NovelToon NovelToon
Sakit, Dituduh Selingkuh

Sakit, Dituduh Selingkuh

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:15.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ludia Tola

Pertemuan dianggap sebagai takdir dalam menjalani kehidupan berumah tangga, namun rasa sakit hati yang ditorehkan setiap saat karena dituduh selingkuh secara perlahan mengubah rasa cinta membeku. Kesabaran ada batasnya. Sampai di manakah batas kesabaran yang miliki oleh tokoh yang berperan sebagai istri (Naya)?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ludia Tola, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menikmati Pemandangan di Sawah

Sudah dua hari Robin dan Naya berada di kampung tapi rencana tidak sesuai dengan harapan karena saat ini Robin masih pincang dan belum mampu untuk mengendarai motor. Naya juga masih harus kontrol di puskesmas karena perban yang melekat di pelipisnya belum dibuka. Ia juga masih sering pusing jika duduk terlalu lama.

Waktu terus berlalu dan Robin pun semakin gelisah mengingat pekerjaannya di kota. Izinnya hanya dua hari tapi sudah seminggu tidak masuk kerja. Tokonya juga tidak pernah dibuka karena orang tuanya juga punya toko sendiri.

Akhirnya ia memutuskan untuk pulang duluan setelah kondisi kakinya semakin membaik. Belum pulih seutuhnya tapi setidaknya sudah bisa mengendarai motor untuk pulang.

"Hati-hati di jalan Kak, ingat motormu belum stabil benar. Bengkel di sini nggak sama bengkel di kota karena di sini belum punya alat yang lengkap, nanti kalau sudah tiba di kota baru masukkan lagi ke bengkel langganan kita di sana!" kata Naya panjang lebar sebelum suaminya berangkat.

Berat rasanya bagi Robin untuk pulang sendiri tanpa sang istri tapi ia juga tidak mau ambil risiko. Kemarin di puskesmas, perawat menyampaikan bahwa kepala Naya tidak boleh terlalu goyang jadi harus menunggu hingga benar-benar pulih baru pulang ke kota.

Kondisi jalanan sangat berbahaya jika harus memaksa Naya untuk pulang sekarang.

"Oke, Kakak berangkat dulu, kamu jaga diri baik-baik dan ingat, jangan macam-macam!"

"Kenapa bicara seperti itu, memangnya saya mau ngapain?" tanya Naya dengan kesal.

"Saya hanya mengingatkan!" jawab Robin lalu tarik gas.

Naya masuk ke rumah dengan lesu. Kata-kata yang diucapkan suaminya selalu saja mematahkan semangat dan menyakitkan hati. Matanya pun berkaca-kaca.

Untuk menghalau rasa sakit hati, Naya bersiap dan menyusul papa dan mamanya ke sawah. Tadi pagi keduanya berangkat ke sawah ketika hari masih gelap karena sudah menjadi kebiasaan di kampung jika hendak menghambur bibit di sawah maka harus dilakukan pada pagi-pagi buta sebelum ayam turun dari tempatnya bertengger.

Naya berjalan kaki dengan pelan sekali karena takut jika kepalanya terlalu goyang dan juga ingin menikmati suasana kampung halaman di pagi hari. Tidak ada kebisingan seperti di kota.

"Aduh, Nak, kenapa datang ke sini? Kamu itu belum sembuh benar," seru Ibu Sara ketika melihat Naya berjalan ke arahnya.

"Bosan di rumah, Ma, lagian kepala saya udah agak baikan," sahut Naya.

"Apakah suamimu sudah berangkat?"

"Iya, Pa, baru aja,"

Naya duduk di pondok sambil menikmati pemandangan yang sungguh indah. Hamparan sawah yang luas sangat memanjakan mata.

Suasana juga ramai dengan para pekerja yang sudah turun di sawah secara bersama-sama. Mereka bekerja dengan giat dan sesekali terdengar suara derai tawa yang menandakan bahwa mereka sangat menikmati pekerjaan tersebut.

Demikian juga dengan Pak Rusdi dan Ibu Sara, keduanya bekerja dengan rajin sambil sesekali bersenda-gurau. Naya jadi iri melihatnya. Ingin sekali ia turun ke sawah untuk membantu kedua orang tuanya sambil main lumpur tapi apa daya kondisi tubuh yang tidak memungkinkan.

