dan akan terjatuh kebelakang, dengan reflek aku menarik tangannya lalu meraih punggung kecil itu guna menahan berat tubuhnya. Beruntung tanganku kuat dan kakiku mampu menahan keseimbangan hingga tidak membuat kami tersungkur bersama. Mata kami bertemu. Lagi, sebuah moment terjadi, hatiku ngegas tanpa aba-aba, debarannya...
“apa kau juga merasakan hal sama?”sepersekian detik batinku menerka.
“kan! Gara-gara mas!”Ain bergegas mengganti posisi sekaligus mengalihkan pandangan. Wajahnya sedikit memerah, mataku melihatnya seperti itu.
“hehe. Maaf.”ucapku menahan diri, berusaha untuk tetap terlihat tak peduli. Lalu kami duduk bersebelahan, berlindung dari terik matahari di balik bayangan pohon besar.
”ini, untuk alas. Seragam Mu nanti kotor.”aku menyodorkan jaket yang sudah terlanjur kotor, Ain meraihnya tanpa sungkan. Kami masih duduk bersebelahan, cukup canggung karena moment barusan.“sedang sibuk gak Sek?”aku kembali meminta beberapa tisu darinya.
“ada tugas sih, tapi bisa di tunda, kenapa mas.”Ain menjawab, kini pandangannya mengikuti arah kendaraan yang melintas.”temani aku muter, tugasku belum selesai.”pintaku sambil membersihkan wajah. Namun kali ini aku tidak melempar bekas tisu itu, karena Ain sudah terlebih dahulu melirikku tajam.
Ain masih diam, tidak memberi isyarat apapun. Pandangannya masih bergantian mengikuti arah kendaraan yang cukup rame.
“bisa gak Sek?!"aku mengulang pertanyaan dengan siku yang ku lempar pada bahunya.
“mohh..! Ngajak kok muter, pusing lah. Weekk.”dia menoleh, menjulurkan lidah sembari tertawa. Aku gemas melihat ekspresinya barusan.
“siapa sekarang yang nakal. Mau aku jahilin lagi!”aku melotot ke arahnya. Dia berganti posisi, duduk bersila beralaskan jaketku, masih dengan senyum khasnya, persis anak kecil.
”kan mas sendiri yang ngajarin! Yeyeye...”jawabnya ngeles, sambil bertingkah random.
“iya, aku temenin.. tapi minta upah."kini dia bicara dengan nyengir, penuh maksud.
”gampang! Pasti bakso samping lampu merahkan.”aku menebak yakin.
Benar saja, Ain mengangguk manja.”tapi aku minta satu upah lagi.”dia terlihat menahan tawa.
“hiekkk..”protes ku semakin gemas melihat ekspresinya. Ingin sekali ku tarik hidung mungil itu.
”selama seminggu, eh… sebulan, mas gak boleh panggil aku dengan kata Pesek.”
Sejenak aku berfikir. Kalau aku balas menggodanya, urusan bakal tambah panjang. Ku hela nafas panjang.
“siaap! Adeek Aiinn..”aku merasa aneh dengan nada bicaraku sendiri. Sesaat kami berdua terdiam, saling menatap, lalu perlahan berganti menjadi sebuah tawa. Kami sama-sama merasa tabu mendengar nada itu.
“tau tempat tambal ban daerah sini Sek. Eh..dek Ain.”tanyaku, masih dengan tawa yang belum sepenuhnya tuntas. Seperti halnya Ain, dia juga memberi jawaban dengan tawa tertahan.
Sekitar 15 menit aku mendorong motor vario putih, sebelum akhirnya sampai pada tempat tambal ban. Ain sudah menungguku di sana, aku tadi sengaja menyuruhnya untuk pergi mencari tempat tambal ban terdekat.
”bisa saya tinggal pak? mungkin agak sore saya kesini lagi.”ucapku pada tukang tambal yang mulai sibuk menyiapkan peralatan.”bisa mas. Di ambil besok juga bisa kok.”jawabnya seraya memberi nomer HP yang bisa aku hubungi.
