Private Tutor
Brakk
Pak Bram membanting rapor putrinya di atas meja. Pria itu murka melihat nilai yang hancur lebur. Bahkan kata sang guru, jika rata-rata nilai diurutkan, Kimmy berada dalam urutan 29 dari 30 siswa, yang artinya dia juara 2 dari bawah. Orang tua mana yang tidak malu, apalagi sekelas Pak Bram yang merupakan dokter spesial penyakit dalam sekaligus seorang dosen. Dan istrinya, Ratih, dia tak kalah hebat, Ratih adalah dokter spesialis anak. Mereka memang keluarga dengan profesi dokter turun temurun. Bisa dibilang, hampir 80 persen keluar Bram bekerja di bidang kesehatan.
"Sabar, Pah," Ratih mengusap punggung sang suami. Hal seperti ini hampir selalu terjadi saat pembagian rapor sejak Kimmy duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dulunya tak seperti ini, meski tak pernah juara 1, tapi paling tidak, masih masuk 10 besar. Entah karena apa, sejak SMA, nilainya makin tak karuan.
"Gimana bisa sabar, Kimmy sudah membuat Papa tak punya muka di depan wali kelasnya. Sekarang dia sudah naik kelas 3, tinggal setahun lagi masa SMA nya. Bagaimana kalau dia tidak bisa masuk fakultas kedokteran?" Pak Bram menatap Kimmy tajam.
"Aku udah bilang berkali-kali, aku gak mau jadi dokter," ucap Kimmy lantang. Sebenarnya hal yang membuat dia tak mau belajar, adalah karena dia tak mau menjadi dokter. Nilai buruk ini adalah salah satu cara dia protes, tapi yang ada, dia makin ditekan.
"Mau jadi apa kamu, Hah?" bentak Pak Bram.
"Berapa kali aku bilang, aku mau jadi influencer."
"CUKUP!" bentak Bram. "Tidak ada dikeluarga kita yang kerjaannya gak jelas seperti itu."
"Ya biar ada, Pah."
"Kimmy," tekan sang Mama sambil melotot. Dia meletakkan telunjuk di depan bibir, tak mau Kimmy terus membantah ucapan Papanya.
"Memang apa yang bisa kamu banggain dari pekerjaan itu?" tanya Pak Bram. "Kamu fikir enak hidup di dunia seperti itu, dunia penuh kebohongan. Yang terlihat belum tentu sesuai dengan apa yang terjadi. Berlomba-lomba untuk terlihat baik di depan kamera, kadang bahkan tidak bisa menjadi diri sendiri demi pengikut. Mau kamu, hidup tak punya privasi?"
"Terus, Papa fikir dengan jadi dokter, aku bisa jadi diri sendiri?" Kimmy menggeleng cepat. "Enggak, Pah!" Sambil menangis, Kimmy meninggalkan ruang keluarga. Berlari menaiki tangga menuju kamarnya, mengabaikan teriakan sang papa yang memanggilnya.
"Kimmy, Papa belum selesai ngomong," teriak Pak Bram.
"Udah, Pah, udah, biar Mama yang ngomong pelan-pelan sama Kimmy," bujuk Ratih. Dia sebenarnya tidak setuju dengan cara didik Bram yang bisa dibilang terlalu keras, tapi mau gimana lagi, itu sudah watak suaminya.
"Kepala Papa rasanya mau pecah gara-gara anak itu. Papa akan carikan dia tutor baru."
"Masih belum kapok? Udah berapa kali ganti tutor, dan hasilnya sama, gak ada yang betah sama Kimmy. Anak itu susah diajak kerja sama."
"Lha terus mau gimana, dibiarin aja? Enggak," Bram menggeleng cepat. "Papa belum mau putus asa. Papa masih ingin melihat dia sukses seperti kita, seperti sepupu-sepupunya."
