"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami Bayangan
Bel berbunyi. Tandanya, sudah waktunya semua murid masuk kelas, tanpa terkecuali.
Pelajaran pertama adalah Fisika. Bagi beberapa anak, mungkin itu pelajaran sulit. Namun, bagi Davin itu tak seberapa.
Guru fisika masuk di ajaran pertama. Dengan percaya diri, sang guru menyapa. "Selamat pagi, anak-anak."
"Selamat pagi, bu..." serentak siswa menjawab.
Davin duduk di bangku pertama. Tidak ada yang salah. Dia memang murid paling cerdas dan disiplin. Pakaiannya bahkan lebih rapi dari kebanyakan siswa di sana. Dia juga menjabat sebagai ketua kelas.
"Oh ya. Davin. Tolong kumpulkan semua tugas yang Ibu kasih waktu lalu, ya." perintahnya dengan tegas.
Davin mengangguk dengan sopan, "Baik bu." jawabnya.
Tak lama kemudian, Davin berjalan dari bangku ke bangku untuk mengambil tugas teman-teman satu kelasnya.
Namun, tanpa ia sadari, bukunya sendiri telah lenyap. Dicuri oleh perempuan yang bergelar istri rahasianya sendiri.
"Aku rela bu, dikasih tugas tiap hari. Asalkan Davin yang ambilin hasil tugasnya." seloroh seorang siswi, membuat yang lain tertawa.
"Dih. Geli banget. Bawa aja sekalian tuh si Davin ke rumah lo!" balas Leora, ketus.
"Hei. Udah. Udah! Ini bukan waktunya bercanda." ucap guru itu menengahi.
Saat Davin tiba di bangku Leora, perempuan itu menatapnya tajam penuh tanya. "Nih!" ucapnya singkat, memberikan buku itu sedikit kasar.
Davin tersenyum miring. Batinnya berkata, "lo dapet nyontek dari mana lagi, Leora..."
"Udah, sana. Yang lain udah nungguin." kata Leora, dengan jutek.
Davin beranjak. Leora tertawa dalam batinnya. "Gue gak sabar, lihat lo di marahin guru killer itu. Lagian, sok mau nantangin gue. Kapok, kapok deh sekalian!"
Setelah beberapa saat, akhirnya kini giliran Davin yang mengumpulkan bukunya sendiri. Ia membuka tas, namun tak ditemui buku yang ia cari.
"Loh. Perasaan tadi udah dimasukin." ujarnya, sedikit gugup.
"Vin. Kamu gak papa?" tanya seorang teman, di sisinya.
Davin tak sempat menjawab, ia mengeluarkan semua isi di dalam tasnya.
Namun, buku yang ia cari tetap tak ada.
"Gawat. Ini pasti, ulah Leora." tuturnya, menoleh ke arah Leora yang kini terlihat santai bercermin di tempat pensil.
"Davin. Ada apa?" tanya guru Fisika yang menyadari adanya ketidakberesan.
"A-anu, bu. Buku saya ketinggalan kayaknya."
Guru Fisika menatap Davin tajam dari balik kacamata tebalnya. “Ketinggalan?”
“Iya, bu. Saya lupa naruh.”
“Lupa?”
Nada suaranya meninggi sedikit. “Anak paling disiplin di kelas ini, bisa lupa? Aneh sekali.”
Beberapa murid mulai berbisik pelan. Leora menunduk menahan tawa, pura-pura menulis sesuatu di buku catatannya. Tapi sudut bibirnya jelas terangkat.
“Davin,” lanjut guru itu, “kamu tahu, Ibu tidak suka alasan. Kalau sampai kamu tidak bisa mengumpulkan tugas, nilai kamu Ibu potong separuh. Mengerti?”
“Baik, Bu.”
Jawabannya tegas, tapi sorot matanya penuh tekanan.
Guru kembali melanjutkan pelajaran, seisi kelas sibuk membuka buku dan mencatat. Hanya Davin yang duduk diam, menatap papan tulis tanpa benar-benar fokus.
Di sudut sana, Leora menggigit ujung pensilnya sambil menatapnya sekilas.
Rasa puas sempat menyelip di dadanya, tapi entah kenapa cepat berubah jadi rasa bersalah.
Ah, bodo amat. Dia yang mulai duluan. pikirnya, mencoba menepis rasa bersalah itu.
Namun, saat istirahat tiba dan murid-murid mulai keluar kelas, Davin tetap diam di tempat duduknya.
Leora yang hendak pergi ke kantin tiba-tiba berhenti ketika suara cowok itu terdengar pelan tapi dingin.
“Balikin bukunya, Leora.”
Langkahnya terhenti. Perlahan ia menoleh.
“Apa?”
“Jangan pura-pura bego.”
Leora menyipitkan mata. “Gue gak ngerti lo ngomong apa.”
Davin berjalan mendekat.
“Lo pikir gue gak tau kelakuan lo? Gue hafal banget gaya lo kalau lagi ngerencanain sesuatu.”
“Ngaco lo, Davin.”
“Ngaco?”
