Rania Kirana seorang penjual cilok berprinsip dari kontrakan sederhana, terpaksa menerima tawaran pernikahan kontrak dari Abimana Sanjaya seorang CEO S.T.G. Group yang dingin dan sangat logis.
Syarat Rania hanya satu jaminan perawatan ibunya yang sakit.
Abimana, yang ingin menghindari pernikahan yang diatur keluarganya dan ancaman bisnis, menjadikan Rania 'istri kontrak' dengan batasan ketat, terutama Pasal 7 yaitu tidak ada hubungan fisik atau emosional.
Bagaimana kelanjutannya yukkk Kepoin!!!!
FOLLOW ME :
IG : Lala_Syalala13
FB : Lala Syalala13
FN : Lala_Syalala
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lala_syalala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PKCD BAB 2_Pria Tanpa Senyum
Pagi itu, langit di atas Jakarta tampak mendung, seperti sedang merencanakan hujan.
Namun, di hati Rania, selalu ada matahari yang bersinar, yaitu semangatnya untuk bertahan.
Ia tahu, kerja kerasnya hari ini adalah jembatan menuju kehidupan yang lebih baik bagi ibunya.
Ia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari saku celananya. Itu adalah buku kas keuangannya.
Ia mencatat setiap pengeluaran, setiap pemasukan, dan setiap laba dengan sangat teliti. Disiplin finansial adalah kunci yang ia pegang teguh.
Pemasukan Kemarin Rp 135.000,00
Modal Hari Ini Rp 65.000,00
Target Laba Rp 100.000,00 (minimal)
Ketika ia sedang asyik menghitung, tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam metalik berhenti tepat di depan warung kopi.
Mobil itu sangat bersih dan mengkilap, kontras sekali dengan suasana warung kopi yang sederhana dan berdebu.
Dari pintu belakang, turun seorang pria dengan setelan jas hitam yang tampak sangat mahal dan terawat.
Pria itu tinggi, dengan postur tegap. Wajahnya keras, rahangnya tegas, dan matanya memancarkan aura serius, bahkan sedikit dingin. Rambutnya dipotong rapi, menyisakan poni tipis yang jatuh di dahi.
Ia tampak seperti baru saja turun dari ruang rapat penting, bukan mampir ke warung kopi pinggir jalan.
Seluruh penampilan dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang berada di kasta sosial yang sangat berbeda dari pelanggan warung kopi biasa.
Semua mata di warung kopi tertuju padanya. Bahkan Bang Jaelani sampai salah menyeduh kopi.
Pria itu, tanpa melihat kiri-kanan, langsung berjalan ke meja Bang Jaelani.
"Bang, saya minta kopi hitam pahit. Jangan terlalu panas. Saya tunggu di sana," katanya dengan suara yang dalam dan berwibawa, sambil menunjuk meja sudut yang baru saja ditinggalkan Rania.
Rania terkejut, buku catatannya hampir saja jatuh. Pria itu adalah magnet perhatian yang sangat kuat, bukan karena ketampanannya (meski ia memang tampan), tetapi karena atmosfer yang ia bawa kekuatan dan kekayaan yang tak terbantahkan.
Bang Jaelani tergagap, "Si-siap, Tuan. Langsung saya buatkan."
Rania segera membereskan sisa air minumnya dan buku catatannya, bersiap pindah ke bangku lain. Ia tidak ingin berinteraksi dengan orang seperti pria itu. Ada jurang yang terlalu lebar di antara mereka.
Ketika ia berdiri dan hendak membawa botol air minumnya, pandangannya tak sengaja bertemu dengan mata pria itu.
Mata pria itu, yang berwarna cokelat gelap, memandang Rania sekilas, seolah-olah Rania adalah bagian dari perabotan warung yang tidak penting. Pandangan itu dingin, acuh tak acuh, tanpa emosi.
Rania merasakan sedikit sengatan di hatinya, bukan karena marah, tetapi karena menyadari betapa kecilnya ia di mata orang-orang seperti pria itu.
Ia buru-buru menunduk dan berjalan ke bangku yang lain, sambil berbisik dalam hati, 'Tidak apa-apa, Rania. Kamu mungkin kecil di mata mereka, tapi kamu adalah dunia bagi Ibumu. Teruslah bekerja.'
Pria itu duduk, mengeluarkan sebuah tablet tipis dari tas kerjanya, dan mulai membaca, sepenuhnya mengabaikan keramaian di sekitarnya.
Sementara itu, Rania duduk di bangku lain, menyesap kopi pahit milik Bang Jaelani yang baru selesai ia seduh, merencanakan bagaimana ia akan menghabiskan sisa hari itu untuk mencari uang, sama sekali tidak menyadari bahwa perkenalan dingin dan tak disengaja di warung kopi sederhana itu akan menjadi awal dari sebuah kisah yang akan mengubah seluruh alur hidupnya.