Ratih menghela nafas panjang, meninggalkan Bram lalu menyusul putri semata wayangnya ke kamar. Setelah mengetuk pintu, dia langsung masuk, dan seperti biasa, akan mendapati Kimmy yang sibuk main game untuk melampiaskan kekesalannya.
"Taruh dulu HP nya," Ratih duduk di sebelah Kimmy. Tapi karena tak digubris, dia merebut paksa ponsel tersebut dan meletakan di atas nakas.
Kimmy membuang nafas berat. Sepertinya, akan ada season dua pertengkarannya dengan orang tua.
"Yang tadi belum cukup?" tanya Kimmy.
"Kamu itu nurut kata Papa kenapa sih, susah ya?"
Kimmy tersenyum kecut. Jelas saja itu susah. Dia dipaksa melanjutkan kuliah di fakultas yang tidak dia minati, jelas itu susah.
"Kim gak ada passion disana, Mah. Kim gak suka mikir, otak Kim gak mampu."
Ratih menggeleng cepat. "Bukan tak mampu, tapi kamunya yang tak mau usaha. Kecerdasan anak itu, selain tergantung dari apa yang dia makan, juga faktor turunan dari ibu. Bukannya sombong, tapi Mama pintar, rasanya mustahil jika kamu bodoh. Apalagi sejak kecil, Mama sama Papa sangat mengupayakan segala yang terbaik buat kamu, mulai dari gizi, sekolah yang baik, juga tutor privat. Tapi sepertinya, kamunya saja yang malas belajar."
Karena Kim gak suka, Kim gak mau jadi dokter.
"Papa akan carikan kamu tutor baru. Mama harap, kali ini tak ada lagi drama seperti yang sudah-sudah. Tinggal satu semester lagi, Kim, buktikan sama Papa, kamu bisa masuk fakultas kedokteran," bujuk mamanya.
Kimmy menangis. Di luar sana, teman-teman nya menganggap hidupnya sangat sempurna. Anak orang kaya, cantik, populer, punya pacar tampan, tapi tak ada yang yang tahu, hidupnya sangat tertekan. Dia tak pernah diberi kebebasan untuk memilih, semua orang tuanya yang menentukan.
...----------------...
Alfath makan malam bersama Om Raka dan Tante Kinan. Kenapa hanya bertiga, karena anak-anak mereka tidak ada di rumah. Cinta dan Lovely, mereka mendapatkan beasiswa pendidikan spesialis di luar negeri. Sementara Kasih, dia yang sepantaran dengan dengan kakak pertama Alfath, bekerja di salah satu rumah sakit yang ada di Tangerang. Ketiganya mengikuti jejak mereka, menjadi dokter.
"Al, masuk semester 5, agak santai kan?" tanya Om Raka.
"Lumayan santai Om. Semester kemarin baru masuk organisasi, tapi ya gitu, aku cuma ngikut buat nyari teman aja, gak mau terlalu masuk dalam kepengurusan."
"Mau kerja gak?"
"Papah ini apaan sih?" Mendengar itu, Tante Kinan langsung meletakkan sendok dan garpunya. "Nara nitipin Al buat kuliah, kok kamu suruh kerja. Apa katanya nanti?" Dia takut terjadi kesalah fahaman dengan adiknya karena ini.
"Cuma jadi tutor, bukan Papa suruh kerja nyangkul, gitu banget ekspresinya," Om Raka sampai geleng-geleng.
"Ya tetep aja, namanya kerja. Mama gak setuju."
"Emang jadi tutor dimana, di sebuah lembaga gitu?" Alfath malah penasaran. "Emang masih kuliah, bisa gitu Om, jadi tutor?"
"Tutor privat," sahut Om Raka. "Temen Om ada yang lagi nyari tutor buat anaknya. Jadi iseng Om nawarin kamu. Gajinya gede, Al, lumayan buat nambah uang jajan kamu."
"Gak usah Al, nanti Tante tambahin kalau cuma buat uang jajan," Tante Kinan menginterupsi.
