NovelToon NovelToon
Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Perperangan / Elf / Action / Budidaya dan Peningkatan / Cinta Murni
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2: Sidang dan Pengkhianatan

Lantai obsidian di Aula Agung High Council memantulkan cahaya lampion mana dengan cara yang kejam, menciptakan ilusi seolah siapa pun yang berdiri di atasnya tengah berpijak di atas jurang tanpa dasar. Dingin batu itu menembus sol sepatu bot para penjaga, namun bagi Kaelan, dingin itu adalah satu-satunya hal yang mencegah kesadarannya hilang. Ia diseret dengan rantai berat yang melilit pergelangan tangan dan kaki, setiap langkahnya meninggalkan jejak merah samar dari luka cambuk semalam yang belum mengering.

Di sudut sel persiapan yang gelap sebelum pintu aula terbuka, seorang penjaga melemparkan sebuah mangkuk kayu retak ke hadapannya. Isinya hanya sup encer berwarna abu-abu yang berbau tanah basah.

"Makanlah, Tikus. Ini sup terakhirmu sebelum kau digantung di bawah matahari Solaria," cibir penjaga itu sembari meludah ke samping mangkuk.

Kaelan menatap sup itu dengan mata yang bengkak. Bau tanah itu mengingatkannya pada aroma lembah di masa kecilnya, jauh sebelum ia menjadi buruh tambang yang dikhianati. Dengan martabat yang tersisa, ia menyeruput cairan dingin itu. Ia membayangkan rasa sup jahe hangat yang pernah dimasak ibunya, mencoba mencari kehangatan imajiner untuk melawan gigitan belenggu obsidian yang mulai menghisap sisa-sisa energinya.

"Kaelan, kau dengar aku?" bisik Bara dari balik jeruji besi di seberang lorong. "Jangan katakan apa pun yang bisa memperburuk keadaanmu. Jika kau harus memohon, memohonlah pada Valerius, bukan Alaric."

Kaelan hanya menjawab dengan anggukan lemah. Ia menyimpan mangkuk itu, lalu berdiri dengan punggung tegak meskipun rasa perih dari luka cambuk Alaric terasa seperti disiram air garam. Saat pintu aula terbuka, cahaya menyilaukan dan aroma dupa cendana yang memuakkan menyerbu indra penciumannya.

"Terdakwa, maju ke depan!" seru seorang bentara dengan suara yang menggelegar.

Kaelan melangkah masuk. Di atas singgasana kristal yang tinggi, High Lord Valerius duduk dengan wajah yang dipahat dari batu es. Di sampingnya, Pangeran Alaric berdiri dengan jubah putih bersih yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa dialah yang semalam menyiksa Kaelan di kegelapan sel. Dan di sana, di podium saksi yang terisolasi, Lyra berdiri. Gaunnya sudah berganti, namun matanya yang sembab dan wajahnya yang pucat pasi menceritakan segalanya.

"Manusia bernama Kaelan," Valerius memulai, suaranya mengandung tekanan gravitasi mana yang membuat udara di sekitar Kaelan terasa seberat timah. "Kau dituduh melakukan penculikan, percobaan pemerasan, dan penggunaan sihir hitam terhadap Putri Kerajaan Elf. Apa pembelaanmu?"

Kaelan mendongak, menatap langsung ke mata Valerius. "Saya menyelamatkan Putri dari pembunuh yang dikirim untuk mengambil nyawanya. Saya tidak memiliki sihir, hanya kapak tambang."

"Kebohongan yang berani!" sela Alaric dengan tawa meremehkan. "Tiga prajurit terlatih tewas di tangan seorang buruh tanpa mana? Itu mustahil kecuali kau menggunakan cara-cara terlarang. My Lord, biarkan Putri sendiri yang berbicara. Dia adalah korban di sini."

Valerius menoleh ke arah putrinya. "Lyra Elviana, bicaralah. Katakan pada dewan ini apa yang sebenarnya terjadi di tebing Azure."

Lyra gemetar hebat. Ia meremas pinggiran podium hingga kuku-kukunya memutih. Matanya beralih ke arah Kaelan, lalu ke arah ayahnya. Sesaat sebelumnya, di ruang pribadinya, Valerius telah menjatuhkan vonis yang lebih kejam dari kematian: "Jika kau membela manusia ini, aku akan menyatakan dia sebagai pemberontak Terra dan mengeksekusinya di depan seluruh rakyat Solaria saat ini juga. Tapi jika kau mengonfirmasi cerita Alaric, aku akan membuangnya ke Red Line. Dia mungkin menderita, tapi dia akan tetap bernapas."

"Putri?" desak Valerius lagi.

