Karena dipaksa untuk segera memiliki anak, Jovan sang CEO dari perusahaan ternama diam-diam menikah lagi. Dengan kejamnya, dia mengusir Seina selaku istri pertamanya yang dikira mandul. Namun nasib buruk pun menimpa Jovan yang mana istri keduanya mengalami kecelakaan hingga membuatnya keguguran bahkan rahimnya terpaksa harus diangkat demi menyelamatkan nyawa Ghina.
Lima tahun kemudian, Seina yang dikira mandul kembali dengan tiga anak kembar yang memiliki ketampanan mirip Jovan.
“Bunda, Oom itu milip Kakak Jelemy, apa Oom itu Ayah kita?” tanya Jelita, si bungsu.
“Bukan!” elak Seina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Mungkin Salah
Rapat Jovan selesai cepat. Semua orang keluar, kecuali seorang manajer yang masih menelepon.
“Ayah, nanti pulang belikan aku boneka,” pinta seorang anak dari seberang sana.
Manajer itu mengiyakan dengan senyum bahagia, membuat Jovan penasaran.
“Siapa itu, Pak Huan?” tanya Jovan.
“Putri saya, Pak. Hari ini ulang tahunnya, jadi saya harus membawakan hadiah untuknya,” jawab manajer itu, sedikit gugup berhadapan dengan atasannya yang terkenal dingin.
“Saya pergi dulu, permisi, Pak.” Manajer itu lalu izin keluar.
Jovan kini sendirian. Ia teringat mimpinya menjadi ayah yang memanjakan anaknya, tapi terasa mustahil karena Ghina tidak bisa memberinya anak lagi.
“Apa ini karma? Tapi apa salahku?”
Tiba-tiba, ia mendapat notifikasi pesan dari Ghina bahwa istrinya sudah pulang.
“Asisten Lu...!!!” Jovan langsung mencari pria itu, namun berpapasan dengan sekretaris perusahaannya.
“Anda mencari siapa, Pak?” tanya sekretaris itu ramah.
“Ke mana Asisten Lu?” tanya Jovan.
“Di kantor Anda, Pak,” jawab sekretaris itu, dan Jovan segera ke sana.
Tiap hari Pak Bos selalu di sisi Asisten Lu. Pak Bos punya istri dan sudah menikah selama lima tahun tapi dia belum juga punya anak. Apa jangan-jangan Pak Bos impoten? Ataukah ...
Sekretaris itu bingung dengan sikap Jovan. Bukan hanya dia, banyak bawahan menganggap atasan mereka mungkin punya penyakit aneh atau punya hubungan spesial dengan asistennya.
“Asisten Lu, mengapa kau sebodoh itu membiarkan Ghina pulang duluan?” Suara Jovan meninggi, membuat Asisten Lu berdiri.
“Nyonya memaksa ingin pulang, Tuan.”
“Lalu kenapa kau tidak mengantarnya?”
“Saya disuruh menunggu Anda.”
“Aishhh kau ini benar-benar bikin saya kesal. Dia baru sembuh, seharusnya kau mengantarkannya pulang!”
Jovan mengeluarkan kunci mobilnya. Ia sangat mengkhawatirkan keselamatan Ghina.
Setibanya di rumah, ia hanya disambut para pembantu, tanpa istrinya yang biasa menampakkan diri.
Kebetulan, Tuan Robert dan Renata datang dari lantai atas.
“Papa, Mama, mana Ghina?”
Kening kedua orang tua itu berkerut, lalu mereka berkata bahwa istrinya tidak terlihat sejak siang tadi.
“Papa sama Mama pasti bohong kan?”
“Ck, kalau kau tidak percaya juga, sana kau cek sendiri ke kamarmu,” kata Renata kesal.
“Jovan, kami tidak bohong. Istrimu memang belum pulang. Memangnya dia tidak datang ke kantormu?” tanya Tuan Robert di hadapan putranya yang semakin gelisah.
“Ghina datang kok, Pa. Tapi setelah meeting Jovan selesai, dia sudah pulang,” ungkap Jovan, mencoba menghubungi keluarga Ghina, tapi kata pembantu rumahnya, Ghina belum pernah berkunjung bulan ini.
“Yaelah, mungkin dia pergi ke tempat pria lain,” celetuk Renata membuat Jovan marah.
“Ma, Ghina sangat mencintaiku. Dia tidak mungkin selingkuh dariku. Mama jangan bikin Jovan tambah benci Mama!”
“Cih, hanya karena wanita penyakitan itu, kau tega bicara begitu ke Mama, Jovan!” Geram Renata.
“Udah.. udah.. udah..! Ini udah malam, tidak baik kalian berdua bertengkar. Sekarang mendingan kau pergi mencari istrimu Jovan dan Mama jangan dulu memperkeruh suasana.” Tuan Robert mengomel, pusing dan kesal menghentikan perdebatan antara anak dan istrinya setiap hari.
Jovan dan Renata membuang muka, lalu Jovan pergi mencari Ghina. Renata kembali naik ke kamarnya, membiarkan Tuan Robert yang termangu di sana. Dia menepuk wajahnya, tidak habis pikir ditinggal begitu saja.
Padahal yang diinginkan Tuan Robert adalah suara tawa cucunya, tapi saat ini hanya terdengar pertengkaran Jovan dan Renata atau Renata dengan Ghina.
Yang dicari-cari Jovan ternyata berada di tempat lain, bersama anak kembar Seina.
“Bunda, napa kita pigi cini? Napa nda pulang aja ke lumahna Papa Gala?” tanya Jelita dan Jhansen.