Seandainya tidak terjadi kecelakaan pasti saat ini saya sudah bergelut dengan lumpur sawah. Eh, tunggu dulu! Ia sudah balik ke kota karena rencana awal hanya akan menginap selama dua hari. Ada juga sisi positifnya mengalami kecelakaan karena bisa berlama-lama di kampung. Naya tersenyum dengan segala asumsi yang melintas di pikirannya.

Angin bertiup sepoi-sepoi membuat suasana hati menjadi tenang dan damai. Sejenak ia melupakan persoalan hidup yang sedang menghimpit.

Sinar matahari mulai meninggi dan panasnya juga mulai menyengat namun para patani masih saja bekerja dengan penuh semangat.

Naya meraih ponselnya lalu mengambil beberapa gambar dan video untuk dijadikan kenang-kenangan.

Usai menghambur bibit, Pak Rusdi dan Ibu Sara naik ke pondok untuk istirahat dan makan siang. Naya membuka tempat bekal yang dibawa oleh mama dari rumah tadi. Ada nasi, sayur daun singkong, dan ikan sambal ikan asin.

Menu yang sangat sederhana tapi menggugah selera.

"Ayo, kita makan!" ajak sang mama.

Terlebih dahulu Ibu Sara melayani suaminya sebagai rasa hormat kepada kepala keluarga, setelah itu baru dirinya sendiri.

"Mama, Papa, kami udah pulang!" teriak Adnan yang berjalan di pematang sawah menuju pondok.

Adnan datang ke sawah bersama Dadang, kakaknya. Sesuai dengan pesan sang mama bahwa sepulang sekolah, ganti baju sekolah dengan pakaian biasa lalu ke sawah. Makan siangnya di sawah biar ramai dan setelah itu bisa membantu papa dan mama bekerja di sawah.

Ibu Sara menyambut anak-anaknya dengan senang. Tak tampak rasa lelah di wajahnya padahal sudah setengah hari bergelut dengan lumpur sawah.

Naya sangat mengagumi keuletan mamanya. Ia berharap sifat mama akan menular dan turun ke dirinya kelak.

"Adnan udah lapar bangat, Ma!" rengek Adnan dan berharap sang mama akan melayani dia.

"Adek, kamu itu udah besar, jadi nggak usah dilayani oleh Mama lagi," ucap Naya dengan lembut.

"Tapi 'kan, Adnan udah lapar bangat dan capek jalan dari sekolah," sanggah Adnan.

"Coba, siapa yang paling capek, Mama atau Adnan?" tanya Naya pula.

Adnan terdiam dan tampak ia sedang berpikir untuk memberi jawab atas pertanyaan sang Kakak.

"Tadi Mama kerja apa?" tanya Adnan sambil menatap mamanya yang sedang makan.

Sang Mama tersenyum.

"Tuh, kerajaan mama sama papa tadi!" Naya menunjuk ke hamparan sawah yang sudah berisi bibit padi.

"Berarti mama dong, yang paling capek," ujar Adnan lalu mengambil piring dan menaruh nasi serta lauk ke dalamnya.

"Nah, gitu dong, lain kali dan seterusnya Adnan tidak boleh lagi dilayani oleh mama biar kenaikan kelas nanti, Kakak akan siapkan hadiah,"

"Kak Dadang juga dapat hadiah nanti?" tanya Adnan.

"Ya, jelas dong, Kakak 'kan rajin bantu papa dan mama," celetuk Dadang.

Pak Rusdi masih menyantap makanannya dengan lahap. Ia diam namun menyimak percakapan anak-anaknya. Dalam hati ia mendoakan anak-anaknya agar tetap saling menyayangi walau hidup dalam kesederhanaan.

"Boleh nggak, liburan kenaikan kelas nanti kami ke rumah Kakak?" tanya Adnan setelah selesai makan.

Adnan sering mendengar cerita dari teman-temanya di sekolah bahwa di kota itu ramai, ada banyak lampu-lampu yang menghiasi jalanan dan banyak juga wahana permainan. Ia bercita-cita sekali waktu dapat menginjakkan kaki ke kota dan menyaksikan secara langsung apa yang sering didengarnya dari teman-teman.

"Ya, tentu boleh dong, tapi nanti setelah Kakak punya rumah sendiri soalnya sekarang masih numpang di rumah mertua. Jangankan kamu sama Dadang, Papa dan Mama juga akan saya ajak jalan-jalan ke kota,"

"Hore..., hore...!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!