”berangkat sekarang Sek?”aku menyusul dan berdiri di belakang Ain yang duduk di trotoar, tentunya setelah urusanku selesai dengan tukang tambal ban. Ain berdiri, kembali dia memberiku tisu sambil mengerutkan kening dengan lirikan sinis.
”eh, lupa. Dek Ain...”aku nyengir, ternyata dia serius melarang ku memanggil pesek. Ain mengangguk manja, dengan senyum khasnya.
Menyaksikan itu, hatiku kembali berdebar.
”cepat selesaikan kuliahmu Sek.”batinku tidak sabar, ingin rasanya ku peluk dia sekarang juga. Hati! Mohon kerjasama nya... sabar...
“mass.. malah bengong!”
“eh.. ayo berangkat.”ku buang bekas tisu yang masih ku genggam pada tempat sampah yang terletak di bawah pohon dekat Ain memarkir motor.
Sebelum melanjutkan tugas. Ain mengajak untuk singgah dulu di mushola terdekat, tentu saja aku setuju. Seperti hari-hari sebelumnya, nama Ain sudah menjadi topik utama dalam doaku. Semoga takdir kami terikat pada satu benang, benang jodoh. Seperti itulah harapanku.
“mas, sepertinya aku gak bisa ikut.”wajah Ain masam, cukup kecewa. Kami duduk jejer, sama-sama sedang memakai sepatu di pinggir teras mushola.
”jam dua, aku sudah harus berada di pondok. Tapi gapapa, motornya pake aja.”lanjutnya menjelaskan sambil melihat jam tangan yang ada pada lengan kirinya, bibirnya sedikit manyun. Lucu.
Saking gemasnya, dengan reflek aku mencubit hidungnya dengan ke dua jari. Hal yang tadi urung ku lakukan. Entah kenapa kali ini aku berani.
“maasss... sakit!”Ain memukul lenganku bagian atas. Dia semakin manyun.
”kan gak lucu, kalau bibirmu lebih panjang dari hidung.”aku tertawa dan Ain semakin keras memukul.
Jelas terlihat pada raut wajahnya, jika dia masih enggan untuk pulang dan hal itu membuatku merasa kepedean. Rasanya seperti Ain tak rela jika harus berpisah dariku sekarang, aku bahkan punya pemikiran konyol bahwa aku sudah boleh berkata, jika Ain adalah milikku. Dengan wajah cemberut yang belum hilang dia naik pada jok belakang, bersiap aku antar pulang ke pondok.
”kan masih banyak waktu dek. Janji.. lain kali kita akan beneran kencan.”ucapku tanpa sadar, akibat pikiranku yang terlalu jauh membuat asumsi.
deg deg deg...
Aku terdiam setelah ucapanku, aku mengatakannya dengan spontan dan tidak dengan nada bergurau.”tolol! Apa yang kau katakan El.”batinku, dengan debaran semakin gila. Aku terbawa suasana.
Untungnya Ain tidak menjawab apapun, jika dia mengulik ucapanku, aku pasti panik dan tak mampu menjelaskan. Akupun juga tidak bisa melihat raut wajahnya karena kami sudah berada di atas motor meskipun aku belum menyalakan mesin. Sesaat aku merasa Ain menarik ujung kaosku.
Sepanjang perjalanan kami terdiam, tidak ada obrolan. Matahari yang masih terik seakan kehilangan panasnya. Aku sibuk menekan perasaanku, sesekali pandangan kami bertemu pada kaca spion. Hati! Bersahabat Lah...
Sesampainya di samping gerbang pondok. Ain segera turun lalu menyuruhku untuk melakukan hal yang sama, dia bermaksud membuka jok mengambil hoodie yang juga berwarna hitam, sama dengan Hoodie ku yang sedari tadi dia lipatkan pada tangan kiri.
”pakai jaketku mas, pasti muat.”ucapnya singkat. Menjauh pergi melewati gerbang yang sudah terbuka. Aku membuang nafas panjang, memandang punggung kecilnya yang semakin menjauh. Ku pakai hoodie itu, menyalakan sebatang rokok lalu bersiap merampungkan tugasku hari ini. Hatiku masih terus berdebar!