Lyra menarik napas pendek yang terdengar seperti isakan tertahan. Melalui resonansi yang kini menghubungkan jiwa mereka, ia bisa merasakan betapa beratnya beban gravitasi yang menekan tulang-tulang Kaelan. Ia merasakan sesak di paru-parunya sendiri, seolah oksigen di aula itu sengaja dihisap habis.

"Dia..." Lyra memulai, suaranya nyaris hilang. "Dia membawaku ke sana."

Seluruh ruangan mendesah kaget. Kaelan tidak bergerak. Ia tetap menatap Lyra, matanya menunjukkan ketenangan yang menghancurkan hati wanita itu.

"Lanjutkan, Putri," ujar Alaric dengan nada kemenangan.

"Kaelan... dia membawaku ke tebing itu untuk... untuk meminta tebusan atas kebebasannya dari tambang," lanjut Lyra, air mata kini mengalir deras di pipinya. "Semua yang dikatakan Pangeran Alaric... itu benar."

"Kau dengar itu, Manusia?" Alaric melangkah maju, berdiri hanya beberapa inci dari Kaelan. "Putri sendiri yang mengakuinya. Kau bukan pahlawan. Kau hanya parasit yang mencoba mengambil kesempatan."

Kaelan tetap diam. Di dalam tubuhnya, Iron Bone Marrow mulai berdenyut keras, merespons emosi yang meledak dan tekanan mana yang ekstrem dari aula tersebut. Bunyi dentum logam halus terdengar dari balik dadanya, namun tertutup oleh hiruk-pikuk suara para tetua yang menghujatnya.

"Kenapa kau diam, Tikus?" bentak salah satu tetua Council. "Apakah sihir hitammu sudah habis?"

Kaelan perlahan menoleh ke arah Lyra. Ia melihat kehancuran di mata putri Elf itu. Ia tahu Lyra sedang melakukan pengkhianatan paling menyakitkan demi dirinya. Jika Kaelan membela diri sekarang, Lyra akan dianggap sebagai pembohong atau kaki tangan manusia, dan ayahnya akan menghancurkan mereka berdua.

"Saya tidak memiliki apa pun untuk dikatakan," ucap Kaelan tenang. Suaranya stabil, kontras dengan kekacauan di sekitarnya.

"Kau tidak akan memohon ampun?" tanya Valerius, sedikit terkejut dengan martabat yang ditunjukkan oleh manusia di hadapannya.

"Ampun adalah untuk mereka yang merasa bersalah, My Lord. Saya hanya merasa lelah," jawab Kaelan.

"Lelah karena gagal menculik Putri?" Alaric tertawa, lalu menoleh ke arah penjaga. "Aktifkan belenggu obsidiannya. Mari kita lihat seberapa lama dia bisa berdiri."

Seorang penjaga menekan sebuah kristal di dinding. Seketika, rantai yang melilit Kaelan memancarkan cahaya ungu gelap. Berat rantai itu berlipat ganda, menarik tubuh Kaelan ke lantai dengan kekuatan ribuan ton.

BRAK!

Lutut Kaelan menghantam lantai obsidian hingga retak. Namun, yang membuat seluruh aula terdiam adalah apa yang terjadi selanjutnya. Meskipun lututnya menyentuh lantai, punggung Kaelan tetap tegak lurus. Otot-ototnya menegang hingga pakaian compang-campingnya robek, menunjukkan luka cambuk yang bergetar hebat.

Lyra di podium mendadak memegangi dadanya. Ia terjatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal. "Hentikan... kumohon, hentikan..." bisiknya lirih, namun suaranya tenggelam dalam kebisingan aula. Ia merasakan tulang-tulangnya seolah sedang digiling oleh batu besar, sebuah replika sempurna dari apa yang dialami Kaelan saat ini.

"Lihat! Dia bahkan tidak bisa berlutut dengan benar," ejek Alaric, meskipun ada kilatan kecemasan di matanya saat melihat Kaelan masih mampu menatapnya dengan kepala terangkat.

Valerius berdiri, mengangkat tangannya untuk menenangkan suasana. "Cukup. Bukti sudah jelas. Pengakuan saksi kunci sudah didengar. Berdasarkan hukum Aethelgard, manusia bernama Kaelan dinyatakan bersalah atas tindakan makar terhadap keluarga kerajaan."

"Hukum mati dia!" teriak seseorang dari kursi penonton.

"Kematian terlalu cepat bagi seorang pengkhianat," Valerius menatap Kaelan dengan tatapan dingin. "Kaelan, kau akan dibuang ke Gerbang Red Line. Kau akan dibiarkan hidup di zona tak bertuan tanpa pasokan energi, tanpa perlindungan, sampai Debu Memori menghapus sisa-sisa keberadaanmu dari dunia ini."

Lyra mendongak, wajahnya hancur oleh duka. Red Line. Tempat di mana manusia hanya bertahan hidup selama hitungan hari sebelum tubuh mereka membusuk karena radiasi mana yang kasar.

