Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Identitas di Aspal Berdarah
Kilatan lampu biru dari mobil polisi memantul di genangan air hujan, menciptakan ilusi optik yang mengerikan di mata Zahra. Ia meringkuk di balik tumpukan tong sampah yang berbau busuk, menekan telapak tangannya ke mulut agar isak tangisnya tidak mengundang maut. Hanya beberapa meter dari tempatnya bersembunyi, sepatu bot hitam milik anak buah ayahnya menghantam aspal dengan irama yang mengancam.
Zahra melirik gaun pestanya yang semula putih gading kini telah berubah warna menjadi merah tua yang pekat dan lengket. Darah Luna bukan hanya menodai pakaiannya, tetapi seolah meresap hingga ke pori-pori kulitnya, membekukan setiap jengkal keberanian yang ia miliki. Di genggamannya, kunci logam itu terasa sangat dingin, sebuah benda kecil yang baru saja mengubah ayahnya menjadi monster pemburu.
"Dia tidak mungkin lari jauh dengan luka seperti itu! Cari di setiap lubang tikus!" teriak sebuah suara parau yang sangat Zahra kenali sebagai Haikal.
"Tuan, ada bercak merah di dekat gang buntu sebelah utara!" sahut suara lain yang membuat jantung Zahra berhenti berdetak sesaat.
Haikal mendengus kasar, lalu melangkah mendekati tumpukan tong sampah tempat Zahra meringkuk dengan napas tertahan. Setiap gesekan langkah pria itu di atas aspal terasa seperti pisau yang mengiris ketenangan malam yang sunyi. Zahra memejamkan mata erat-erat, merapalkan doa tanpa suara sambil memeluk kunci logam itu di depan dadanya yang sesak.
Tepat saat tangan Haikal hendak menyibak tumpukan plastik hitam di depan Zahra, sebuah kucing liar melompat keluar dari arah berlawanan, menjatuhkan kaleng bekas yang menimbulkan bunyi gaduh. Haikal memutar tubuhnya dengan cepat, mengarahkan moncong pistolnya ke arah bayangan yang bergerak menjauh tersebut. Perhatian mereka teralih sejenak, memberikan Zahra celah tipis untuk kembali bergerak dalam kegelapan yang pekat.
"Hanya kucing sialan! Bergerak ke arah pemukiman padat, dia pasti mencoba membaur di sana!" perintah Haikal sambil berlalu pergi.
"Baik, Tuan! Kami akan menyisir panti asuhan dan rumah singgah di ujung jalan ini!" balas anak buahnya sambil berlari mengikuti langkah sang pemimpin.
Zahra menunggu hingga suara deru mesin mobil menghilang di kejauhan sebelum ia berani menggerakkan otot-ototnya yang terasa kaku dan mati rasa. Ia merangkak keluar dari persembunyiannya, merasakan aspal kasar mengelupas kulit lututnya yang sudah berdarah sejak pelarian di taman tadi. Dunia di sekitarnya terasa berputar hebat, pusing yang mencekam mulai menggerogoti kesadarannya akibat kehilangan banyak darah dan trauma yang luar biasa.
Ia memaksakan diri untuk berdiri, bersandar pada dinding tembok yang lembap dan penuh lumut sambil menyeret kakinya yang gemetar. Panti asuhan itu adalah satu-satunya tempat yang pernah disebut Luna sebagai pelabuhan terakhir jika badai besar melanda keluarga mereka. Zahra tidak tahu mengapa kakaknya begitu mempercayai tempat itu, namun saat ini ia tidak memiliki pilihan lain selain mempercayai insting sang kakak.
"Kau harus kuat, Zahra... kau harus membawa kunci ini kepada orang yang tepat," bisiknya dengan suara yang hampir habis ditelan angin malam.
Langkah kakinya meninggalkan jejak merah samar di atas aspal, sebuah jejak identitas yang harus segera ia hapus jika ingin tetap hidup.
Ibu Sarah sedang melipat mukena saat sebuah hantaman lemah terdengar dari pintu depan panti asuhan yang sudah lapuk dimakan usia. Ia mengerutkan kening, menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi, waktu yang sangat tidak lazim untuk tamu mana pun. Dengan langkah hati-hati, wanita tua itu mengambil senter kecil dan berjalan menuju pintu kayu yang nampak bergetar halus.
