Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 – Cerita di Balik Tunggul Mati
Hujan turun sejak tengah malam. Embun bercampur tanah menguap dari sela-sela bilik bambu rumah Bahri. Suara kodok dan jangkrik silih berganti, mengiringi pagi yang tak kunjung cerah. Hawa basah menyelimuti Kampuang Binuang, menyelusup sampai ke pori-pori.
Di bawah pohon jengkol tua di samping surau, Ucup, Ajo, dan Reno berkumpul sambil menyesap kopi hitam dari gelas seng. Wajah mereka lelah, tapi mata masih waspada.
“Masih kerasa ya hawa dingin dari semalam?” tanya Ajo sambil memeluk lutut.
Ucup mengangguk. “Aku tidur pakai sarung dua lapis, tapi badan kayak diguyur air sumur.”
Reno menatap ke arah bukit kecil di seberang sawah. “Aku mimpi aneh. Mimpi duduk di tunggul pohon, tapi pohonnya masih hidup. Daunnya rimbun, tapi dari bawahnya keluar suara jeritan.”
Ucup menoleh cepat. “Tunggul? Jangan-jangan itu tunggul kayu di bekas rumah tua di pinggir balai desa.”
Ajo mengingat sesuatu. “Iya, yang katanya dulu ditebang karena sering ‘hidup’ lagi. Nenekku pernah bilang, tiap malam ada yang duduk di situ, tapi gak pernah bisa dilihat wajahnya.”
Bahri muncul dari balik surau, menggenggam kitab tua dan kain kafan kecil.
“Kalian bahas tunggul itu?”
“Iya, Ri. Reno mimpi aneh, dan rasanya itu lebih dari sekadar bunga tidur,” jawab Ajo.
Bahri duduk di atas batu, membuka kitabnya. “Tunggul itu sisa dari pohon talas berdarah. Dulu di bawah pohon itu, pernah dikubur bayi yang tak sempat lahir. Ibunya mati karena dipaksa turun ke ladang, padahal masih hamil besar.”
Ucup mengernyit. “Tragis amat, Ri.”
“Waktu pohonnya ditebang, kampung sempat geger. Beberapa malam, suara tangis bayi terdengar dari bawah tanah. Akhirnya pohonnya ditebang dan dibakar. Tapi tunggulnya gak pernah bisa habis.”
Sore harinya, mereka bertiga memutuskan untuk memeriksa tunggul yang dimaksud. Lokasinya memang tak jauh dari balai desa, ditutupi semak dan tanaman liar. Meski kecil, tempat itu selalu terasa dingin dan sepi.
Reno melangkah pelan ke arah tunggul. Ia duduk di sana, mencoba memusatkan pikiran.
“Eh, jangan duduk sembarangan!” teriak Ucup.
“Biar aku rasakan dulu,” jawab Reno pelan.
Saat ia menutup mata, suara tangis lirih terdengar. Lalu berubah menjadi nyanyian pelan, seperti lagu nina bobo. Tapi nadanya menyayat hati, membuat bulu kuduk berdiri.
Reno membuka mata. Di hadapannya, berdiri sosok perempuan muda dengan perut buncit, wajahnya pucat, dan bibirnya biru.
“Anakku... jangan biarkan dia sendirian di tanah ini... tolong... tolong temani...”
Bahri segera menyiramkan air rendaman sirih di sekitar tunggul. Sosok itu menghilang perlahan, tapi aroma bunga kenanga tertinggal di udara.
“Dia belum tenang. Arwahnya terikat karena kematian yang tak wajar. Bayinya tak pernah dibaringkan di tempat yang layak,” kata Bahri.
Ajo menghela napas. “Terus, apa yang bisa kita lakukan?”
“Kita buatkan pemakaman kecil di dekat sini. Dengan doa dan tempat yang layak, supaya arwah bayi itu bisa beristirahat.”
Keesokan harinya, mereka bersama warga menggali tanah tak jauh dari tunggul. Diletakkan seikat bunga kenanga dan sehelai kain bayi. Doa dipanjatkan oleh Pak Lebai, dibantu Bahri dan Mak Tundun.
Suasana hening saat doa berlangsung. Tiba-tiba, angin berhenti. Udara menjadi hangat. Dari sela pohon, tampak sinar matahari yang menembus kabut.
“Lihat itu,” bisik Ucup. “Langitnya cerah.”
Bahri menunduk. “Itu tandanya... dia sudah tenang.”
Namun dari balik semak, Ajo melihat seekor burung hitam bertengger di ranting. Matanya merah, menatap tajam ke arah mereka.
“Eh... itu bukan burung biasa,” gumamnya.
Burung itu tiba-tiba terbang, meninggalkan bulu berwarna keunguan yang perlahan terbakar sendiri di udara.
Reno mendekat. “Apa maksudnya itu?”
Bahri hanya menggeleng. “Kita telah menenangkan satu jiwa. Tapi yang lain... sedang memperhatikan.”
Suasana kembali tegang. Ucup menarik napas panjang, lalu duduk sambil membuka bekalnya.
“Kita makan dulu lah... kalau harus ngadepin setan tiap hari, perut juga harus kuat.”
Mereka tertawa pelan, tapi dalam hati, semua tahu—kisah di balik tunggul mati hanya satu dari banyak cerita yang masih mengendap di tanah Kampuang Binuang.
