Devina Arsyla meninggal akibat kecelakaan mobil, saat dia hendak menjemput putrinya di sekolah. Mobil Devina menabrak pohon ketika menghindari para pengendara motor yang ugal-ugalan di jalan raya.
Sejak kejadian itu Mahen Yazid Arham, suami Devina sangat terpukul. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kantor serta di club malam bersama teman-temannya daripada tinggal di rumah.
Hal ini membuat kedua keluarga sangat cemas dan prihatin, lalu mereka sepakat untuk meminta Mahen ganti tikar yaitu dengan menikahi Devani Arsya, adik kembar sang istri.
Namun, Mahen dan Devani sama-sama menolak. Keduanya beranggapan tidak akan pernah menemukan kecocokan, dengan sifat dan keinginan mereka yang selalu bertolak belakang.
Mahen sejak dulu selalu mengira Devani itu adalah gadis liar, urakan yang hanya bisa membuat malu keluarga, sedangkan Devani juga merasa kehadiran Mahen telah membuat dirinya jauh dari Devina.
Bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Apakah akhirnya mereka akan menikah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia Fajar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11. KRITIKAN ANNISA
"Ma! Trias kok nggak balik-balik ya? Memangnya dia kemana sih?" tanya Devani.
"Kamu 'kan temannya, kok malah nanya mama? Makanya jangan berseteru terus dengan Mahen, teman pulang jadi tidak tahu 'kan?" ucap mama Intan.
"Oh...dia pulang! Bagus deh...," ucap Devani.
"Lho...kok gitu Van?" tanya mama bingung.
"Ya bagus Ma, pasti dia pergi ke rumah keluarga Bastian, memberitahukan tentang Bastian yang di bawa ke kantor polisi, Mama 'kan tahu, bagaimana Trias peduli terhadap teman, aku yakin dia kesana," ucap Devani.
"Nggak apa-apa lah, biar keluarga Bastian segera datang mengurus masalah ini. Kasihan juga 'kan jika dia harus menginap di sel, ini 'kan bukan karena kesalahannya. Mama sangat berterimakasih sama dia karena sudah mau menolong, membawa Devina ke rumah sakit, coba kalau dia ikut kabur, pasti Devina sudah hangus terbakar bersama mobilnya."
"Jadi Mama percaya jika Bastian tidak bersalah?" tanya Devani.
"Mama percaya dia tidak bersalah," ucap Mama Intan hingga membuat Devani merasa tenang. Setidaknya ada satu anggota keluarga yang sudah mendukungnya.
"Dek...sebaiknya kamu bawa Annisa pulang, biar dia bisa istirahat di rumah. Kasihan dia, lagipula rumah sakit bukan tempat yang bagus buat anak-anak. Di sini adalah tempatnya orang sakit dan penyakit," ucap Papa Andara.
"Tapi Pa, pasti Annisa tidak akan mau pulang, karena dia mau ketemu mamanya. Papa lihat sendiri 'kan, sejak tadi, itu saja yang dia minta, bahkan dia tidak mau makan," ucap Devani.
"Aku yang akan antar kalian pulang!" ucap Mahen yang muncul dari balik pintu dan mendekati Annisa.
"Pa...Nisa nggak mau pulang lho! Nisa mau di sini saja, biar bisa jaga mama. Mama 'kan kasihan Pa, kalau Nisa sakit, pasti dijagain mama dan sekarang gantian dong Nisa yang akan jaga mama," ucap Annisa dengan bijak.
"Annisa Sayang, rumah sakit nggak baik buat anak-anak, Dokter tidak akan mengizinkan kamu untuk menginap di sini, jadi biar Papa dan eyang saja ya, yang jaga Mama, lagipula besok pagi kamu harus pergi ke sekolah. Mama 'kan tidak suka jika lihat Nisa malas dan bolos sekolah. Besok...pulang sekolah, Nisa boleh kok kesini lagi buat jenguk mama," bujuk Mahen.
Annisa terdiam, dia berpikir apa yang papanya omongin ada benarnya, karena sang mama selalu bilang, bahwa sekolah adalah nomor satu bagi anak-anak seusianya.
"Iya deh Pa, Nisa mau pulang, besok Nisa kesini lagi ya, sepulang sekolah," ucap Annisa.
"Ayo pamit dulu sama Eyang Kakung dan Eyang putri," pinta Mahen.
Annisa pun pamit dengan eyangnya, begitu juga dengan Devani. Lalu Devani menggendong Annisa, dan mengikuti Mahen keluar ruangan.
Sebelum pulang, Mahen melihat ke arah ruang ICU, wajahnya suram, terlihat jelas kesedihan di sana. Ketika dia melihat seorang Dokter keluar dari sana, Mahen berlari menghampirinya untuk menanyakan keadaan Devina.
"Dok...tunggu! Bagaimana kondisi istri saya? Kapan saya boleh menjenguknya Dok?"
"Istri Bapak sudah melewati masa kritis, tapi kita tunggu beberapa saat lagi ya pak, sampai sedikit stabil, barulah salah satu keluarga, kami izinkan untuk menjenguk, pada jam kunjung," ucap Pak Dokter.