Saat pintu terbuka, Ibu Sarah terkesiap melihat sesosok gadis muda yang nampak seperti hantu dari masa lalu, berdiri dengan tubuh miring dan wajah pucat pasi. Gaun mewah yang compang-camping dan bau amis darah yang menyengat segera memenuhi indra penciumannya, memicu naluri pelindungnya yang sudah terasah puluhan tahun. Tanpa banyak tanya, ia menarik gadis itu masuk sebelum cahaya senter dari kejauhan sempat menangkap keberadaan mereka.
"Ya Tuhan, Nak! Apa yang terjadi padamu? Siapa yang berbuat sekejam ini?" tanya Ibu Sarah dengan suara yang gemetar karena terkejut.
"Tolong... jangan panggil polisi... mereka akan membunuhku," gumam Zahra dengan tatapan mata yang mulai kehilangan fokus.
"Tenanglah, kau aman di sini. Ibu akan mengunci pintu dan membawamu ke ruang dalam," jawab Ibu Sarah sambil memapah tubuh Zahra yang terasa sangat ringan.
Zahra merosot ke lantai ruang tengah yang hanya beralaskan tikar pandan, merasa energinya benar-benar telah terkuras habis hingga ke titik nol. Ibu Sarah dengan sigap mengambil baskom berisi air hangat dan selembar kain bersih untuk membasuh luka-luka yang menganga di kaki gadis itu. Setiap sentuhan kain hangat itu membuat Zahra meringis, mengingatkannya pada rasa sakit saat belati ayahnya menembus tubuh Luna di aula tadi.
Sambil membasuh luka, mata Ibu Sarah terpaku pada sebuah kunci logam yang tetap tergenggam erat di tangan kanan Zahra meski gadis itu sudah setengah sadar. Ia merasakan ada sesuatu yang sangat berbahaya sekaligus berharga dari benda tersebut, sesuatu yang bisa membawa petaka besar bagi panti asuhannya yang tenang. Namun, melihat air mata yang mengalir di pipi Zahra yang kotor, Ibu Sarah memutuskan untuk mengesampingkan logika demi rasa kemanusiaan.
"Siapa namamu, Nak? Agar Ibu tahu bagaimana harus memanggilmu jika orang-orang di luar sana datang bertanya," tanya Ibu Sarah lembut sambil membalut luka di lutut Zahra.
"Nama saya... Zahra... tidak, Zahra sudah mati di aspal tadi... panggil saya Fatimah," jawabnya dengan suara yang bergetar hebat.
"Baiklah, Fatimah. Mulai malam ini, kau adalah bagian dari keluarga panti ini. Jangan takut, Tuhan tidak akan membiarkanmu sendirian," bisik Ibu Sarah menenangkan.
Ibu Sarah mengambil sebuah kain hitam panjang dari dalam lemari tua, sebuah cadar yang ia simpan sejak kepulangannya dari tanah suci bertahun-tahun lalu. Ia memakaikan kain itu ke wajah Zahra, menutupi kecantikan yang kini berubah menjadi kutukan dan target perburuan sang penguasa bisnis. Di balik kain hitam itu, Zahra merasa seolah-olah ia telah masuk ke dalam liang lahatnya sendiri, namun kali ini ia merasa jauh lebih aman.
Identitas di aspal berdarah itu telah resmi dihapus, digantikan oleh bayang-bayang Fatimah yang misterius dan penuh rahasia besar di balik kainnya. Namun, ketenangan itu hanya bertahan beberapa menit sebelum suara gedoran keras menghantam pintu depan panti asuhan, mengguncang seluruh bangunan tua tersebut. Ibu Sarah mematikan lampu ruang tengah, membiarkan kegelapan menjadi satu-satunya sekutu mereka dalam menghadapi ancaman yang baru saja tiba.
"Buka pintunya! Kami tahu ada pelarian yang masuk ke sini beberapa saat yang lalu!" teriak Haikal dari balik pintu kayu yang mulai berderit akibat paksaan.
Fatimah merapatkan tubuhnya ke dinding, menggenggam erat ujung kain cadarnya sambil menahan napas yang terasa semakin menyesakkan di dada.