"Sidang ditutup!" Valerius mengetukkan tongkatnya.

Para penjaga segera maju untuk menyeret Kaelan keluar. Saat tubuhnya ditarik melewati podium saksi, Kaelan sengaja memperlambat langkahnya. Ia menatap Lyra yang masih berlutut dalam tangisnya.

"Kaelan... maafkan aku..." bisik Lyra, nyaris tak terdengar.

Kaelan memberikan senyum tipis yang sangat halus—sebuah senyuman yang membawa pesan bahwa ia mengerti. Ia tidak membenci wanita itu. Ia tahu Lyra telah memberikan "Mahar" berupa integritasnya untuk memastikan jantung Kaelan tetap berdetak, meski di tempat paling mengerikan sekalipun.

"Tetaplah hidup, Putri," gumam Kaelan sebelum sebuah hantaman gagang tombak mendarat di tengkuknya, membuat segalanya menjadi gelap.

Kesadaran Kaelan kembali dalam bentuk rasa sakit yang berdenyut selaras dengan detak jantungnya. Ia tidak lagi berada di Aula Agung yang megah, melainkan di dalam sebuah gerobak besi berjeruji yang ditarik oleh binatang buas pengangkut beban. Udara di sekitarnya terasa semakin berat dan kering, tanda bahwa mereka telah meninggalkan wilayah Solaria yang murni dan mulai menuruni lereng menuju perbatasan Benua Rendah.

Di luar jeruji, kabut kelabu mulai menyelimuti pandangan. Kaelan mencoba menggerakkan tangannya, namun belenggu obsidian itu masih melekat erat, menghisap sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Di sampingnya, Bara terduduk lemas dengan kepala tertunduk.

"Kita menuju Gerbang Red Line," suara Bara terdengar serak, penuh dengan keputusasaan. "Kau benar-benar melakukannya, Kaelan. Kau membiarkan Putri itu memfitnahmu tanpa melawan sedikit pun. Sekarang kita berdua akan membusuk di sana."

Kaelan menyandarkan kepalanya pada jeruji besi yang dingin. "Jika dia tidak mengatakan itu, Alaric akan memiliki alasan untuk membantainya secara politik di depan dewan. Setidaknya, dengan ini, dia tetap aman di istananya."

"Aman?" Bara tertawa pahit. "Kau pikir dia merasa aman setelah mengkhianati pria yang menyelamatkan nyawanya? Aku melihat wajahnya saat kita diseret keluar. Dia tampak lebih mati daripada kita, Kaelan."

Kaelan terdiam, merasakan denyut nyeri di telapak tangannya. Melalui keterikatan batin yang tak terlihat, ia bisa merasakan bahwa di suatu tempat di atas sana, Lyra sedang meringkuk dalam kesunyian, menanggung beban rasa bersalah yang mungkin lebih berat daripada belenggu yang ia pakai.

Gerobak itu tiba-tiba berhenti dengan sentakan keras. Pintu jeruji dibuka paksa oleh seorang penjaga berbaju zirah perak. "Keluar, Sampah! Kita sudah sampai di ujung dunia."

Kaelan dan Bara dipaksa turun. Di hadapan mereka, berdiri sebuah gerbang raksasa yang terbuat dari campuran logam dan kristal mana yang telah menghitam. Di balik gerbang itu, terbentang gurun luas yang diselimuti oleh debu kemerahan yang berkilauan—The Red Line. Angin di sana menderu seperti jeritan jutaan jiwa yang terlupakan.

"Ini adalah perintah langsung dari High Lord," ujar Alaric yang tiba-tiba muncul dari balik barisan prajurit. Ia turun dari tunggangannya dengan keanggunan yang memuakkan. "Kalian dilarang membawa apa pun. Tidak ada senjata, tidak ada obat-obatan, dan tidak ada harapan."

Alaric melangkah mendekati Kaelan, lalu merogoh saku jubahnya. Ia mengeluarkan sisa-sisa sapu tangan Azure milik Lyra yang telah menghitam karena terbakar. Dengan senyum sinis, ia melemparkan kain itu ke wajah Kaelan.

"Simpanlah ini sebagai pengingat akan kebodohanmu," bisik Alaric. "Putri Lyra akan segera melupakan namamu saat dia berada di pelukanku nanti malam."

Kaelan menangkap kain itu dengan tangan gemetarnya. Ia tidak membalas provokasi Alaric. Ia justru melipat kain kusam itu dengan hati-hati dan menyelipkannya ke dalam saku pakaiannya yang robek. Ia menatap Alaric dengan ketenangan yang membuat sang Pangeran merasa terusik.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" bentak Alaric, tangannya reflek meraba gagang pedangnya.

