Seorang CEO yang tak sengaja mendapatkan amanah dari korban kecelakaan yang ditolongnya, untuk menyerahkan cincin pada calon pengantin wanita.
Namun Ia malah diminta Guru dari kedua mempelai tersebut untuk menikah dengan mempelai wanita, yang ditinggal meninggal Dunia oleh calon mempelai pria. Akankah sang CEO menikah dengan mempelai wanita itu? Akankah sang mempelai wanita setuju Menikah dengan sang CEO?
Dan sebuah masalalu yang mempelai wanita itu miliki selalu mengganggu pikirannya. Kekhawatiran yang ia rasakan selalu menghantui pikirannya. Apakah masalalu yang menghantui pikiran mempelai wanita itu?
Cerita ini hanya khayalan Author, jika ada kesamaan tokoh, kejadian itu hanya kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sebutir Debu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Tiga Orang yang harus Dimuliakan & Dihormati
"Pa....."
Nyonya Lukis menenangkan Pak Erlangga dengan memegang lembut lengan sang Suaminya. Hembusan nafas yang kasar keluar dari hidung Pak Erlangga. Lelaki itu kembali duduk.
"Praaannng!"
Gelas kosong yang airnya baru saja dinikmati kesegaran nya oleh Bram hancur berkeping-keping. Karena dilempar dengan kasar oleh CEO MIKEL Group itu. Ayra menggerakkan ujung bibirnya dan menutup matanya karena kaget. Satu kejadian beruntun yang dimana tidak pernah ia lihat dan rasakan selama di pondok pesantren.
Ayra memegang lengan Bram, ia berusaha menenangkan suaminya yang terlihat emosi hingga tatapan sang anak lelaki itu masih menatap tajam ke arah pak Erlangga. Sungguh Ayra bingung harus bersikap bagaimana, disisi lain ia seorang istri namun disisi lain suaminya tidak bersikap sopan pada orang tuanya.
"Lepaskan!"
Bram menghempaskan tangan Ayra dengan kasar yang mencoba memegang lengannya.
"Braaam!"
Pak Erlangga kembali berdiri dan menarik kaos hitam yang dikenakan oleh Bram. Kaos yang telah basah karena dibanjiri keringat. Bahkan keringat sebesar biji jagung pun terlihat di wajah Bram.
"Tidak bisakah kamu berlaku sopan, dia istri mu. Ayolah Bram kamu sudah menikahi Ayra. Tidak bisakah kamu membedakan mana berlian dan mana Kuningan?"
"Siapa yang papa maksud Kuningan? Rani?"
"Papa tidak sedang membahas wanita itu!"
"Wanita itu Maharani Kuncoro Papa. Istri dari Bambang Dwi Pradipta. Menantu ketiga dari bapak Erlangga Pradipta. Seorang lelaki yang angkuh dan sombong."
"Plak!"
Sebuah tamparan diberikan oleh pak Erlangga pada putra sulungnya itu.
"Tampar lagi pa. Tampar!"
"Plak!"
Kali ini tamparan bukan diberikan oleh pak Erlangga melainkan ibu Lukis yang telah berdiri di sisi Bram.
Bram yang dari tadi penuh dengan emosi kini hanya memegang pipinya dengan rasa tidak percaya apa yang barusan ia lihat dan saksikan. Mama nya menampar pipinya. Ini Pertama kali mamanya melakukan itu padanya.
Nyonya Lukis menggigit bibir bawahnya dan menangis. Ia menatap Bram yang baru saja menerima pedasnya tamparan dari kulit tangannya. Ini pertama kali dalam hidup nyonya Lukis menyakiti tubuh putranya itu.
"Hentikan Bram. Hentikan. Mama tidak pernah mengajarkan kamu bersikap seperti itu pada papa mu. Hiks.Hiks."
Nyonya Lukis bergelayut di lengan suaminya dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tiba-tiba tubuhnya ambruk kelantai.
"Bruuugh!"
"Mama!."
Suara spontan dari 3 orang yang berada di ruang makan itu secara bersamaan.
Baru Pak Erlangga ingin menggendong sang istri yang tergeletak di lantai. Namun Pak Erlangga kalah cepat, ia di dorong oleh Bram yang memeluk nyonya Lukis dan mengangkat tubuh wanita yang telah melahirkannya itu ke arah pintu lift.
Ayra dan pak Erlangga cepat menyusul dibelakang Bram. Didalam lift pak Erlangga menelpon dokter keluarga nya untuk segera datang memeriksa kondisi istrinya yang memiliki tekanan darah cukup tinggi.
"Ting"
Pintu lift terbuka di lantai 2. Bram cepat membaringkan tubuh nyonya Lukis disebuah tempat tidur yang berwarna serba putih, dengan headboard yang terukir pahatan 2 angsa.
Ayra membuka high heels ibu mertuanya. Lalu ia duduk diujung kaki sang ibu mertua. Bram tampak sangat khawatir. Berkali-kali ia men cium dahi Nyonya Lukis.
"Ma....."
Suara Bram terdengar parau. Pak Erlangga duduk disebelah sisi ranjang dan membelai lembut kening nyonya Lukis.
Pemandangan yang sangat kontras yang tersaji di meja makan tadi dengan pemandangan di kamar ini. Dua lelaki yang tadi terlihat sangat egois, angkuh kini terlihat sangat lemah dihadapan seorang wanita yang memiliki dua peran dalam keluarga itu.