Cowok itu bersandar di meja sebelahnya, menatap Leora tepat di mata. “Gue cuma kasih peringatan. Kalo lo mau main, gue bisa main dua kali lebih dalam.”
“Coba aja, Vin,” katanya pelan. “Lo gak bakal berani.”
Davin menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis.
“Lo gak kenal gue, Ra. Belum.”
Cowok itu berjalan pergi meninggalkannya, meninggalkan aroma parfum yang samar tapi entah kenapa membuat dada Leora terasa sesak.
Begitu pintu kelas tertutup, Leora menghela napas keras.
Tangannya mencengkeram pintu, wajahnya merah padam antara kesal dan gugup.
“Dasar cowok nyebelin... Tapi, apa yang lagi dia rencanain?”
Belum terbalas pertanyaannya. Tiba tiba Rey, berlari dan merangkulnya dari belakang. Mereka berbeda kelas. Namun, masih satu angkatan.
"Leora. Kamu kenapa?"
"Apa sih, Rey. Gue gak kenapa napa" ucapnya setengah kesal.
"Kamu marah sama aku, karena semalam–"
Leora cepat cepat menutup bibir pria itu. "Shh. Gak usah bahas itu di sini. Kamu udah gila?"
"Ya lagian, kamu aneh banget hari ini. Kayak enggak biasanya"
"Aku lagi capek aja, Rey. Udah lah, jangan dibuat pusing"
Rey pun mengangguk, lalu membawa Leora ke kantin. Ia memesankan makanan dan juga minuman kesukaannya.
"Kamu makan yang banyak ya, biar gak lemas" katanya, dengan nada bercanda.
"By the way, kita keluar semalem?" sambung Leora, hati-hati.
"Katanya gak mau bahas itu, tapi–"
"Iya deh, iya. Nanti aja pulang sekolah"
"Oke sayang."
Leora tersenyum canggung, tapi matanya menatap tepat ke satu sosok yang sedang berjalan melewati halaman sekolah dengan tangan di saku celana, headphone menggantung di leher.
Davin.
Sesaat pandangan mereka bertemu, Leora buru-buru menunduk. Entah kenapa, jantungnya seperti berpacu lebih cepat dari biasanya.
Rey memperhatikan perubahan ekspresinya. “Kenapa? Kok tiba-tiba diem?”
“Enggak,” jawab Leora cepat, memaksakan senyum. “Laper aja.”
“Hmm, oke. Tapi serius deh, kamu keliatan beda hari ini. Biasanya kamu yang cerewet duluan.” Rey meraih tangannya di atas meja, lembut tapi cukup bikin Leora kaku.
Ia menarik tangannya pelan. “Rey, jangan di sini, diliatin orang.”
Rey tertawa kecil. “Peduli amat. Emangnya kita ngelakuin dosa?”
Leora menatap Rey sebentar, tapi bayangan Davin kembali muncul di kepalanya.
Apa maksudnya ‘dua kali lebih dalam’ itu? batinnya resah.
“Ra?” Rey melambaikan tangan di depan wajahnya.
“Eh, iya, apa?”
“Kamu ngelamun terus dari tadi. Jangan bilang kamu lagi mikirin cowok lain?” candanya.
Leora terkekeh, tapi kering. “Apaan sih, enggak lah. Emangnya gue siapa.”
Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, suara seseorang terdengar dari belakang mereka.
“Selesai makan, jangan lupa bayar. Kantin bukan warisan orang tua lo.”
Davin berdiri di belakang mereka dengan wajah datar, tapi sorot matanya jelas menusuk.
“Ngapain lo di sini?” Leora berusaha menahan nada suaranya agar tidak terdengar gugup.
“Lapar,” jawab Davin singkat, menatap Rey sekilas. “Eh, ketua futsal. Jagain pacar lo baik baik.”
Rey tersenyum kaku. “Oh, jelas dong. Gak usah khawatir. Leora aman sama gue."
“Harusnya sih. Jangan sampai dia dibawa orang,” balas Davin datar sambil mengambil minuman dari kulkas dan menyerahkannya ke kasir.
Ketegangan di udara meningkat. Beberapa murid di sekitar mereka mulai menatap penasaran, merasakan aura dingin di antara dua cowok itu.
Leora cepat-cepat berdiri. “Vin, lo ngomong apa sih.”
“Apa? Gue bahkan belum ngelakuin apapun.”
"Vin, lo ada masalah sama gue?” Rey menatapnya tajam, nada suaranya berubah lebih rendah. “Lo mau ribut di sini?”
Davin menatap balik tanpa takut. “Enggak. Gue cuma pengen ngingetin seseorang… buat gak main di wilayah yang bukan miliknya.”
Leora menatapnya, jantungnya berdegup kencang. Kalimat itu jelas punya makna ganda, dan Rey tidak mengerti.
Cowok itu berbalik, meninggalkan mereka dengan langkah tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
Leora terpaku di tempat, pikirannya berantakan. Rey memanggilnya beberapa kali, tapi yang terdengar di telinganya hanya gema kalimat terakhir Davin.
“Wilayah yang bukan miliknya…”
Sial.
Davin baru saja menyatakan perang.
*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri
*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain
tolong Thor tanggapan dan jawaban?