Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MINTA DILAMAR
Udara siang itu cukup panas saat Arkan dan Febi tiba di lokasi proyek. Debu beterbangan, suara mesin berat menggelegar, dan para pekerja tampak sibuk memindahkan material. Febi yang mengenakan kemeja putih dan celana bahan krem terlihat kontras dengan lingkungan proyek yang kasar. Ia tampak canggung, memegang map laporan sambil sesekali mengipas wajahnya dengan tangan.
"Kamu barusan ke lokasi proyek kek gini?" tanya Arkan sambil meliriknya.
"Iya Pak." Febi tertawa kecil. "Ini pertama kalinya saya ke proyek pembangunan. Biasanya cuma lihat di laporan."
Arkan tersenyum tipis. "Ya udah, kita keliling sebentar aja. Tapi hati-hati, jalan di sini licin karena tadi sempat hujan."
Mereka melangkah menyusuri area proyek. Arkan menjelaskan beberapa detail teknis, sementara Febi mencatat dengan cermat. Sampai akhirnya, saat melewati jalan tanah yang basah, sepatu Febi tergelincir.
"Aaaa!"
Dalam sekejap, tubuh Febi oleng ke belakang. Arkan reflek menangkapnya, memeluk tubuh mungil itu erat-erat agar tidak jatuh.
"Astaga, kamu nggak apa-apa?" napas Arkan tercekat.
Febi mendongak. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nafasnya tertahan, jantungnya berdebar kencang. Mata mereka saling menatap. Waktu seakan berhenti.
"Sa..saya... nggak apa-apa pak..." bisik Febi.
Suasana menjadi sangat canggung. Febi buru-buru berdiri tegak, melepaskan pelukan Arkan.
"Maaf... saya ceroboh," katanya menunduk malu.
"Bukan salah kamu, memang jalannya licin," jawab Arkan sambil mengalihkan pandangan. Ia membersihkan tangan di celana seolah-olah mencoba menutupi kegugupan.
Di sisi lain kota, Toni baru saja menyelesaikan meeting-nya di sebuah kafe yang ramai. Ia memutuskan untuk ke toilet sebentar sebelum kembali ke kantor. Namun baru beberapa langkah keluar, ia dikejutkan oleh suara gaduh dari salah satu sudut kafe.
"Marko itu sahabat gue! Nggak ada urusan sama lo!"
Suara Vania yang lantang menarik perhatian banyak orang. Di depannya berdiri seorang gadis dengan dandanan menor dan tatapan tajam—Tasya.
"Justru karena kalian cuma sahabat, lo harus tahu batas! lo tahu gue mantan pacarnya! Jangan sok akrab!"
Vania menyilangkan tangan di dada. "Lo tuh udah mantan. Artinya udah selesai. Kalau Marko nyaman sama gue, ya itu urusan dia."
"Jangan sok cantik, Vania! Gue lebih cantik dari lo! Lebih segalanya! Tapi kenapa Marko malah milih lo buat dijadiin tempat curhat?"
"Karena gue nggak drama dan nggak teriak-teriak di tempat umum kayak lo" balas Vania enteng. Kalimat itu seperti pemantik. Tasya langsung menyerang, menarik rambut Vania.
"Dasar cewek murahan!"
"Lepasin! Nggak semua orang bisa sabar digangguin mantan yang nggak move on!"
Kafe langsung heboh. Orang-orang menoleh, beberapa mengeluarkan ponsel untuk merekam. Toni yang melihat kejadian itu sontak maju dan menarik Vania menjauh.
"Berhenti! Kalian pikir ini arena gulat?!" serunya.
Marko yang baru datang ikut melerai. Ia menahan Tasya yang masih mencoba menyerang.
"Vania, lo nggak apa-apa?" tanya Marko.
Vania menepis tangan Toni. "Jangan sentuh gue! Om-om mesum, suka ikut campur urusan anak muda!"
Toni membelalak. "Apa?! Om-om mesum?! Gue masih muda, oke? Dan gue cuma nggak mau kafe ini berubah jadi ring tinju!"
Vania mendengus. "Ya udah minggir. Ini urusan pribadi, nggak usah nimbrung."
"Urusan pribadi jangan dibawa ke tempat umum!" balas Toni.
Marko mencoba menenangkan. "Tasya, apa yang lo lakukan disini? Lebih baik lo pulang... ganggu ketenagangan orang saja"
Tasya melotot. "Oh jadi lo lebih pilih dia daripada gue?! Tega lo Marko ngomong kek gitu sama gue"
Toni mengangkat tangan, menyerah. "Gue cabut dulu deh sebelum ada yang narik-narik rambut gue juga." Ia berjalan pergi sambil menggerutu, "Om-om mesum katanya... dasar bocah."
