Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seseorang Mendorongku
"Siapa perempuan ini...?" gumam Zee pelan, matanya menatap sebuah foto lusuh yang ia temukan di dalam binder milik Zia.
Di foto itu, yang diyakininya sebagai Zia tampak memeluk seorang perempuan—tapi siapa dia?
Bagian kepala perempuan itu rusak—seperti tercabik atau digigit sesuatu.
Zee membuka galeri ponselnya, mengecek hasil jepretan halaman-halaman di binder Zia.
Ia membaca satu per satu, mencoba menangkap petunjuk, namun akhirnya menghembuskan napas kecewa.
“Hanya novel…? Tak ada apa pun yang bisa ditarik dari sini,” desisnya.
“Raden…” nama itu terlintas di benaknya.
“Dia mencurigakan…? Atau dia tahu sesuatu?”
Pikiran Zee semakin kacau. Malam semakin larut, dan ia masih tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak berjawab. Hingga akhirnya, matanya perlahan tertutup…
••
"Gue… di mana ini?" gumam Zee saat tersadar berada di tempat asing.
Langkahnya ragu, ia melihat sekeliling—hanya hamparan rumput luas dan suara gemericik air mengalir yang terdengar.
Suasana sunyi… tapi damai.
"Zee…"
Suara lembut itu membuat Zee berhenti melangkah. Ia memejamkan mata sesaat. Suara itu… ia mengenalnya.
Saat menoleh, di belakangnya berdiri Zia, mengenakan pakaian putih, tersenyum hangat.
“Zia…” panggil Zee, lalu berlari menghampiri kembarannya.”
"Ziaaa…"
"Zee…"
Mereka berpelukan, erat dan hangat.
Zee mulai menangis, tak bisa menahan emosinya.
“Kenapa lo tinggalin gue, Zia?” suaranya serak, pelukannya makin erat.”
"Waktu gue udah habis, Zee, di dunia ini," jawab Zia pelan.
Zee melepaskan pelukan mereka perlahan, lalu menatap wajah Zia yang tersenyum seperti biasa.
“Lo tahu kan, cuma lo yang bisa bikin gue senyum. Lo pergi… senyum gue ikut mati." ucapnya sambil terisak.
Zia menghapus air mata Zee sambil tertawa pelan.
"Lo nggak cocok nangis, tau," candanya.
Zee menatap tajam.
"Gue serius, brengsek," sahutnya kesal, lalu buru-buru menyeka air matanya.
Tapi ia tersenyum tipis.
"Sorry ya, Zee… Gue juga nggak pengin gini. Gue masih pengin nikah, tau," canda Zia lagi.
“Nikah lagi, nikah lagi. Lo tuh gak berubah,”
Zia tersenyum, lalu menggenggam tangan Zee.
"Maafin gue, Zee. Tapi gue ninggalin jejak."
Mereka duduk bersama di bangku panjang yang tiba-tiba muncul di tengah padang itu.
"Siapa yang bikin lo pergi, Zia? Kasih tahu gue! Biar gue kasih dia tendangan maut!" kata Zee penuh emosi, mengepalkan tangan.
Zia terkekeh pelan, tapi tiba-tiba air matanya jatuh.
“Dia… dorong aku… dia jebak aku…”
Zee langsung memeluk Zia dengan mata berkaca-kaca.
"Dia siapa, Zia…?" tanyanya pelan, suara dingin menekan amarah.
"Dia…"
••
KRING! KRING! KRING!
Suara alarm asrama memecah mimpi itu.
Zee terbangun dengan napas terengah dan tubuh yang dibasahi keringat dingin.
“Brengsek… alarm…” desisnya sambil memegangi dada.
Ia memejamkan mata sesaat, mencoba mengingat kembali mimpi tadi.
“Tenang, Zia… Gue janji bakal cari tahu semuanya.”
Zee bangkit dari tempat tidur dan menyeret tubuhnya ke kamar mandi. Ia harus berangkat ke sekolah… meski matanya masih berat karena kantuk.
••
Di kelas, Zee tak henti menguap.
Bagaimana tidak? Ia baru tertidur jam empat dan harus bangun satu jam kemudian.
“Gila… ngantuk banget gue…” gumamnya.
Dari bangku seberang, Rey memperhatikan Zee.
"Apa dia nggak tidur semalaman…?" pikir Rey dalam hati.
Saat Zee tak kuat menahan kantuk, tubuhnya perlahan miring.
Untung Rey cepat bereaksi, menopang tubuh Zee hingga kepala gadis itu bersandar di pundaknya.
Rey terdiam. Gugup. Tapi juga… tak tega membangunkannya.
Tak lama, Leo masuk ke kelas dan langsung membelalak.
Zee… sedang bersandar di bahu Rey.
Baru saja Leo hendak bersuara, Rey sudah menatap tajam ke arahnya.
Teman sekelas lain ikut terkejut, tapi tak ada yang berani mengusik.
Rey kembali menatap Zee. Jarak mereka kini nyaris tak ada.
Wajahnya pucat, bibirnya tipis, dan napasnya terdengar teratur.
Rey tersenyum kecil, lalu dengan hati-hati membenarkan posisi kepala Zee agar lebih nyaman.
“Siapa lo sebenernya, Zee…? Lo kayak nyimpen banyak luka,” gumam Rey pelan.