Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Asyla
🌸
🌸
“Kenapa kamu mengizinkan asisten rumah tangga membawa anak balitanya bekerja?” Bu Andin bersedekap. Tatapannya pada sang putra cukup tajam menuntut sebuah penjelasan.
“Kasihan, Mah.”
“Lebih kasihan kalau dia dibawa. Bagaimana ibunya bisa bekerja? Nanti malah mengganggu dan akhirnya pekerjaannya tidak beres.”
“Selama ini Asyla bisa bekerja dengan baik kok.”
“Lalu bagaimana dengan anaknya?”
“Tirta anaknya tenang. Dia hanya akan duduk dan bermain sementara Asyla menyelesaikan pekerjaan. Mama jangan tega gitu lah.”
“Bukannya Mama tega, Lendra. Mama hanya tidak ingin sesuatu menimbulkan masalah hanya karena kamu merasa kasihan pada anak itu. Seharusnya dia diam di rumah diasuh dengan baik, tapi —”
“Tidak ada yang mengasuhnya, Mah.” tukas Alendra sambil melirik ke arah samping ketika ekor matanya menangkap pergerakan seseorang. Yang adalah Asyla dengan sebuah nampan berisi cangkir teh di tangan.
“Kenapa tidak ada yang mengasuh? Memangnya keluarganya di mana?”
“Asyla nggak punya keluarga.”
“Katanya dia tetangganya pak Pardi.”
“Iya, memang.”
“Lantas? Apa dia tidak punya keluarga? Memangnya ke mana suaminya?”
“Dia janda, Mah. Yatim piatu. Suaminya sudah meninggal waktu dia hamil empat bulan.”
Bu Andin menahan napas untuk sejenak.
“Lalu mertuanya?”
“Mereka —”
“Tidak mungkin suaminya juga yatim, kan?”
“Tidak, hanya saja ….”
“Kenapa tidak dititipkan saja? Masa kerja harus bawa anak balita? Kasihan anaknya.”
“Justru lebih kasihan kalau Tirta ditinggalkan. Tadi malam saja waktu diperiksa dokter katanya dia kurang gizi. Itu artinya dia tidak terurus, kan?”
“Lalu apa hubungannya denganmu? Asyla dapat gaji karena bekerja di sini, kan? Pasti dia bisa membelikan makanan atau susu untuk anaknya. Tidak harus dibawa ke sini juga.”
“Ma, ceritanya panjang. Intinya, Asyla tidak bisa lagi meninggalkan Tirta selama dia bekerja. Ada masalah serius yang dia hadapi sehingga mengharuskannya keluar dari rumah.”
“Cerita apa? Masalah apa? Kenapa juga harus kamu yang repot? Kamu hanya cukup mempekerjakan lalu membayarnya dengan layak. Habis perkara.”
“Nggak se sederhana itu, Mah.”
“Ah, Mama nggak ngerti dengan jalan pikiran kamu. Kenapa masalah orang lain kamu ambil alih tanggung jawabnya? Apalagi dia bukan siapa-siapa kita. Hanya pekerja yang kita upah.”
“Mama lupa dengan keluarga pak Pardi?”
“Apa hubungannya dengan keluarga pak Pardi? Bukankah dia hanya tetangganya? Bukan kerabat atau anaknya, jadi —”
“Asyla hampir saja dijual sama rentenir oleh mertuanya, Mah.” Alendra akhirnya memberanikan diri memotong ucapan ibunya.
“Apa?”
“Dia hampir saja dinikahkan dengan tuan tanah untuk membayar hutang yang bahkan bukan karena perbuatannya. Dan Mama tau siapa pelakunya?”
Bu Andin terdiam.
“Mertuanya, Mah.”
“Ya Allah!” Perempuan paruh baya itu mengurut dadanya karena rasa terkejut.
“Kalau dia nggak mau nikah ya harus keluar dari rumah itu, makanya aku izinkan dia tinggal di sini dengan Tirta.”
“Tapi —”
“Bukankah Mama dan papa sendiri yang selalu mengajarkan kalau kita harus memanusiakan manusia, tidak peduli dari mana asalnya, apa profesinya, dan bagaimana keadaannya. Asalkan dia bukan orang jahat, jika butuh bantuan maka harus kita tolong?”
“Tapi … tidak begitu juga, Le.”
“Apa bedanya dengan keluarga pak Pardi yang sudah Mama anggap seperti kerabat sendiri?”
“Kita kenal mereka lama. Pak Pardi ikut papamu sejak dia remaja, makanya kami percaya dia. Sedangkan ini ….” Bu Andin pun menoleh ke samping saat pandangannya juga menangkap sosok Asyla yang belum berani masuk ke ruangan itu.
“Aku yang datang ke sana waktu Asyla mau dinikahkan, dan hampir saja itu terjadi. Kalau tidak, mungkin sekarang dia sudah ….”
“Setidaknya jangan libatkan dirimu sendiri terlalu jauh pada masalah orang lain, Le.”
“Aku tau, dan tidak melakukannya. Hanya sekali itu saja, selanjutnya tidak ada. Dan masalahnya sudah selesai.”
“Kamu yakin?”
“Ya, aku rasa.”
“Bisa-bisanya kamu begitu.” Bu Andin mengurut pelipisnya ketika dia tiba-tiba saja merasa sedikit pusing.
“Kalau menemukan orang yang butuh pertolongan masa aku diam saja?”
