Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
Bab 1: Nasi Goreng di Sepatu Mahal
Namaku Cathesa Arunea Agastha. Panggil saja Cathesa, atau The-sa, kalau kamu merasa dekat. Tapi orang kantor biasanya memanggilku, “Eh, kamu bagian administrasi kan?”
Aku perempuan biasa. Saking biasanya, kadang pintu lift pun malas terbuka untukku. Tapi hidupku berubah—bukan karena kutemukan cinta sejati, bukan pula karena tiba-tiba viral di TikTok—melainkan karena… nasi goreng.
Hari itu aku membawa bekal. Sederhana saja: nasi goreng buatan warteg ujung jalan, ditambah kerupuk pink yang rasanya lebih mirip plastik aromatik daripada kerupuk.
Aku berjalan cepat di lobi kantor, terburu-buru karena bosku bilang, “Kalau laporan itu nggak nyampe meja gue jam sembilan, kamu jangan nyampe kantor besok.”
Aku panik. Tangan kanan megang map. Tangan kiri bawa kotak nasi goreng. Langkah cepat, napas ngos-ngosan, rambut awut-awutan seperti habis dikejar debt collector.
Lalu—karena Tuhan sedang ingin bercanda—aku menabrak seseorang.
BRUK.
Kotak nasi gorengku terbang. Dalam gerakan slow motion, aku melihat nasinya berputar di udara seperti bintang jatuh, sebelum mendarat sempurna di sepatu pria itu.
Pria itu menunduk. Menatap sepatunya yang sekarang bertabur nasi, telur orak-arik, dan sepotong sosis potong miring.
Aku menatap wajahnya.
Tegas. Dingin. Mata tajam seperti pisau dapur baru diasah.
Itu adalah… Nagendra Ramiel Alejandro.
CEO. Atasan tertinggi. Raja beku dari kantor kami.
Jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Atau mungkin berhenti. Aku belum yakin. Aku hanya tahu aku ingin hilang. Menguap. Menyamar jadi pot bunga.
Dengan suara setenang kuburan, dia berkata:
“Ini Louboutin.”
Aku mengangguk seperti ayam disuruh ceramah. “Saya… saya kira itu nama makanan Korea, Pak…”
Dia tidak tertawa. Jangankan tertawa, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. Kalau ada lomba mimik muka tidak bergeming, dia juara umum.
Aku buru-buru mengeluarkan tisu dari dompet—yang, sialnya, bergambar kartun kelinci memakai tutu.
“Saya bersihkan, Pak?”
Dia menatapku. Lama.
Kemudian menjauhkan sedikit kakinya.
“Jangan sentuh.”
Aku langsung berdiri tegak, hampir hormat. “Siap, Pak!”
Dia berjalan pergi. Sepatunya masih menyisakan sebutir jagung menempel di sisi kiri. Aku ingin mengejar dan mencoleknya—maksudku, mencolek jagungnya—tapi niatku mati bersama harga diriku yang barusan tewas di lantai lobi.
⸻
Aku tidak tahu, hari itu akan jadi awal dari cerita aneh hidupku.
Karena setelah insiden nasi goreng itu, aku mulai sering melihat Nagendra Ramiel Alejandro—dengan tatapan dinginnya, dengan sepatu Louboutin-nya, dan… entah kenapa, dengan komentar pedas yang selalu bikin pipiku merah sendiri.
Aku kembali ke mejaku dengan langkah sisa-sisa harga diri. Semua orang tampaknya tidak sadar kalau aku baru saja menumpahkan nasi goreng ke sepatu CEO. Atau pura-pura tidak sadar. Kantor ini memang penuh bakat sandiwara.
“Nggak apa-apa, The-sa. Ini masih lebih baik daripada kamu muntah di lift kayak minggu lalu,” aku membatin, mencoba menyemangati diri sendiri. Tapi ingatan soal sosis di sepatu itu terus menari-nari di otakku seperti flashback drama Korea episode 14.
Tiba-tiba, handphone-ku bergetar.
Dari nomor tak dikenal.
Pesannya singkat:
“Ke lantai 20. Sekarang.”
—NR.A
NR.A?! Aku nge-zoom-in inisial itu sampai 300%. Nggak salah lagi. Nagendra Ramiel Alejandro.
Tubuhku refleks ingin pingsan. Tapi aku urungkan. Pingsan tidak akan menyelamatkan kontrak kerjaku.
⸻
Lantai 20 – Ruang CEO
Suasana di lantai 20 beda seperti dunia atas awan. Karpetnya tebal, wanginya seperti campuran kayu mahal dan keberhasilan hidup. Saat aku masuk, seorang sekretaris berseragam hitam menunjuk ruangan dengan kaca buram di ujung koridor.
“Masuk saja. Dia sudah menunggu.”
“Dia”? CEO? Menungguku? Astaga.