Senin pagi di Kampuang Binuang tak seperti biasa. Langit kelabu dan gerimis tipis membuat warga enggan keluar rumah lebih awal. Pasar yang biasanya ramai baru buka menjelang pukul sepuluh. Namun, kabar tentang suara gamelan dari rumah gadang tua di ujung kampung sudah lebih dulu menyebar dari mulut ke mulut.
“Aku dengar semalam, suara ketukan dari dalam rumah gadang lama itu. Padahal tak ada satu pun yang tinggal di sana,” kata Mak Ita pada Bu Rusmi di warung kopi.
“Anak-anak juga bilang, ada bayangan penari berputar-putar di dalam. Tapi pas dilihat dari jendela, kosong melompong.”
Rumah gadang itu memang lama kosong. Pemiliknya sudah pindah ke kota sejak bertahun-tahun lalu. Bangunan tua itu berdiri di tengah pekarangan luas, dikelilingi pohon pinang dan bambu kuning yang tumbuh tak terurus.
Bahri, Reno, Ajo, dan Ucup kembali dikumpulkan oleh Mak Tundun. Perempuan tua itu memanggil mereka ke surau kecil di dekat sungai.
“Aku tahu suara-suara itu bukan mainan. Rumah itu dulunya bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga tempat simpan pusaka,” kata Mak Tundun sambil menyiramkan minyak kelapa ke mangkuk tembaga.
“Pusaka apa, Mak?” tanya Reno.
“Gandang sakti. Gendang tua yang hanya dipukul saat peristiwa penting. Tapi sejak kampung dilanda wabah dulu, gendangnya dikurung dan disegel dalam peti di bawah lantai rumah gadang. Mungkin sekarang... dia minta didengar lagi.”
Ajo menoleh ke Ucup. “Jangan-jangan suara gamelan itu dari gandangnya?”
Ucup mengusap leher. “Kalau iya, mending kita pasang telinga baik-baik, siapa tahu dia minta lagu request.”
Sore itu, mereka mendekati rumah gadang yang dimaksud. Langkah kaki mereka teredam tanah basah. Rumah besar itu berdiri dengan angkuh, atap gonjongnya menjulang meski kayu-kayunya mulai rapuh.
Bahri melangkah pertama. Pintu rumah terbuka sedikit, seolah memang menanti kedatangan tamu.
Begitu mereka masuk, udara dingin langsung menyergap. Di dalam ruangan utama, dinding kayu dihiasi ukiran Minangkabau kuno, tapi banyak yang mulai terkelupas.
Suara gemerincing terdengar dari arah belakang. Mereka mengikuti suara itu, menuruni tangga menuju ruang bawah rumah.
Di sana, mereka melihat sebuah peti tua, tertutup kain putih lusuh.
Bahri berjongkok, menyentuh peti itu perlahan. “Ini pasti tempat gendang yang Mak Tundun maksud.”
Tiba-tiba, peti bergetar. Dari dalamnya terdengar dentuman pelan. Bukan seperti benda jatuh, tapi seperti... irama. Seperti seseorang sedang memukul gendang dari dalam.
“Cuk... ini bukan gendang biasa,” gumam Reno.
Mereka mundur, tapi suara irama itu makin keras. Dentuman bertalu-talu, cepat, penuh amarah. Lantai rumah ikut bergetar, dan di dinding muncul retakan.
Peti itu terbuka sendiri. Dari dalam, muncul asap hitam dan suara tangis perempuan.
“Kau... yang membuang suaraku... kau yang membiarkan namaku hilang dari nyanyian...”
Sosok perempuan berpakaian penari Minang keluar dari kabut. Rambutnya menjuntai panjang, matanya kosong, dan di tangannya... sepasang kipas tari yang berlumuran darah.
Bahri segera merapal doa, tapi sosok itu menyerang dengan gerakan menari cepat. Udara berputar, debu dan serpihan kayu beterbangan.
Ajo dan Ucup menunduk, lalu menarik Reno menjauh.
“Aku gak mau jadi korban penari! Aku gak bisa balas karena aku gak bisa nari!” teriak Ucup.
Reno mengambil kendi air sirih dari dalam tas dan melemparkannya ke arah sosok penari. Air itu membentuk simbol di udara, dan sosok itu berhenti menari.
Ia menatap mereka, lalu berkata lirih:
“Cari gongku... tanpa gong, aku tak bisa diam. Gong itu diambil dan disimpan di surau tua di atas bukit.”
Seketika, sosok itu menghilang dalam pusaran angin.
Malam itu, mereka menuju surau tua di atas bukit. Tempat itu sudah lama tak digunakan. Di sana, di sudut ruang utama, mereka menemukan gong besar tua, digantung dengan tali usang.
Begitu mereka menyentuhnya, udara berubah. Gong bergetar pelan, lalu berhenti. Bahri mengambil keputusan cepat.
“Kita bawa gong ini kembali ke rumah gadang.”
Perjalanan menuruni bukit dilakukan dengan hati-hati. Sesampainya di rumah gadang, mereka menggantung gong di tempat asalnya, lalu membacakan doa bersama.
Saat gong dipukul perlahan, suara tangis kembali terdengar, tapi kali ini berubah menjadi senandung lembut. Sosok penari muncul sejenak, tersenyum, lalu menghilang bersama cahaya pagi yang menembus jendela.
Ajo duduk kelelahan. “Aku kapok bantu gendang nyari gong.”
Ucup mengangguk. “Untung dia gak minta kita ikut menari bareng.”
Bahri tertawa kecil. “Satu lagi yang tenang. Tapi kita belum selesai... kampung ini belum sunyi.”
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...