“Iya sih, tapi —”
“Tidak apa-apa, percayalah. Asyla orang yang baik. Tirta juga anaknya manis. Mama pasti akan menyukainya kalau sudah kenal.”
“Hmm ….” Bu Andin mendelik.
“Mama tidak lihat kalau keadaanku sebaik ini? Kan berkat Asyla juga. Dia mengurusku dengan baik.” Sedangkan Alendra merentangkan tangannya untuk menunjukkan keadaannya.
“Maksud kamu?”
“Dia mengurus vila jadi sangat nyaman, memasak makanan untukku, dan mengurus semua keperluanku.”
“Sudah seharusnya begitu karena memang pekerjaannya, kan?”
“Iya, makanya.”
“Memangnya tidak ada orang lain?”
“Sudah cocok dengan Asyla, Mah.”
“Hah?”
“Maksudnya dengan pekerjaannya Asyla.”
“Kamu ini, ada-ada saja.”
“Jadi, sudah ya? Jangan dipermasalahkan?” Alendra tampak lega karena ibunya bisa dibujuk dengan mudah. Tidak bisa dibayangkan jika perempuan itu bersikeras menolak Asyla, maka akan bagaimana dirinya?
Maksudnya, bagaimana juga dengan Asyla dan Tirta? Akan tinggal di mana mereka?
“Terserah kamu saja lah, yang penting dia bekerja dengan baik.”
“Iya, Ma. Pasti.” Kemudian Alendra melirik lagi ke arah Asyla. Dia tersenyum sambil mengangguk samar sebagai tanda bahwa wanita itu diperbolehkan untuk mengantar teh untuk ibunya.
“Permisi?” Kepalanya menunduk tak berani menatap bu Andin. Segan. Lalu dia berlutut di dekat meja untuk meletakkan teh yang masih mengepulkan uap tipis. “Silahkan Pak, Bu.” katanya sambil mengangguk sama sopannya seperti tadi, kemudian segera undur diri tanpa menunggu majikannya mengucapkan sesuatu.
***
“Tirta sudah baikkan?” Alendra menghampirinya yang sedang membuat makan siang sepeninggal kedua orang tuanya yang sedang beristirahat di kamar atas.
“Sudah, Pak. Tadi minum obat, makanya sekarang tidur.”
“Syukurlah.” Pria itu menuangkan air putih ke dalam gelas miliknya kemudian meminumnya hingga tandas.
“Terima kasih, Pak. Sudah nolongin Tirta.” Asyla beralih kepadanya setelah mematikan kompor.
“Dari tadi terima kasih terus.”
“Soalnya saya nggak bisa apa-apa lagi, nggak punya apa-apa juga.”
“Kamu masih bisa kerja, punya Tirta juga.”
“Maksudnya untuk membalas kebaikan Bapak.”
“Kenapa harus dibalas? Kamu ‘kan bekerja di sini.”
“Potong gaji maksudnya? Makin lama dong saya kerjanya di sini?”
“Ya, kan itu yang kamu bilang kemarin-kemarin?”
Asyla terdiam.
“Dengar, Syla. Saya tidak sebaik itu hanya karena menolong kamu. Saya hanyalah orang yang tepat di waktu yang tepat, ya bisa disebut kebetulan juga. Jadi jangan menyanjung saya setinggi itu. Kamu pegawai saya, jadi ya sudah tanggung jawab saya melindungi kepentingan kamu. Lagian ada timbal baliknya juga, kan?”
“Timbal balik?”
“Potong gaji.” Alendra kemudian tertawa, “jadi, nggak usah merasa nggak enak begitu sama saya. Kamu pegawai, sedangkan saya bos kamu.”
Asyla pun tersenyum, “Jadi yang semalam itu habis berapa waktu mengobati Tirta?” Lalu dia memindahkan beberapa piring berisi makanan ke meja makan dan Alendra secara refleks membantunya.
“Nggak seberapa.”
“Berapa, Pak?”
“Nggak penting juga kamu tau.”
“Ya penting dong, bukannya gaji saya dipotong ya?”
Alendra tersenyum.
“Serius, biar saya tau gitu.”
“Satu juta setengah.”
“Hah? Gaji saya sebulan dong?” Wajah Asyla tampak memucat.
“Memang.”
“Kenapa mahal sekali?”
“Karena itu UGD dan masuk perawatan khusus.”
“Kenapa Bapak nggak pakai yang biasa aja?”
“Biar penanganannya baik.”
“Memangnya kalau yang biasa nggak baik?”
“Kurang.”
“Kok bisa gitu? Kan rumah sakit.”
Pria itu tertawa cukup kencang, “memangnya kamu ini baru keluar dari goa ya? Masa hal seperti itu saja nggak tau?”
“Maksud Bapak?”
“Semuanya soal uang, Asyla. Kalau kamu mendatangi tempat tertentu dan uangmu hanya mampu membayar kelas biasa, maka yang akan kamu dapatkan adalah pelayanan yang biasa, bahkan mungkin kurang. Tapi kalau kamu membayar lebih maka yang kamu dapatkan adalah yang terbaik.”
“Tapi itu kemahalan, Pak. Bisa makin lama saya bayar hutangnya dong?”
“Nggak apa-apa, waktumu masih banyak Syl. Hahaha.” Alendra melewatinya sambil menepuk punggung wanita itu.
🌸
🌸
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.
takut jantung gak aman lagi ya Le
nanti Asyla beres² rumah, Mas Ale ngasuh Tirta..