Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28 (Restoran low budget)
“Van?” Edgar memanggil dengan suara yang cukup keras.
Langkah lebarnya tertuju pada sebuah pintu ruangan di area belakang yang tidak tertutup rapat, membawa satu kotak pipih berukuran besar di tangannya.
Dan saat Edgar menyembulkan kepala ke arah dalam, dia mendapat Vanila tengah berbaring di atas tempat tidur sembari menikmati film yang sedang diputar di televisi kamarnya.
“Van?” Panggil Edgar lagi.
Vanila menoleh.
“Hum?”
Perempuan itu langsung bangkit, duduk menyandarkan punggungnya pada sandaran kasur
“Saya order pizza!” Edgar tersenyum.
Dia masuk kemudian duduk di tepi ranjang milik Vanila yang kecil.
Edgar berharap Vanila akan terlihat antusias, tentu saja dia sudah sangat perhatian membelikan istrinya makanan. Namun, Vanila justru menatap Edgar dengan raut wajah yang cukup aneh.
Antara heran, aneh dan tidak suka.
“Volcano cheese. Ini enak sekali!” Kata Edgar seraya membawa satu potong pizza dan menggigit nya dengan lahap.
“Ambil, Van!” Tawarnya lagi sambil meletakan kotak pipih itu di atas kedua kaki Vanila.
“Pak, saya nggak mau pizza,” perempuan itu berujar.
“Lalu? Steak?” Edgar menatap Vanila.
Vanila menggelengkan kepala.
“Saya ga suka steak,” ungkap Vanila jujur.
Sebenarnya jika dipaksakan bisa-bisa saja, tapi disini Vanila sedang mencari nikmatnya makanan. Tidak hanya sekedar makan, dan perutnya terisi penuh lalu dia merasa kenyang.
“Lho, kenapa?” Edgar heran.
“Nggak suka aja, ga cocok di lidah saya.”
Vanila terlihat tidak ceria seperti biasanya. Selain larangan Edgar yang membuat Vanila sedikit kesal, makanan-makanan disana pun tidak membuat Vanila berselera padahal perempuan itu sudah merasa sangat lapar.
“Lantas mau saya belikan apa?”
Tanpa keberatan Edgar segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan handphone, ia bersiap untuk membuka aplikasi pesan makan via online.
“Ga mau, mau beli langsung.”
“Hem?” Edgar menoleh dengan kening mengkerut.
“Boleh ya, pak? Sebentar aja aku keluar buat ke warteg beli nasi rames.”
Edgar terus memperhatikannya Vanila tanpa menjawab.
“Eh saya maksudnya…”
“Lagi pula kita ini terlalu kaku, kenapa harus panggil saya saat menyebut satu sama lain? Kamu juga kenapa terus panggil bapak? Suami istri kok gini!”
Bola mata Vanila bergerak menatap wajah tampan Edgar dari jarak yang sangat dekat, lalu manik bulat nan cantik itu berkedip.
“Saya memang sudah cukup berumur jika dibandingkan dengan kamu, … tapi rasanya tidak setua itu juga sampai harus dipanggil bapak, Van.”
“Emang biasanya dipanggil apa?”
Edgar malah tersenyum jahil.
“Ga mungkin dong panggil nama?”
“Kata siapa? Sering kok diteriakin nama kaya kamu semalam. Kadang om, kadang sayang juga!”
Ah, Vanila tahu yang dimaksud Edgar. Pria itu sedang membahaskan para wanitanya sekarang, bahkan mungkin sedikit membandingkan.
‘Lho, kok tiba-tiba aja kesel.’
“Saya? Bapak samain sama mereka? Ish ogah.”
“Siapa yang samain kamu sama mereka? Tidak ada. Kan hanya menjawab pertanyaan yang tadi saja, Van!”
“Emang mau ya saya panggil, om juga?”
Edgar langsung menolak dengan menggelengkan kepalanya. Tentu akan terdengar sangat aneh, jika tiba-tiba Vanila memanggilnya dengan sebutan itu.
Ya, tidak cocok dengan Vanila. Dia terlalu lugu untuk terlihat liar seperti wanita-wanita bayarannya tempo hari, tapi sisi nakal Vanila yang muncul saat mereka bercinta, Edgar benar-benar menyukai itu.
Seperti ada kesenangan tersendiri, apalagi jika di ingat-ingat Edgar lah laki-laki pertama yang menyentuh Vanila hingga pada bagian paling intim.
“Panggil sayang juga tidak apa-apa,” tutur Edgar.
Suaranya terdengar sangat rendah, dengan senyum seringai yang menurut Vanila sedikit terlihat menyeramkan.
“Jangan aneh-aneh pak, nanti keceplosan depan banyak orang berabe.”
“Orang yang mana? Tidak ada banyak orang yang akan datang kesini. Aman saja,” jelas Edgar.
“Ibu Sabrina!?”