"Kamu ternyata punya sisi yang lembut mas. Aku bisa melihat jelas rasa sayang mu yang besar pada Mama. Seorang ibu, adalah satu keistimewaan di keluarga. Ia mampu menjadi penyatu keluarga nya dengan dua peran yang ia jalani. Sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu. Semoga masih ada sedikit ruang dihati mu mas untuk diriku, semoga belum terisi oleh orang lain."
Ayra yang melihat kedua lelaki itu hanya duduk memandangi wanita yang mereka cintai tanpa melakukan apapun akhirnya mengambil inisiatif.
"Apa ada minyak angin Pa?"
"Hah!? Apa Ay?"
Suara pak Erlangga terdengar bingung.
"Ada minyak angin Pa? Itu biasanya sedikit membuat kondisi orang pingsan lebih baik."
"Oh coba kamu cari di dalam laci itu."
Pak Erlangga menunjuk meja hias yang juga berwarna putih dan berada disisi kanan Nyonya Lukis.
Ayra berjalan dengan menundukkan tubuhnya disebelah Bram. Bram melirik wanita yang mengenakan gamis hijau dengan corak batik itu. Satu busana yang menurut Bram aneh.
"Jangan harap kamu bisa mendapatkan perhatian ku dengan mendekati mama dan papa."
Bram mendengus kesal dalam hati nya. Ia merasa perselisihan dan perdebatan nya dengan Pak Erlangga terjadi karena kehadiran Ayra dalam hidupnya.
Ayra menemukan sebuah botol putih dan ketika ia buka ia dapat mencium aroma segar khas minya angin. Ayra duduk bertumpu dengan kedua lututnya disebelah ibu mertuanya.
Karena tak mungkin meminta sang suami menggeser posisi duduknya, Bram yang duduk tepat diatas kasur dan disebelah Nyonya Lukis. Ayra mengoleskan minyak angin itu pada leher Nyonya Lukis dan sedikit di hidung Mama mertua nya. Lalu Ayra memijat leher bagian belakang Nyonya Lukis.
Ayra membuka sedikit kancing blus yang dikenakan oleh sang ibu mertua. Ia mengolesi minyak angin itu di bagian dada ibu mertuanya.
Bram melihat kancing baju mamanya sedikit terbuka akhirnya sedikit mundur dari posisinya.
"Duduklah disini!"
Suara lelaki itu masih terdengar ketus. Ayra melirik suaminya dan masih memasang wajah yang sedap dipandang oleh sang suami. Ayra duduk di posisi Bram tadi.
Tak beberapa lama Nyonya lukis membuka matanya. Wanita itu merasakan kepalanya sedikit sakit dan ia melihat ada suami disebelah kirinya. Ayra yang memberikan pijatan pada lehernya dan Bram masih duduk di belakang Ayra. Bram masih menggenggam tangan nyonya Lukis.
Nyonya lukis ingin mencoba bangkit dari posisi nya.
"Ma, istirahat saja dulu. Ayra buatkan air hangat ya biar enak."
"Biar Asih saja Ay."
Baru pak Erlangga akan mengambil interkom yang menempel di dinding langkah nya terhenti.
"Mama ingin Ayra yang buat pa."
"Ma. Ayra menantu dirumah kita. Dia tidak boleh mengerjakan pekerjaan pembantu."
.
"Dulu aku bahkan selalu memasak dan membuat teh dan kopi untuk kakek dan nenek pa. Mama sudah tidak muda lagi pa. Mama sudah sangat merindukan masa-masa diperhatikan oleh seorang menantu. Nyonya Erlangga Pradipta yang katanya sudah memiliki 2 menantu tetapi belum sekali pun mama merasakan memiliki menantu. Ayra belum satu hari bersama kita. Tapi mama merasakan sesuatu yang sangat mama rindukan."
"Tidak apa-apa pa. Ayra biasa mengerjakan apa-apa sendiri di pesantren. Didalam agama kita ada 3 orang tua yang harus dihormati dan dimuliakan dalam hidup kita. Pertama Orang tua yang menjadi sebab lahir ke dunia.Kedua, Orang tua yang menikahkan adalah orang tua pasangan hidup kita. Ketiga, Orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan juga menanamkan nilai-nilai kemuliaan dalam kehidupan yaitu guru kita."
Ayra berjalan yang menjadi kebiasaan bagi Ayra ia berjalan mundur tanpa membelakangi orang yang ia hormati dan anggap orang tua. Satu pasangan yang masih setia dalam sebuah pernikahan tersenyum bahagia mendengar dan melihat adab sang menantu.
Namun Bram hanya melirik sebentar ke arah sang istri.
"Terlalu lebay! kamu bisa mengambil hati Mama dan Papa lewat kata-kata dan tindakan konyol mu tapi tidak dengan diriku!"
Bram masih menggenggam tangan Nyonya Lukis. Nyonya Lukis dapat melihat lirikan Bram kepada Ayra.
"Aku harus berjuang agar anak ku ini bahagia di dalam pernikahannya. Bukankah pernikahan mereka mendapatkan ridho dari kami orang tuanya. Umi Laila tadi bilang akan ada kebahagiaan didalam rumah tangga yang diridhoi kedua orang tua."
soalnya saya banyak kenal orang dari berbagai daerah meskipun pernah mondok, tp tidak sedetail itu tau tentang najis
mau komen keseeell.. ternyata udah ada yg mewakili😆