"Alhamdulillah, terimakasih Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihatnya. Saya antar anak dulu, dan mudah-mudahan setelah saya kembali ada berita baik lagi," ucap Mahen.
"Sama-sama Pak, kita sama berdoa semoga keajaiban itu ada untuk keluarga Bapak," lanjut Dokter.
"Aamiin..." ucap Mahen dan Devani berbarengan.
"Kalian sama persis ya Dek, tidak bisa saya membedakannya, jika keduanya terbaring di dalam, mungkin bisa ketukar saya memberi pengobatan, dan Pak Mahen apa Anda tidak pernah salah dalam mengenali istri?" kelakar Dokter sambil tersenyum kepada Devani dan Mahen.
"Mudah kok Dok mengenali kami, Saya tidak suka merias diri alias tidak feminim, kebalikan dari saudara kembar saya dan jika Dokter bergaul dengan kami, Dokter akan melihat banyak perbedaan, bak kata pepatah, seperti langit dan bumi, Iya 'kan Mahen?" ucap Devani.
Mahen hanya senyum sekilas menanggapi omongan Devani, lalu dia berkata, "Kami permisi ya Dok, sekali lagi terimakasih, telah memberikan perawatan terbaik kepada istri saya," ucap Mahen.
Dokter pun mengangguk, lalu sama-sama berlalu ke tujuan masing-masing.
Mahen dan Devani berjalan keluar rumah sakit, tapi saat Mahen melihat Devani tertinggal di belakang dan kepayahan menggendong Annisa yang mengantuk, diapun berhenti dan berkata, "Berikan padaku, biar aku yang menggendong!"
"Nggak apa-apa tanggung, sebentar lagi juga sampai mobil 'kan?" jawab Devani.
Mahen tidak mau berdebat, lalu dia mengambil Annisa dari pelukan Devani hingga membuat Annisa mengerjapkan mata dan berkata, "Papa bauk! Papa Bauk rokok," ucap Annisa sambil mengendus dan menutup hidungnya.
Kemudian dia berkata lagi, "Mama 'kan tidak suka Pa, lihat orang merokok. Kenapa sekarang malah Papa yang merokok! Nggak baik merokok lho Pa! Bisa sakit kanker, iya 'kan Bunda?" ucap Annisa sambil meminta persetujuan Devani.
"Iya...Papa salah, itu tadi karena Papa tidak enak menolak tawaran teman yang memberi Papa rokok, lain kali Papa akan tolak. Nisa tidur lagi ya!" ucap Mahen, menghentikan pembicaraan tentang rokok.
Devani tersenyum mendengar kritikan Annisa, dia senang bocah kecil itu bisa membuat Mahen tidak bisa membantah.
"Kamu pindah ke depan! Aku bukan sopir pribadimu!" perintah Mahen.
"Iya Bunda, sini duduk sama Nisa, Nisa masih ngantuk, Nisa mau tidur dipeluk Bunda," pinta Annisa.
Devani pun pindah ke depan bukan karena perintah Mahen tapi karena permintaan Annisa. Dia sebenarnya malas, karena pasti ada saja yang membuat keduanya bersitegang.
"Nah...begini 'kan enak, Nisa bisa bobok lagi," ucap Annisa yang duduk di pangkuan sambil menyandarkan tubuhnya ke dalam dekapan Devani.
Selama perjalanan mereka diam, Annisa sudah kembali tidur dan Mahen fokus dengan setirnya.
Namun tiba-tiba Mahen berkata, "Kamu pasti senang 'kan, pacarmu itu telah dibebaskan!"
"Hah...Bastian sudah keluar! syukur deh," ucap Devani.
"Tapi jangan girang dulu, aku tidak akan membiarkan dia hidup tenang, sampai Devina sadar dan menyatakan dia tidak bersalah," ucap Mahen tanpa melihat ke arah Devani sedikitpun.
"Kamu! mengapa masih saja tidak mengakui bahwa kecelakaan Devani bukan karena Bastian, padahal ada saksi mata di sana!" ucap Devani.
"Biar kalian jera dan sadar, bahwa orang-orang urakan dan suka ugal-ugalan seperti kalian cuma meresahkan dan mencelakai orang lain!" ucap Mahen.
"Terserah kamu deh...capek aku jelasinnya, kamu memang orang paling sempurna dan nggak bakalan pernah mengerti dengan orang-orang seperti kami," ucap Devani.
Akhirnya keduanya kembali diam, hingga mereka tiba di rumah. Devani turun dengan menggendong Annisa sambil berkata, "Annisa akan tidur bersamaku dan besok aku yang akan mengantar dan menjemput dia dari sekolah, kamu sebaiknya cepat kembali ke rumah sakit, siapa tahu ada kabar baik tentang Devina," ucap Devani.
"Baiklah, terimakasih," ucap Mahen sambil mencium dan mengelus rambut putrinya, lalu diapun masuk ke mobil untuk kembali ke rumah sakit.