Dihadapkan pada kenyataan bahwa lelaki yang dicintai tidak bertanggung jawab, Alana nekat bunuh diri. Namun, ibu Daffa memohon kepada Gafi, anak tertuanya, untuk menikahi Alana menggantikan adiknya, padahal lelaki itu sudah punya kekasih.
Gafi terpaksa setuju demi menyelamatkan aib keluarga dan anak dalam kandungan Alana. Namun, Gafi membuat persyaratan, yaitu keduanya akan bercerai setelah Alana melahirkan.
Sesuai kesepakatan yang telah dibuat, keduanya pun bercerai. Alana membawa anaknya dan hidup bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Daffa dan Gafi kembali untuk menagih cinta yang dibuang dahulu.
Persaingan cinta antara dua bersaudara, siapakah yang menjadi pilihan Alana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sebelas
Gafi langsung melepaskan pelukannya dan berdiri. Hal itu membuat Naura menjadi makin panas. Dia ikut berjalan mendekati Alana.
"Maaf, Mas. Aku mengganggu," ucap Alana sambil menunduk. Jantungnya masih berdebar karena tak menyangka akan melihat langsung adegan mesra suaminya dengan sang kekasih.
"Siapa dia, Gaf?" tanya Naura. Dia lalu memeluk lengan Gafi. Memandangi Alana dari ujung rambut hingga kaki. Pandangannya jatuh ke perut Alana yang sudah tampak membuncit.
"Ini Alana ...," jawab Gafi.
"Jadi ini wanita yang tidur dengan Daffa tapi minta tanggung jawab denganmu?" tanya Naura lagi.
"Maaf, Mbak. Aku tak pernah bermaksud minta tanggung jawab dengan Mas Gafi. Tapi itu kemauannya sendiri," jawab Alana.
Tentu saja Alana tak terima di tuduh sengaja meminta pertanggung jawaban dari Gafi. Mereka saja berkenalan secara tak sengaja.
"Sama saja. Kamu mau'kan menikah dengan kekasihku. Tapi ingat ya, setelah anak itu lahir, kalian harus bercerai. Cukup aku mengalah kali ini saja. Jangan sampai ada drama saat perpisahan nanti. Seharusnya aku dan Gafi sudah melangsungkan pernikahan bulan ini dengan mewah, tapi terpaksa di tunda karena kamu," ucap Naura dengan ketus.
"Jangan takut, aku akan selalu ingat dengan perjanjian itu, Mbak!" jawab Alana.
Gafi memandangi kekasihnya dengan tatapan heran. Tak biasanya Naura bicara ketus begitu. Biasanya lembut dan manja.
"Naura, turunkan nada bicaramu. Tak biasanya kamu bicara kasar begini," ucap Gafi.
"Maaf, Gafi. Aku cemburu," ucap Naura kembali lembut dan manja. Dia lalu menempelkan kepalanya di bahu pria itu.
Gafi lalu mengangguk. Dalam pikirannya pasti semua tak sengaja Naura ucapkan karena cemburu yang begitu besar. Dalam hati pria itu bahagia, bukankah cemburu berarti cinta.
"Ada apa kamu ke sini?" tanya Gafi sama Alana.
"Tadi mama memintaku mengantar makanan ini. Takut Mas masih kurang sehat dan tak ada selera makan," jawab Alana.
"Letakan aja di sana. Nanti pasti aku makan. Sebaiknya kamu pulang sekarang. Aku masih ada keperluan! Tadi kamu datang sama siapa?" tanya Gafi.
"Dengan Pak Marwan," jawab Alana dengan suara pelan.
"Di mana Pak Marwan nya sekarang?" tanya Gafi lagi.
"Mungkin di lantai bawah, di lobi," jawab Alana.
Gafi lalu melepaskan pelukan Naura. Dia tersenyum manis sekali dengan wanita itu. Alana merasa sangat iri. Pastilah Gafi sangat mencintainya sehingga memperlakukannya begitu lembut, pikir wanita itu.
"Sayang, aku antar Alana dulu. Kamu tunggu di sini. Sebentar saja," ucap Gafi dengan mengelus rambut sang kekasih.
"Jangan lama!"
"Oke, Sayang. Aku tak akan lama."
Gafi lalu mendekati Alana. Dan mengajaknya meninggalkan ruangan.
"Lain kali kalau mau ke kantor hubungi aku dulu. Jangan datang tanpa izin!" seru Gafi dengan suara datar. Berbeda sekali saat dia bicara dengan Naura.
"Maaf, Mas. Aku janji tidak akan pernah menginjakan kaki ku ke kantor ini lagi," ucap Lana dengan tegas.
Dia tidak mau ada ke salah pahaman lagi. Apa lagi jika dihina sama kekasih suaminya. Walau miskin, Alana masih punya harga diri.
"Aku bukan melarang mu datang! Cuma kau harus beri kabar dulu!" balas Gafi dengan penuh penekanan.