Sementara itu, di kamar hotel yang nyaman
“Ahhh….sayang….aku sudah hampir sampai…’ desah Roni.
“ahhhh mas….aku…ahhhh…aku juga…..” Raisa tak kalah mendesah.
Roni dan Raisa baru saja selesai berhubungan. Mereka berbaring berdampingan di atas kasur king-size, tubuh mereka masih berselimut tipis.
"Sayang," bisik Raisa sambil menyender ke dada Roni. "Kapan kamu datang ke rumah? Aku mau segera dilamar. Aku nggak mau terus-terusan kayak gini."
Roni menghela napas. "Aku lagi nyiapin semuanya. Kita nggak bisa buru-buru. Nikah itu butuh biaya besar."
"Kamu manajer, Ron. Gajimu gede. Kenapa harus mikirin biaya? Aku bisa bantu juga kok," ucap Raisa tak puas.
"Aku cuma mau semuanya sempurna," jawab Roni.
Raisa menatapnya sinis. "Atau kamu masih mikirin Febi?"
Roni tersentak. "Apa sih? Ngapain bawa-bawa dia lagi?"
"Karena aku ngerasa kamu belum sepenuhnya sama aku. Kamu masih nyimpen perasaan ke dia, kan?"
"Cukup, Sa. Aku sama Febi udah selesai. Yang sekarang itu kamu. Tapi jangan paksa aku terus!"
Raisa duduk, menyibak selimut. "Aku nggak bisa kayak gini terus, Ron. Kalau kamu nggak bisa ngelamar aku dalam waktu dekat, aku datang ke rumah kamu dan kasih tahu orang tua kamu sudah sejauh apa hubungan kita."
Roni terdiam. Dalam hatinya, perasaan bersalah dan tekanan saling bertabrakan.
Kembali ke lokasi proyek, Arkan dan Febi duduk sejenak di bangku panjang yang ada di sudut area. Mereka sama-sama diam. Sampai akhirnya, ponsel Arkan berdering.
"Halo, Oma Ninggrum?"
Suara dari seberang terdengar nyaring. Febi hanya bisa mendengar sepatah dua patah kata.
"Besok malam? Iya... makan malam? Bawa pacar?" Wajah Arkan berubah panik. "Tapi—"
Ia menoleh ke Febi. Febi membalas dengan ekspresi bingung.
"Iya, Oma. Nanti aku kabari."
Arkan mematikan telepon, menarik napas dalam-dalam.
"ada masalah pak?" tanya Febi.
"Iya... sedikit. Oma Ninggrum ngajak makan malam keluarga besok malam. Tapi dia juga maksa saya bawa pacar... padahal ya, saya belum punya pacar. Gimana caranya coba.”
Febi tersenyum kaku. "ya bapak sisa bilang aja belum ada pacar.”
Arkan menatap ke depan, suaranya pelan. "Masalahnya... Oma saya suka maksa. Dia udah nanyain terus sejak terakhir saya pulang ke rumah. Saya bilang lagi dekat sama seseorang, biar dia tenang... sekarang malah diminta bukti."
Febi terdiam, mendengarkan.
"Saya tahu ini nggak ideal. Tapi... saya juga nggak pengin bikin Oma kecewa. Beliau udah sakit-sakitan, dan makan malam itu penting buat dia."
Arkan menoleh. Tatapannya lembut, ada harap sekaligus beban di dalamnya.
"Saya tadinya mau minta tolong ke kamu. Pura-pura jadi pacar saya besok malam aja. Tapi... kalau kamu nggak nyaman, saya ngerti kok."
Febi menghela napas. “Pak Arkan... Saya menghargai kepercayaan bapak. Tapi... saya nggak bisa pura-pura. Apalagi harus berbohong sama orang tua."
Arkan mengangguk pelan. Wajahnya kecewa tapi memahami. "Iya... saya ngerti. Kamu punya prinsip, dan itu bikin aku makin hormat sama kamu."
Mereka diam sejenak. Angin sore mengusap lembut wajah mereka yang mulai lelah.
"Makasih udah dengerin curhatan saya," kata Arkan akhirnya. "Udah lama saya nggak bisa ngomong segini jujurnya sama orang."
"Kapan pun bapak butuh teman ngobrol, saya siap mendengar. Tapi sebagai Febi, bukan pacar pura-pura."
Arkan tersenyum, tulus. "Baiklah Febi.”
Mereka kembali duduk dalam diam, tapi kali ini terasa lebih nyaman.