kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Rumah Itu Mengundang
Sore itu, langit Desa Karangjati tampak seperti kanvas abu-abu yang basah. Matahari yang sedari pagi tak muncul, hanya menyisakan semburat pucat di ujung barat. Angin membawa aroma daun basah dan tanah lembap, menyeret dingin yang menjalar pelan hingga ke sumsum.
Sebuah mobil tua melaju perlahan di jalan berbatu, ban-nya memecah genangan air yang membentuk pola-pola aneh. Di dalam mobil itu duduk sepasang suami istri muda yang baru saja pindah dari kota. Dokter Erik, lelaki berusia awal tiga puluhan dengan wajah tenang namun penuh perhitungan. Di sampingnya, duduk Siska, istrinya, seorang perempuan berparas lembut namun tampak gelisah sejak beberapa kilometer sebelum memasuki desa.
Tak ada percakapan di antara mereka sejak mobil melewati jembatan kayu tua yang menandai batas desa. Hanya suara wiper dan deru mesin tua yang terdengar, menambah kesan sunyi dan asing.
Di hadapan mereka kini berdiri rumah besar tua berwarna kusam. Gentengnya hitam, sebagian bergelombang tidak rata. Jendela-jendela kayu tinggi dengan kisi-kisi berdebu tertutup rapat, seperti mata yang enggan terbuka. Beberapa bagian dinding rumah ditumbuhi lumut dan akar liar yang menjalar liar hingga ke atap.
Siska menatap rumah itu lama. Entah kenapa, meski belum pernah menginjakkan kaki di dalamnya, perasaan tidak nyaman sudah mencekik sejak mobil berhenti.
"Ini rumahnya, Sis," ucap Erik pelan, seperti ragu menyebutkannya.
Siska mengangguk, tak menjawab. Ia hanya membuka pintu mobil, dan aroma tanah basah serta kayu lapuk langsung menyergapnya.
Suasana desa benar-benar sunyi. Tak ada suara ayam, tak ada anak-anak yang berlari di jalan. Hanya desir angin dan suara gesekan dedaunan yang terdengar, lirih… seperti bisikan.
Mereka berdiri di depan rumah itu. Erik mengetuk pelan pintu yang setengah menganga, sebelum akhirnya memutar kenopnya. Daun pintu berderit—panjang, nyaring, seperti sebuah rintihan yang terpendam.
Ruang dalam rumah itu lebih gelap dari yang dibayangkan. Meski jendela cukup banyak, hampir semua ditutup kain tebal berwarna abu kelam. Bau apek dan debu menguar pelan, bercampur dengan aroma khas rumah tua yang pernah lama dihuni seseorang—dan kini sudah lama ditinggalkan.
Langkah Erik menggema pelan saat menyusuri lantai kayu yang sedikit berderit di tiap pijakan. Di belakangnya, Siska berjalan lambat, matanya menyapu tiap sudut ruangan. Ia merasa seolah ada sesuatu yang memperhatikan mereka sejak mereka melewati ambang pintu. Bukan dari luar… tapi dari dalam rumah ini.
“Kita bersih-bersih besok pagi saja,” ucap Erik singkat, suaranya seperti tenggelam dalam kesunyian ruang.
Siska tak menjawab.
Kamar utama berada di bagian tengah rumah. Saat Erik membuka pintunya, udara dingin menerpa wajah mereka. Dingin yang tak biasa. Seperti tak hanya udara—tapi juga sesuatu yang menyelinap dan menyentuh kulit dengan jemari tak kasatmata.
Erik menggulung lengan kemejanya, mencoba bersikap biasa. “Tinggal dilap, ganti kasur, sudah bisa dipakai.”
Tapi Siska masih terpaku. Pandangannya jatuh pada lemari tua besar di sudut ruangan. Entah kenapa, lemari itu tampak… gelap. Bukan hanya karena warnanya, tapi seperti menyerap cahaya yang ada di sekitarnya.
“Apa ini benar-benar rumah bidan itu?” tanya Siska tiba-tiba, nyaris berbisik.
Erik mengangguk. “Iya. Bidan Karsih. Dulu terkenal sekali, kata kepala dusun. Tapi meninggal mendadak. Rumah ini kosong sejak itu.”
Siska mengangguk pelan. Tapi pikirannya tak tenang. Ia merasa… ada sesuatu yang belum berakhir di rumah ini.
Malam datang tanpa suara. Tak ada jangkrik. Tak ada suara anjing. Hanya bunyi detik jam dinding yang seolah terlalu keras di tengah keheningan.
Siska berbaring di samping Erik yang sudah tertidur. Lampu gantung tua di langit-langit kamar berkedip sesekali, menimbulkan bayangan aneh di dinding. Setiap bayangan tampak hidup, bergeser pelan mengikuti denyut waktu.
Lalu…
Tuk.
Satu suara kecil terdengar dari belakang lemari.
Siska membuka mata. Matanya menatap lurus ke arah lemari tua itu.
Tuk... tuk...
Kali ini lebih keras. Seperti ada yang mengetuk dari dalam.
Siska bangkit perlahan, menahan napas. Ia menoleh ke Erik, tapi suaminya masih lelap. Napasnya teratur.
Ketukan itu berhenti.
Ia menunggu. Jantungnya berdegup keras. Tubuhnya mulai berkeringat dingin.
Lalu terdengar sesuatu… bukan suara… tapi seperti geraman halus, serak… dan putus.
Hhhhkkhh… kkkh…
Siska menutup mulutnya sendiri, ketakutan. Ia merasa suara itu bukan berasal dari makhluk biasa. Tapi seperti... suara seseorang yang tidak bisa bicara… memaksa untuk bersuara.
Tak lama setelah itu, suhu ruangan mendadak menurun drastis. Lampu gantung redup perlahan… lalu padam.
Gelap.
Dan dalam gelap itu, Siska mendengar langkah pelan dari arah ruang tengah. Tap... tap... tap...
Langkah itu mendekat.
Lalu...
Tok… tok… tok.
Tiga ketukan.
Tepat di pintu kamar mereka.
Siska tak mampu berteriak.
Pagi harinya, saat cahaya matahari menyusup malu-malu melalui jendela, Siska duduk di teras depan rumah. Wajahnya pucat. Ia memeluk lututnya sendiri, sesekali menoleh ke dalam rumah, seolah takut sesuatu ikut keluar.
Erik muncul sambil membawa dua cangkir teh.
“Mimpi buruk, ya?” tanyanya lembut.
Siska menggeleng.
“Ada yang ketuk pintu,” katanya pelan.
Erik tersenyum, mencoba menenangkan. “Mungkin angin, Sis. Atau tikus. Rumah tua biasa seperti itu.”
Siska menggeleng lagi.
“Kalau tikus, kenapa baunya seperti... darah basi?”
Erik terdiam.
Dan di kejauhan, di balik tirai kamar yang lupa ditutup semalam, terlihat sedikit siluet seseorang berdiri. Tak bergerak. Wajahnya tak terlihat, tapi tubuhnya tampak kaku, berdiri menghadap ke luar.
Padahal tak ada siapa pun di kamar itu.