"Kamu memang tak melarang ku, Mas. Tapi aku yang sadar diri. Aku tak mau kekasihmu marah dan cemburu lagi," jawab Alana.
Gafi menghentikan langkahnya. Memandangi Alana dengan tatapan tajam, hingga Alana merasa terintimidasi. Dia lalu menunduk.
"Kamu tersinggung dengan ucapan Naura? Seharusnya kamu paham dengan posisinya. Bagaimana jika kamu menjadi dirinya. Kau hampir menikah dengan kekasihmu tapi gagal karena calonmu dipaksa menikahi wanita lain. Apa kau mengerti dengan perasaan sedih dan kecewanya dia?" tanya Gafi dengan nada tinggi.
"Maaf, sekali lagi maaf. Aku tak pernah bermaksud menyakiti hati Naura. Dari awal aku sudah menolak pernikahan ini, bukan?"
Alana yang memang merasa dadanya sesak sejak melihat suaminya bermesraan, tak bisa lagi menahan air matanya. Tangisannya pecah saat mendengar Gafi bicara dengan nada tinggi.
Alana sadar jika dia hanya istri yang tak di anggap. Tapi salahkah dia merasa dadanya sesak saat menyaksikan langsung suaminya berpelukan bahkan berciuman di depan mata.
Alana sudah membentengi dirinya untuk tidak terpesona atau bahkan jatuh cinta pada Gafi. Tapi salahkah jika dia sakit hati mendengar tuduhan Naura jika dia sengaja minta tanggung jawab pada pria itu.
Gafi terkejut melihat Alana menangis. Dia tak bermaksud membentak istrinya. Dia hanya terbawa emosi.
"Maaf, jika aku bicara kasar," ucap Gafi.
"Kamu dan kekasihmu tak salah, Mas. Aku yang salah. Aku yang seharusnya sadar posisi aku. Terima kasih karena sudah mengingatkan padaku, siapa aku dan bagaimana seharusnya aku bersikap. Sampaikan maafku untuk kekasihmu. Katakan padanya, aku akan selalu ingat dengan janji pernikahan kita. Enam bulan lagi aku pasti akan pergi dari hidupmu," ucap Alana.
Alana lalu berjalan dengan cepat meninggalkan Gafi. Saat melihat Pak Marwan, dia langsung meminta segera pulang. Tanpa mereka sadari Naura menguping dan melihat semua kejadian itu. Dia langsung kembali ke ruangan begitu melihat Alana pergi. Sedangkan Gafi terdiam di tempatnya berdiri.
Dia mengepalkan tangannya dan melayangkan tinju di udara. Seperti ingin meluapkan kekesalannya. Dia lalu menarik rambutnya dengan frustasi.
"Aku tak bermaksud membentakmu, aku hanya terbawa emosi, Lana," gumam Gafi.
Gafi berjalan kembali menuju ruangannya yang berada di lantai lima. Dia membuka pintu dan melihat Naura yang sedang duduk di sofa sambil termenung. Pria itu mendekati kekasih hatinya dan langsung memeluknya.
"Kenapa sedih begini wajahnya?" tanya Gafi dengan nada lembut.
"Gafi, maafkan aku. Aku tak sengaja tadi bersuara sedikit tinggi dengan Alana. Sampaikan nanti padanya, aku menyesal. Semua karena aku cemburu. Aku cemburu karena dia bisa bersamamu terus, tinggal seatap, dan tidur seranjang," ucap Naura dengan suara sendu.
"Sayang, aku memang tinggal seatap. Tapi hatiku ini tetap untukmu. Aku tak pernah melakukan apa-apa dengannya. Kamu hanya menikah di atas kertas. Tubuh dan hatiku ini hanya untukmu," ucap Gafi merayu sang kekasih.
"Kamu janji tidak akan tergoda dan terayu dengannya?"
"Percayalah, Sayang. Aku tak akan pernah tergoda dengannya," jawab Gafi.
"Alana itu ternyata cantik," ucap Naura lagi.
"Lebih cantik kamu. Dan yang terpenting aku mencintaimu," ucap Gafi. Dia membawa kepala sang kekasih ke dalam dekapan dadanya.
Gafi lalu mengajak Naura untuk mencicipi makanan yang di bawa Alana. Mereka berdua menyantapnya hingga habis tak bersisa.
"Gaf, kita jadi ke toko perhiasan?" tanya Naura.
Gafi tadi berjanji akan membelikan wanitanya seperangkat perhiasan model terbaru. Tentu saja Naura menagihnya. Jika Gafi membeli barang, pasti tidak main-main. Selalu yang termahal dan termewah.
"Tentu saja, Sayang. Aku akan membelikan apa saja yang kamu mau sebagai permintaan maafku karena membuat kamu cemburu," ucap Gafi.
"Aku sangat mencintaimu, Gafi. Kau selalu mengerti aku," ucap Naura dengan mengecup pipi sang kekasih.