Papa Gala? Apakah itu Ayah barunya? pikir Ghina, berjalan di samping Salwa yang baru saja mengambil kunci toko bunganya.
“Bunda kalian mau mengecek tempat ini, anak-anak,” jawab Salwa lalu melirik Ghina.
“Emangna tempat ini apa, Onty?” tanya Jeremy sambil melihat Ibunya sedang sibuk menyalakan semua lampu ruangan.
“Lumah balu kita?” Tebak Jelita.
“Betul, mulai sekarang kita akan tinggal di sini supaya Bunda kalian gampang jemput kalian dari sekolah,” jelas Salwa, menyentuh hidung mancung Jelita.
“Wahhh sekolah? Asikkk Jencen mau!” Seru Jhansen meloncat-loncat lalu bocah itu mendekati Salwa.
“Onty, napa olang ini ikut pulang?” bisik Jhansen menunjuk Ghina. Sedangkan Jelita dan Jeremy berlari ke Ibunya. Mereka mau memastikannya.
Salwa yang duduk di sebelah Ghina, bertanya pada wanita cantik itu yang terus tersenyum.
“Maaf, dari tadi saya ingin bertanya, Anda ini siapa sebenarnya? Mengapa Anda mengikuti Seina? Anda sahabat lamanya?”
“Saya Ghina, saya bukan temannya tapi saya sangat mengenalnya.” Ghina menjawab dan rasanya ia ingin jujur bahwa ia adalah madu Seina, tapi hal itu bisa membuatnya terusir dari sana.
“Telush napa nda pulang aja? Ental dicaliin loh cama olang tuana, Tante,” ucap Jhansen.
“Orang tua saya ada di luar negeri dan di rumah cuma ada pembantu saya,” kata Ghina tersenyum.
“Belalti Tante cantik olang kaya cepelti Papa Gala celing pigi-pigi ke lual negli,” ucap Jhansen mulai perlahan maju mendekati Ghina.
“Ah tidak juga, saya orangnya biasa-biasa saja.” Ghina menunduk, sedikit tersipu.
“Maaf, kalau begitu, Anda ke sini dengan niat apa ya?” tanya Salwa sambil memeluk tubuh Jhansen sebelum anak itu duduk di samping Ghina. Tampak Salwa masih meragukannya, tidak seperti Jhansen yang mulai tertarik pada wanita misterius itu.
“Dia mau bekerja di sini, Salwa.”
Salwa mengalihkan matanya ke Seina yang mendekati mereka bersama Jelita dan Jeremy yang senang setelah memastikan mereka akan mulai bersekolah.
Salwa kemudian berdiri lalu menarik Seina menjauh dari Ghina, membuat trio cadel agak kebingungan.
“Kau serius mempekerjakan dia, Sei?”
“Iya, serius. Memang ada yang salah?”
“Aduh, kau ini cepat sekali merekrut orang. Bagaimana kalau dia bukan orang baik?”
Seina menaruh kedua tangannya ke bahu kiri dan kanan Salwa kemudian tersenyum yakin.
“Kamu tenang saja, pilihanku tidak mungkin salah. Lagipula dia cantik, cocok banget dijadikan penarik langganan. Terus dia juga punya nasib yang sama denganku, Salwa.”
“Ha? Nasib yang sama? Maksudnya?” Salwa tampak jengkel karena, bahkan tanpa Ghina, Seina masih bisa menarik pelanggan dari trio cadel atau kecantikan Seina sendiri.
“Dia juga dikhianati oleh suaminya. Makanya dia mau tinggal sementara di sini. Tidak apa-apa, kan?” Seina rupanya sudah berbagi cerita dengan Ghina, tapi tampaknya Ghina tidak mengatakan semua kebenarannya.
“Kalau begitu, kau sudah tahu dia berasal dari keluarga mana?” Salwa masih ragu.
“Belum sih, tapi aku yakin Gara pasti bisa mencari tahu setelah anak itu pulang dari luar kota.”
“Luar kota? Gara sama Vara menginap di luar kota? Kok mendadak?” Salwa sedikit terkejut.
“Katanya pabrik barunya bermasalah. Karena itu mereka berdua tidak pulang dulu malam ini, Salwa. Semoga saja masalahnya cepat kelar agar Gara dan Vara bisa ikut mengantar anak-anak ke sekolah di hari pertama mereka.”
Seina membuang napasnya kemudian kedua wanita itu menunduk ketika tangan mungil Jhansen menarik-narik celana Seina.
“Bunda, Jencen udah lapal.”
Seina dan Salwa pun tertawa kecil melihat anak itu merengek, sedangkan Ghina kini tengah mengobrol dengan Jeremy, kecuali Jelita yang masih takut sehingga gadis mungil itu hanya menyimak obrolan mereka yang membicarakan tentang Gara.
Karena di dapur tidak ada bahan makanan, Salwa memesan gofood. Lama-lama, Seina yang sering memperhatikan Ghina yang kini makan bersama mereka, ia merasa tidak familier.
Kayaknya aku pernah melihat dia, tapi di mana? gumam Seina.
“Sudahlah, aku makan saja.” Seina abai, menyantap kembali makanannya. Tanpa Seina sadari, netra Ghina juga diam-diam melirik ke arahnya, tapi Ghina menunduk cepat ketika Salwa menoleh padanya.
Semoga Seina/ Elsha bisa bersatu lagi dengan Jovan, agar anak-anak bisa bahagia bersama orang tua yang lengkap.
Kasian si kembar baru bertemu bapaknya dah mau metong...