follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11
Rasanya aneh. Seperti mendapat sebuah tantangan baru ketika dia dicintai oleh kakak iparnya sendiri. Dan tidak dipungkiri bahwa perlahan rasa cinta untuk Gavin juga tumbuh di hatinya.
Selama ini Mikha menganggap rasa nyaman yang diberikan Gavin hanyalah bentuk dari rasa persaudaraan. Sebuah rasa perhatian dari kakak ipar.
Tapi ternyata apa yang dirasakan Gavin lebih dari itu. Terang-terangan dia menyatakan cinta pada Mikha yang jelas-jelas masih istri orang. Istri adiknya sendiri.
Pertemuan Mikha dan Gavin pagi ini terasa canggung. Mendadak Mikha mengkhawatirkan penampilannya di hadapan Gavin. Sepertinya kemarin biasa saja meskipun penampilan Mikha tetap sama dari hari ke hari.
Mikha takut rambutnya kurang rapi, make up-nya terlalu menor, atau pakaian kerjanya tidak pantas. Tapi ketika Gavin diam dan tak mengomentari penampilannya, itu artinya penampilan Mikha baik-baik saja.
"Kenapa diam aja?" Gavin membuyarkan lamunan Mikha.
"Terus aku harus ngapain, Kak? Salto di depan kak Gavin?"
"Ya nggak gitu juga kali. Kamu banyak diam hari ini. Kenapa?"
"Ya kakak pikir aku bisa biasa aja gitu setelah kak Gavin kemarin bilang i love you itu?"
"Kamu nggak suka?"
Mikha terdiam. Memang belum menjawab pernyataan cinta dari kakak ipar. Tapi hatinya tidak menolak. Justru dia merasa senang saat Gavin menyatakan cinta.
"Bukan nggak suka, sih."
"Berarti diterima?"
"Apanya?"
"Aku nggak akan maksa, Kha. Semua ada di kamu. Aku sendiri paham bahwa kamu bukan orang yang bebas. Kamu masih bersuami. Aku tahu ini salah. Tapi... Aku nggak bisa nahan lagi, Kha. Apapun keputusan kamu, aku terima. Aku cuma pengen kamu tau kalau aku sayang sama kamu. Lebih dari seorang ipar."
Mikha menghembuskan napas berat. Dia tidak bisa sembarangan dalam mengambil keputusan. Akan berakibat fatal jika sekarang Mikha menerima cinta Gilang.
Bagi Mikha, setia itu penting meskipun dalam pernikahannya dengan Gilang tidak ada kata cinta. Bahkan Mikha tidak tau kemana Gilang akan membawa rumah tangga mereka.
Gilang selalu sibuk dengan urusannya dan enggan mendekatkan diri dengan Mikha. Hal yang selalu membuat Mikha bertanya-tanya, ada apa dengan Gilang?
Mungkin, perumpamaan cinta akan datang karena terbiasa itu tidak berlaku bagi rumah tangganya dengan Gilang. Justru berlaku pada dirinya dengan kakak iparnya yang ternyata jika Mikha perhatikan, Gavin berkali-kali lipat lebih tampan dari Gilang.
Setelah menciptakan perasaan nyaman, Gavin menyatakan cinta. Bahkan dia memberikan ciuman lekat yang baru Mikha rasakan seumur hidupnya.
Ciuman yang diam-diam dia harapkan lagi dari Gavin. "Oke... Bahkan aku nggak berminat buat dicium Gilang. Pilih kak Gavin aja yang menciumku," batin Mikha dengan nakal.
Ya, meskipun Mikha pernah berpacaran namun bukan berarti Mikha memberikan bibirnya ke mantan pacarnya dulu. Bahkan Gilang saja belum pernah mendapatkan bibir Mikha selain sandiwara kemarin saat Mikha mencium pipi Gilang.
Cukup sekali itu saja. Rasanya Mikha hanya ingin satu orang saja yang boleh mencium bibirnya. Siapa lagi kalau bukan Gavin orangnya?
"Kamu nggak pengen cari tahu tentang Gilang?"
"Cari tahu soal apa?"
"Soal kenapa dia tidak mencintai kamu, tapi juga tidak mau menceraikan kamu."
"Caranya gimana? Kak Gavin aja nggak mau bantu aku, kok." Wajah Mikha berubah kesal.
Dia ingat ketika dia harus menangis di kaki Gavin agar Gavin mau membantunya. Tapi Gavin tetap tidak mau membantu sedikitpun. Kalau saja Gavin mau membantunya, mungkin saat ini dirinya dan Gilang sudah masuk ke proses perceraian.