Dan ya, saat mendengar kata-kata itu Edgar langsung bungkam.
“Jangan dijadikan kebiasaan, nanti susah sendiri pak!”
“Baiklah, … sudah skip bahas soal ini. Sekarang kita kembali ke pembahasan sebelumnya, kamu mau makan apa?”
“Warteg!”
“Apa itu!?” Edgar merengut, dia bingung.
“Warung makan gitu,” terang Vanila.
“Restoran?”
“Hu'um. Katakan saja begitu, … tapi ini versi low budget!”
Edgar terlihat menimbang-nimbang. Jika diizinkan, dirinya khawatir. Bukan apa-apa, bagaimana kalau Vanila kabur? Permintaan talak nya saja sudah membuat Edgar kebingungan. Lantas bagaimana kalau perempuan itu tiba-tiba melarikan diri?
“Order via online saja lah, ya?”
“Ga mau!” Vanila cemberut lalu menggelengkan kepala.
“Astaga.”
“Pak saya bosan di rumah, saya manusia yang butuh sosialisasi sama manusia lain.”
“Kamu kira saya sama Irgi apa?”
“Ah kesel nih lama-lama. Ga usah aja, saya ga mau makan!”
Edgar diam menatap Vanila lekat-lekat, sementara Vanila acuh dan kembali memperhatikan tayangan film di hadapannya.
“Saya antar mau?”
“Emang boleh?”
“Saya antar ya?”
Vanila mengangguk, ekspresi wajahnya kembali berseri-seri. Dia bahkan langsung meletakkan dus pizza di atas tempat tidur ketika ingin cepat-cepat pergi.
“Kalau gitu saya mau siap-siap dulu…”
Terlihat Vanila begitu semangat, dia menegakan tubuh secara berniat turun dari tempat tidur dengan cepat.
Tapi tangan besar Edgar malah menahannya.
“Van, jangan lupa kaki kamu baru membaik setelah saya kompres!”
Intinya Edgar ingin Vanila tidak ceroboh.
“Oh iya, iya. Maaf saya terlalu bersemangat, heheh.”
Edgar menghela nafas, lalu bangkit dan mengulurkan tangannya yang segera diterima oleh Vanila.
“Sambil muter-muter ya, sedikit?”
Vanila menengadahkan pandangan, menatap lelaki tinggi yang berjalan lebih dulu darinya.
“Jangan ngelunjak, Vanila!”
Vanila merengut, bibirnya komat-kamit mengutarakan kekesalannya.
***
Bentley hitam mengkilap melaju kencang membelah jalanan ibu kota di bawah teriknya cahaya matahari.
Situasi cukup ramai, terjadi beberapa kepadatan lalu lintas di beberapa titik. Dan itu cukup membuat Edgar merasa sedikit kesal karena harus menghadapi kemacetan saat cuaca terik sampai-sampai Edgar harus mengenakan kacamata hitam untuk menjernihkan pandangan.
Lagi-lagi, cuma Vanila yang bisa membuat Edgar melakukan itu selain menikah dan menahannya di rumah.
“Cuacanya sedikit—”
“Tidak, ini bukan sedikit. Ini panas sekali!” Sergah Edgar.
Raut wajah kesalnya tidak bisa di sembunyikan.
“Di depan ada gerai es krim, mampir dulu boleh?”
“Nggak!”
“Ih ‘kan lumayan beli yang dingin-dingin biar bapak ga bete.”
“Tidak Vanila!”
“Aku yang bayar deh?”
“Heh, kamu pikir saya tidak mau kesana karena tidak bisa membayarnya?”
“Bukan…”
“Jangankan es, area ruko itu saya bisa beli semuanya!”
Awalnya Vanila memperhatikan Edgar yang sedang mengemudi, tapi dia langsung mengubah sedikit posisi duduk dan beralih melihat ke arah samping.
Sudahlah, dia mulai malas dengan Edgar.
“Saya heran, kenapa gadis seusiamu itu senang sekali merajuk. Menggunakan itu sebagai senjata agar saya memberikan apa yang kalian mau!”
“Bapak capek ga dengan sikap saya?”
“Saya rasa, ya. Akhir-akhir ini kamu—”
“Gampang padahal, bapak tinggal talak saya. Udah semua beres, hidup bapak bebas juga ‘kan? Kenapa repot-repot begini coba?”
Edgar melirik Vanila sekilas sampai pandangan mereka berdua bersirobok, lantas kembali menatap kedepan tanpa mau memberikan komentar apapun.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Yuhu cuyung, terima kasih untuk kalian yang selalu memberikan dukungan sampai novel ini bisa terus berkembang walaupun pembacanya masih belasan😘 aylopyu, sayang kalian banyak-banyak. Jangan lupa like & komen juga🥰
ternyata harus nunggu up lagi 😁😍
kicep tuh si om om 😁😍
atau vanila sengaja ya biar cepat ditalak🤔