"Aku hanya sedang mengingat wajahmu dengan baik, Pangeran," jawab Kaelan datar. "Agar saat aku kembali nanti, aku tidak salah mengenali mangsaku."

Alaric tertawa terbahak-bahak, namun ada nada kegugupan dalam tawanya. "Kembali? Tidak ada yang kembali dari Red Line, Manusia! Penjaga, dorong mereka masuk!"

Dua penjaga menghantamkan punggung tombak ke dada Kaelan dan Bara, memaksa mereka melewati ambang gerbang. Begitu kaki mereka menyentuh pasir merah, gerbang kristal di belakang mereka tertutup dengan dentuman yang menggetarkan bumi.

Seketika, atmosfer terasa berubah. Udara di Red Line terasa seperti pasir panas yang memasuki paru-paru. Kaelan jatuh berlutut, terbatuk hebat saat Debu Memori mulai mencoba menembus pori-pori kulitnya.

"Kaelan! Jangan hirup udaranya secara langsung!" teriak Bara, mencoba menutupi hidungnya dengan sobekan kain bajunya.

Namun, Kaelan merasakan sesuatu yang lain. Di tengah rasa sakit yang luar biasa karena radiasi mana yang kasar di tempat ini, tulang-tulangnya kembali bergetar. Teknik Iron Bone Marrow yang selama ini terkunci seolah menemukan nutrisi di tengah penderitaan. Energi mentah dari Red Line yang seharusnya membunuh manusia, justru mulai diserap secara paksa oleh sumsum tulangnya yang unik.

"Argh!" Kaelan mengerang saat merasakan sensasi seperti logam cair yang mengalir di dalam kerangkanya.

"Kaelan? Ada apa?" Bara merangkak mendekat dengan panik.

"Jangan... mendekat," desis Kaelan. Kulitnya mulai mengeluarkan uap hitam samar, residu dari energi Void yang tercampur dalam debu merah tersebut.

Jauh di Solaria, di dalam kamar tidurnya yang gelap, Lyra tiba-tiba terjatuh dari tempat tidurnya. Ia memegangi lehernya, merasa seperti sedang tercekik oleh pasir panas. Air matanya terus mengalir, namun ia tidak bisa mengeluarkan suara. Resonansi penderitaan itu kini mencapai puncaknya; ia bisa merasakan keputusasaan, rasa sakit, dan kemarahan yang meluap dari jiwa Kaelan.

Lyra merangkak menuju jendela, menatap ke arah garis merah di ufuk dunia. "Bertahanlah... kumohon, bertahanlah," bisiknya dalam isak tangis yang pecah.

Kaelan di gurun merah itu perlahan mendongak. Matanya yang semula layu kini memancarkan kilatan abu-abu yang tajam. Ia mengepalkan tangannya, merasakan kekuatan baru yang tumbuh dari kehancurannya. Sapu tangan sutra di sakunya memberikan sedikit kehangatan melati di tengah bau belerang yang menyengat.

"Alaric benar tentang satu hal," gumam Kaelan sembari berdiri tegak, menantang badai merah di hadapannya. "Manusia ini sudah mati di ruang sidang tadi. Yang berdiri di sini sekarang... adalah awal dari kehancuran kalian."

Kaelan melangkah maju, memimpin Bara menembus kabut beracun. Ia tidak lagi berjalan sebagai buruh tambang yang kalah, melainkan sebagai seorang pria yang baru saja menukar nyawanya dengan dendam yang akan membakar langit.

1
prameswari azka salsabil
awal keseruan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sungguh pengertian
prameswari azka salsabil
kasihan sekali kaelan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
luar biasa
Kartika Candrabuwana: jos pokoknya👍
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ujian ilusi
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sesuai namanya
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
syukurlah kaelan meningkat
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ada petubahan tradisi?
Kartika Candrabuwana: pergerseran nilai
total 1 replies
prameswari azka salsabil
kaelan bertahanlah
Kartika Candrabuwana: ok. makasih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bertarung dengan bayangan🤣
Indriyati
iya. untuk kehiduoan yang lebih baik
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Indriyati
ayo kaelan tetap semanhat😍
Kartika Candrabuwana: iya. nakasih
total 1 replies
Indriyati
bagus kaelan semakinnkuat👍😍
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
Indriyati
iya..lyra berpikir positif dan yakin👍💪
Kartika Candrabuwana: betul
total 1 replies
Indriyati
seperti di neraka😄🤭🤭
Kartika Candrabuwana: iya. makssih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
wuihhh. asyik benere👍💪
prameswari azka salsabil
iya kasihan juga ya🤣🤣
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ini pertambangan ya😄
Kartika Candrabuwana: kurang lebih iya
total 1 replies
prameswari azka salsabil
hidup kaelan👍💪
Kartika Candrabuwana: baik. ayo kaelan
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bersabar ya
Kartika Candrabuwana: iya. makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!