"Datang aja ke kantornya dia. Jam makan siang paling tepat."
"Ngapain?"
"Datang aja secara diam-diam. Jangan sampai dia tau. Siapkan handphone untuk merekam apa yang kamu lihat atau yang kamu dengar."
***
Rasa penasaran akan apa yang dikatakan Gavin membuat Mikha benar-benar mendatangi kantor Gilang. Hal yang baru pertama kali dia lakukan setelah enam bulan lebih menikah dengan Gilang.
Gedung dua puluh lantai yang menjulang tinggi sudah di depan mata Mikha. Jantung Mikha berdebar kencang. Menerka-nerka apa yang akan dia lihat di dalam sana nanti.
"Ruangan Gilang sebelah mana, ya?" tanyanya pada resepsionis yang bernama Shella.
Shella memicingkan matanya menatap Mikha yang masih muda, tapi sudah berpenampilan seperti wanita karir. Bertanya dalam hati siapa dia sampai berani memanggil Gilang tanpa embel-embel Pak.
"Siapa, ya? Ada perlu apa dengan Pak Gilang? Sudah buat janji?"
"Nggak kenal sama gue?"
Shella menggelengkan kepalanya.
"Resepsionis baru, ya? Baru berapa bulan di sini?"
"Lima bulan."
Mikha tertawa sinis. "Pantas aja. Kenalin." Mikha mengulurkan tangannya untuk menyalami Shella. "Mikhayla Wiratmaja. Istri dari Gilang."
"Istri?"
Mikha mengangguk mengiyakan. "Iya. Kenapa? Nggak percaya? Apa perlu gue telepon Papa Anton sekarang juga?"
Shella menggeleng takut. "Jangan. Baik, Pak Gilang ada di ruangannya."
"Lantai berapa?"
"Sembilan belas."
"Oke."
Mikha sudah melangkahkan kakinya sebelum akhirnya dia kembali lagi ke depan meja Shella. "Jangan telepon Gilang. Gue kesini mau kasih surprise buat dia. Kalau Lo nekat, gue bakalan minta Papa Anton buat pecat Lo."
"Enggak. Nggak akan, kok."
"Bagus."
***
Jantung Mikha semakin berdebar saat perlahan lift naik, membawanya ke lantai sembilan belas tempat ruangan Gilang berada.
Gilang ngapain?
Apa yang bakalan gue lihat di sana?
Atau apa yang akan gue dengar di sana?
Pertanyaan itu terus berputar di kepala Mikha. Hingga tak sadar kalau pintu lift sudah terbuka di lantai sembilan belas.
Mikha mengedarkan pandangannya ke segala arah. Hanya ada dua ruangan di lantai seluas ini. Konsepnya hampir sama dengan kantor Gavin. Hanya ada ruang sekertaris dan juga ruang kerja Gilang.
Masih ada satu ruangan lagi sebenarnya. Tapi ruangan tersebut terbuka. Ada beberapa kursi di sekitar meja bundar dan juga sofa yang mengelilingi ruangan tersebut. Mungkin ruangan itu digunakan jika ada tamu besar, pikir Mikha.
Menengok sekilas ke ruangan sekertaris yang ternyata kosong. Hal itu memudahkan Mikha untuk masuk ke ruangan Gilang tanpa ada yang menghalangi lagi.
Saat kaki Mikha mulai mendekati ruangan Gilang yang ternyata pintunya tak tertutup dengan sempurna, sayup-sayup terdengar suara yang sebenarnya Mikha sendiri tidak asing dengan suara seperti itu. Suara seorang lelaki dan perempuan yang terdengar semakin jelas.
Jantung Mikha berdegup kencang. Mikha bukan perempuan yang tak tau kalau itu adalah suara *******. ******* yang terdengar bersahutan dari dalam sana, menandakan betapa panasnya kegiatan yang mereka lakukan saat ini.
Tangan Mikha gemetaran. Tapi dia masih mampu mengambil ponselnya dan menyalakan mode video, seperti saran Gavin.
Mikha mencari posisi yang pas untuk bisa merekam kegiatan Gilang bersama seorang perempuan yang duduk di pangkuannya dengan pakaian yang hampir terbuka seluruhnya.
Beruntung, mudah saja bagi Mikha mendapatkan rekaman tersebut dengan wajah Gilang dan perempuan tersebut terlihat dengan jelas. Mereka terlalu asyik sehingga tak menyadari keberadaan Mikha di sana. Bahkan di saat Mikha membuka sedikit lebih lebar pintu ruangan Gilang.