***
Bersamaan dengan berkumandangnya adzan maghrib, aku sampai di toko. Sepertinya malam ini motor Ain akan menginap di garasi toko.
”Vik, tolong...”ku buang wajah pada etalase. Lunglai.
“kenapa El, kau kelaparan?”dia melirik ke arahku, di sela-sela tangan yang sedang sibuk memainkan keyboard.
”motor siapa yang kau bawa?”pandangannya beralih pada kendaraan yang ku parkir di depan toko.
Aku mengabaikan semua ucapan Vika.“kabar buruk Vik!”aku belum merubah posisi, aroma parfum Ain masih melekat pada jaket yang sedang ku pakai. Sepanjang jalan otakku traveling, semua tentang Ain, debarannya tidak bisa ku hentikan.
Hatiku menang!
“ada masalah apa El?”tanya Vika seraya mengarahkan pandangannya padaku dan lekas mendekat, menghentikan sibuknya
Aku melepas nafas panjang hingga mengeluarkan suara.”aku jatuh cinta Vik!”
"Plangg!"
Kepalaku langsung kena tampol, wajah Vika berubah ke mode geram.“gak jelas, cepat mandi! Sebentar lagi mau ku tinggal.”dia ijin pulang lebih cepat, katanya ada acara.
Merasa Vika sedang tidak mood di ajak ngobrol, dengan malas aku masuk ke dalam.
Sehabis mandi kulihat ada satu pesan masuk dari nomer baru.”besok jadi? Kira-kira jam berapa.”
Apa pak Herman punya dua nomer? Pikirku, karena besok aku merasa hanya punya janji dengan beliau. Aku berjalan pelan ke arah kompor gas, bersiap meracik kopi. Setelah ku nyalakan kompor.”insyaallah habis dhuhur, gimana pak?”balasku, sambil menunggu air mendidih.
“aku anaknya!”disertai emot menghela nafas.
Astaga! Setelah aku cek profilnya, ternyata itu memang foto tangan cewek.
”hehehe. maaf mbak, baru sadar.”ku sertakan stiker bocah menutup muka. Selanjutnya, beberapa kali kami saling tukar pesan, sedikit membahas tentang agenda besok. Sebelum akhirnya kami mencapai kesepakatan tentang waktu dan tempat untuk bertemu.
Vika sudah Miss call beberapa kali, juga chat uring-uringan karena aku belum juga menampakan batang hidung, segera aku meluncur ke depan. Wajah antagonisnya menyambut kedatanganku dari belakang.
“silahkan berangkat nyonya.”candaku padanya, membawa kopi yang tadi aku racik sendiri.
”lama!”ucapnya ketus, tanpa ba bi bu dia langsung nyelonong pergi.
Ku sambungkan bluetooth pada speaker mini, lalu memutar musik sembari membersihkan sisa sampah yang di tinggalkan Vika sambil ikut bersenandung mengikuti alunan lagu. Merasa sudah mendapat posisi nyaman, aku meraih HP dan mulai mengetik pesan yang akan ku kirim pada Ain.“Sek, jam berapa besok jadwal mu kuliah?”
Ain membalas cepat.”Pesek lagi! Dahlahh.”
Baru membaca satu pesan darinya dan aku sudah kembali tersenyum sendiri, sekaligus mengingat kembali moment siang tadi. Kami saling lempar pesan singkat, hanya berisi candaan semata, namun rasa nyamannya begitu nyata dan terus membuat penasaran dengan balasan berikutnya. Sesekali aku kembali bersenandung mengikuti alunan lagu, tentunya dengan suara dan nada fals. Sedikit kesal jika ada pembeli datang, karena akan membuat jeda chat kami. Gurauan kami berakhir saat Ain berkata.”sudah waktunya jam ngaji.”aku merasa berat mengiyakan. Hatiku protes!
Aku termenung, lalu mengambil satu botol kaca kosong tipe cassa trans ukuran 30 mili. memainkannya dengan jari, kembali menerka-nerka, apakah Ain merasakan hal sama? Apakah hatinya juga berdebar? Apakah namaku juga terucap dalam doanya?