"Cuma dua jam sehari, senin sampai kamis," Om Raka belum putus asa membujuk Alfath.
"Kayaknya boleh juga, Om."
Tante Kinan langsung melotot. "Enggak, Tante gak setuju. Apa kata mama kamu nanti?"
"Mama pasti gak keberatan kok, Tante. Dulu Ayah juga kerja sambil kuliah. Al pengen juga nyoba cari uang sendiri."
"Good!" Om Raka mengacungkan dua jempol. "Om suka anak muda yang berfikiran seperti kamu. Meski orang tua berpunya, tapi hasil keringat sendiri, itu lebih nikmat. Nanti Om kasih alamatnya, lusa kamu langsung kesana."
Alfath mengerutkan kening. "Bukannya sekarang, anak sekolah baru masuk liburan semester ya, Om?" Masa iya, udah mau mulai, fikir nya.
"Dia di hukum sama Papanya, selama liburan gak boleh keluar, harus tetep belajar karena nilainya jeblok."
"Emang dia kelas berapa?"
"Kelas 3, cewek."
"Oh....," Alfath manggut-manggut. Dia bersyukur karena yang akan jadi muridnya cewek. Menurutnya, cewek usia SD lebih mudah diajari daripada cowok yang diusia itu, maunya cuma main.
...----------------...
Kimmy frustasi saat dirinya tak diberi izin keluar selama libur semester. Mungkin ini yang dinamakan terpenjara dalam sangkar emas. Semewah apapun rumahnya dan selengkap apapun fasilitasnya, tetap saja, tak nyaman jika terkurung disana. Apalagi remaja usia 18 tahun seperti dirinya, dimana sedang getol mencari jati diri, masih suka coba-coba dan seneng-seneng.
"Non Kimmy, ada tamu," ucap Bi Nana pada Kimmy yang sedang rebahan di sofa ruang keluarga. 3 hari di rumah tanpa kegiatan, dia gabut maksimal.
"Siapa, Bi?"
"Katanya tutor yang di suruh Pak Bram."
Kimmy mendengus kesal. Rupanya papanya benar-benar mencarikan dia tutor baru, belum menyerah meski yang dulu-dulu selalu mengundurkan diri karena tak betah dengannya. Dia beranjak dari sofa, berjalan menuju ruang tamu untuk menemui tutor tersebut.
"Kamu... siapa?" Kimmy mengerutkan kening melihat seorang cowok duduk di sofa ruang tamunya.
"Saya Alfath, tutor yang mau mengajar anak Pak Bram." Alfath berdiri sambil menunduk sopan.
Mulut Kimmy seketika menganga lebar. Apa papanya tidak salah, kenapa tutornya masih sangat muda seperti ini, tak seperti biasanya yang sudah bapak-bapak?
"Kalau boleh tahu, mana ya, anak yang mau saya ajar?"
Dengan sedikit ragu, Kimmy menunjuk dirinya sendiri. Ekspresinya antara mau ketawa dan mau nangis, apa papanya sudah se putus asa ini, sampai meminta pria muda menjadi tutornya?
Alfath mengernyit bingung. Setahu dia anak kelas 3 SD, tapi kenapa gadis itu menunjuk dirinya sendiri? "Adik kamu maksudnya?"
Kimmy menggeleng, "Aku gak punya adik."
"Tapi kata Om Raka, anak yang mau saya ajar, kelas ti_" Alfath tak melanjutkan kalimatnya. Mulutnya mengang lebar, jangan-jangan yang dimaksud Om Raka kelas 3, adalah 3 SMA, bukan 3 SD seperti yang dia fikirkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Ina Karlina
ha ha ha syok ga tuh Al-Fath.. Ternyata anak didik nya se orang gadis remaja yang cantik 😁😁😁
2024-11-18
0
Ima Kristina
hahahaha.... ALFAT pasti mikirnya anak pak Bram kelas 3 SD.....
2024-12-19
0
Sisca Audriantie
🌷🌷🌷
2024-12-22
0