"Ya ampun, mata gue," ucap Mikha dalam hati. Tak ingin melihat kegiatan tersebut. Tapi demi sempurnanya rekaman yang dia miliki, Mikha terpaksa tetap membuka matanya.
"Kurang ajar Lo, Gilang. Dasar lelaki murahan, Lo. Bisa-bisanya punya istri dianggurin malah kayak gini sama perempuan lain," batinnya dengan kesal.
Mikha mulai merasa jijik saat mendengar ******* tersebut semakin kencang. Hingga tanpa menunggu mereka selesai dengan kegiatan mereka yang menjijikkan, Mikha memilih pergi dari tempat tersebut.
🌹🌹🌹
Mikha melempar ponselnya dengan kasar ke atas meja Gavin. Membuat Gavin tersenyum puas tanpa bertanya apa yang Mikha dapatkan di sana.
"Kakak simpan handphone itu."
"Kenapa? Terus kamu pakai handphone apa?"
"Ya aku nggak mau bawa handphone yang ada video tidak senonoh begitu. Aku mau beli baru aja."
"Ya dihapus kan, bisa."
"Jangan, dong. Itu bisa jadi bukti buat menuntut cerai dari Gilang."
Gavin tertawa kecil. "Ini baru satu bukti, Kha. Masih banyak lagi yang harus kamu dapatkan. Buat Gilang kalah telak di pengadilan nanti."
Mikha membelalakkan matanya. "Apa lagi yang harus aku cari, kak?"
"Banyak." Gavin beranjak dari tempat duduknya. Menghampiri Mikha lalu menggandeng tangannya. "Yuk, aku beliin aja handphonenya."
"Enggak." Mikha menarik tangannya dengan paksa sehingga mendapatkan tatapan penuh tanya dari Gavin. "Aku bisa beli sendiri. Aku bukan cewek matre, ya."
"Nggak ada yang bilang kamu cewek matre, Sayang. Aku cuma pengen beliin apa aja yang kamu mau meskipun uang dari Gilang sama orangtua kamu udah tumpah-tumpah di rekening kamu."
Tubuh Mikha mematung. Panggilan sayang dari Gavin yang menyebabkan Mikha tak berkutik sama sekali.
"Ayo." Ajak Gavin saat Mikha masih saja berdiam diri di tempatnya.
Mikha mengulum bibirnya menahan senyuman. "Tunggu," ucapnya kembali menghentikan langkah Gavin.
"Apa lagi, Mikha? Jadi beli handphone atau_"
Cup!
Mikha mengecup pipi Gavin dengan singkat. "Jadi, dong. Ayo berangkat."
Mikha berjalan mendahului Gavin. Meninggalkan Gavin yang tersenyum senang dengan apa yang baru saja dia dapatkan.
🌹🌹🌹
Gilang tersenyum lebar menyaksikan wanitanya lemas tak berdaya di atas sofa di ruangannya.
Pakaian mereka belum mereka sempurnakan, tapi rasanya masih ingin kembali melakukan apa yang selalu mereka lakukan setiap hari di ruangan tersebut. Meskipun hari ini mereka sudah mengulangnya berkali-kali. Bahkan Gilang harus membatalkan beberapa meeting demi bisa menghabiskan waktu dengan Viona. Wanita berstatus sekertarisnya, juga kekasih hatinya.
Hubungan mereka terjalin bahkan sebelum Gilang menikah dengan Mikha.
"Lang, pintu bisa terbuka lebar begitu, ya?"
Gilang langsung melihat ke arah pintu. "Memangnya tadi nggak tertutup?"
Viona menggeleng. "Ketutup, kok, Lang. Tapi nggak rapat."
Tanpa banyak bicara, Gilang langsung memencet beberapa nomor di telepon yang ada di atas mejanya.
"Tadi ada yang naik ke ruangan saya?"
"Ada, Pak."
"Siapa?"
"Dia bilang, dia istri Pak Gilang. Saya tidak berani menahannya karena mengancam saya akan mengadukan ke Pak Anton karena_"
"Sial!" umpatnya sambil meletakkan gagang telepon dengan kasar.
"Kenapa?" Viona menatap Gilang dengan penuh tanya.
"Mikha ke sini."
"What?"
Gilang tidak bisa berpikir lagi untuk saat ini. Yang pasti, semuanya akan segera berakhir karena Mikha sudah tau akan hal ini.
🌹🌹🌹
Part panjang nih... semoga suka ya... 😘😘