Dengan napas pas-pasan, aku dorong pintu. Di dalam, Nagendra duduk di balik meja besar, menatap layar laptop tanpa menoleh padaku.
“Cathesa Arunea Agastha,” katanya datar, masih tanpa melihatku.
Aku berdiri tegap, mencoba tidak gemetar seperti jelly.
“I-iya, Pak. Saya minta maaf soal—”
“Duduk.”
Nada suaranya seperti sedang membaca manual mesin cuci. Datar dan minim emosi.
Aku duduk. Pelan. Lalu diam. Sangat diam. Karena entah kenapa, ruangan ini membuat jantungku berdetak seperti genderang perang.
Dia akhirnya menutup laptopnya dan menatapku.
Tatapan itu… membuatku ingin mengaku dosa yang belum kulakukan.
“Kamu tahu berapa harga sepatu saya tadi pagi?”
“Rp150 ribu…?” aku jawab dengan harapan, walau sadar jawabanku itu sangat bodoh.
Dia menghela napas. “Itu sepatu limited edition. Handmade. Kulit asli. Diimpor langsung dari Paris.”
“Oh. Paris… Cianjur?” tanyaku spontan, lalu langsung menyesal.
Senyap.
Hening selama lima detik. Lalu enam.
Lalu dia berkata, “Kamu tahu kenapa saya panggil kamu ke sini?”
Aku menelan ludah. “Karena saya menodai sejarah fashion?”
Dia mengabaikan komentarku.
“Kamu lucu.”
Kalimat itu keluar begitu saja, dengan wajahnya yang tetap tidak menunjukkan ekspresi.
Aku kaget. “Lucu… kayak, pelawak lucu? Atau lucu kayak aneh?”
“Lucu karena tidak ada satu pun karyawan saya yang berani menjatuhkan nasi goreng ke sepatu saya dan tetap hidup.”
Dia menyilangkan tangan.
“Dan kamu… masih hidup.”
Aku tersenyum ragu. “Saya… bersyukur, Pak.”
Lalu tiba-tiba—sangat tiba-tiba—dia melemparkan satu map ke arahku.
“Mulai minggu depan, kamu pindah ke lantai ini. Jadi asisten pribadi saya.”
Jantungku berhenti.
Mulai bunyi lagi.
Lalu berhenti.
Lalu aku tanya, “Pak… maksudnya… jadi asisten… CEO? Saya? Yang tadi pagi numpahin nasi goreng?”
Dia berdiri, lalu berjalan ke arah jendela besar yang memperlihatkan langit Jakarta yang mendung.
“Anggap ini… hukuman.”
Aku menatap map di tanganku.
Aku tidak tahu ini awal dari apa. Tapi aku yakin, ini bukan mimpi. Karena kalau ini mimpi, tidak mungkin ada nasi goreng dan sepatu mahal di satu adegan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku masih menatap map itu seperti baru saja diberikan surat tugas ke Mars.
“Asisten pribadi?” ulangku dengan suara nyaris sumbang.
“Iya,” jawab Nagendra datar. “Atau kamu lebih suka dipecat karena menodai Louboutin?”
Mulutku ingin bilang, “Saya bisa cicil bersihinnya, Pak,” tapi itu terdengar seperti tawaran mafia bersih-bersih jejak dosa.
“Baik, Pak,” ujarku akhirnya, suara lebih mirip suara tikus ketahuan nyolong snack.
Dia kembali duduk, membuka laptop, dan tanpa melihatku berkata:
“Kamu mulai besok. Jam tujuh pagi. Jangan telat. Jangan banyak tanya. Dan jangan bawa nasi goreng.”
Aku mengangguk cepat. “Siap, Pak. Tujuh pagi. Tidak tanya. Tidak goreng.”
Tapi sebelum aku keluar, dia menambahkan satu kalimat yang bikin langkahku berhenti:
“Dan tolong jangan jatuh cinta padaku. Itu akan merepotkan.”
…
Waktu seakan berhenti.
Otakku nge-lag.
Mulutku refleks terbuka, tapi suara tidak keluar.
Aku berbalik dengan ekspresi antara syok, bingung, dan pengen ketawa.
“Maaf, Pak… apa tadi?”
Nagendra tidak menjawab. Matanya kembali ke layar laptop seolah barusan dia cuma bilang, “Tolong jangan bawa sendal ke kantor,” bukan “jangan jatuh cinta padaku.”
“Pak, saya bahkan belum pernah naksir cowok yang makan salad, apalagi cowok yang ngomong kayak Google Translate!”
Masih tidak dijawab.
Oke. Mungkin dia serius. Atau mungkin dia bercanda dengan gaya batu-batuannya.
Yang jelas, aku keluar dari ruangan itu dengan jantung lari sprint dan otak berteriak:
“APA BARUSAN YANG TERJADI?”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Visual Cathesa ...
...Visual Nagendra...