Ia adalah Bunga Padi, tumbuh di lumpur kota, sederhana dan rapuh, tetapi memiliki akar yang tegar. Dan pria itu, siapa pun dia, adalah badai yang akan menguji seberapa kuat akar itu tertanam.
Pria dengan setelan jas mahal itu, yang Rania yakini pasti berasal dari kalangan atas, duduk di bangku kayu tempatnya biasa menulis pembukuan.
Kehadirannya memancarkan aura asing yang membuat suasana Warung Kopi Bang Jaelani terasa sesak.
Kopi hitam pahit yang dipesan sudah diletakkan di depannya oleh Bang Jaelani, tetapi pria itu belum menyentuhnya.
Matanya terpaku pada tablet, jemarinya sesekali bergerak cepat seolah sedang memecahkan masalah besar di dunia.
Rania, yang kini pindah ke sudut warung yang lebih gelap, mencoba sebisa mungkin mengalihkan pandangan.
Ia mengambil lap bersih, dan dengan gerakan perlahan, mulai membersihkan etalase kaca tempat cilok dan nasi uduknya terpajang.
Ini adalah caranya untuk tetap produktif sambil mengamati pelanggan yang datang. Namun, perhatiannya terusik oleh detail-detail kecil yang berasal dari meja pria itu.
Jas hitamnya bukan sekadar kain, melainkan bahan premium yang terlihat sangat halus. Jam tangan di pergelangan kirinya tampak berkilau mahal, menangkap sedikit cahaya pagi.
Bahkan tas kerjanya yang diletakkan di lantai, terbuat dari kulit tebal yang berbau leather baru dan elegan. Semuanya terasa tidak pantas berada di tengah bau kretek, kopi robusta, dan adonan cilok.
"Aduh, Neng Rania. Sudah laku sepuluh tusuk ini telur puyuhnya," bisik Bang Jaelani, mendekat.
"Rezeki anak solehah memang tidak ke mana."
Rania tersenyum lega. "Alhamdulillah, Bang. Mungkin Bapak yang di sana itu butuh sarapan berat? Biasanya orang kantoran suka nasi uduk komplit."
Bang Jaelani menggeleng peluk. "Ah, dia? Tuan itu tidak pernah mampir ke sini. Baru kali ini. Mungkin mobilnya mogok atau ada urusan mendadak. Lihat saja, dia seperti tidak nyaman di bangku kayu kita. Jangankan nasi uduk, melirik cilokmu saja tidak."
Ucapan Bang Jaelani menusuk sedikit hati Rania, tetapi ia segera menepisnya. Ia tidak menjual kemewahan, ia menjual makanan yang jujur dan mengenyangkan.
Biarlah orang seperti pria itu tidak meliriknya. Tujuannya adalah pekerja kasar, pengemudi ojek online, dan pegawai rendahan yang membutuhkan sarapan cepat dengan harga terjangkau.
Tiba-tiba, suara dering telepon dari meja pria itu memecah keheningan. Nadanya tenang, formal, dan bukan nada dering biasa.
Pria itu mengangkat telepon, dan suaranya yang dalam terdengar, meskipun ia berbicara pelan.
"Ya, Rendra. Saya sudah kirim email revisi draf MOU. Pastikan tidak ada kesalahan ketik di bagian kompensasi. Dan tidak, saya tidak akan bertemu perwakilan mereka di kantor. Suruh mereka menunggu. Saya sedang ada urusan mendadak."
'Urusan mendadak?' Rania mengerutkan dahi. Di warung kopi pinggir jalan?
Pembicaraan pria itu berlangsung serius, dipenuhi istilah-istilah bisnis yang asing di telinga Rania yaitu merger, akuisisi, saham preferen. Selama ia berbicara, ia tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
Wajahnya lurus, dingin, seolah sedang membaca laporan keuangan yang merugikan. Ia adalah patung yang hidup, patung yang sangat sukses.
Setelah lima belas menit, pria itu menutup telepon. Ia akhirnya mengambil cangkir kopi pahitnya. Ia menyesap sedikit, dan keningnya langsung berkerut.
Rania, yang kebetulan sedang berada di dekat meja Bang Jaelani, mendengar gumaman pelan pria itu, "Terlalu pekat. Dan ampasnya..."
Bang Jaelani yang melihat ekspresi jijik pria itu langsung panik. "Maaf, Tuan. Kopi robusta memang begini kalau tidak disaring dengan kain. Mau saya buatkan yang baru?"
Pria itu meletakkan cangkirnya perlahan. Gerakannya sangat terkontrol. "Tidak perlu. Saya tidak punya waktu. Berapa totalnya?"
Bang Jaelani menyebutkan harga kopi, dan pria itu segera mengeluarkan dompet kulit berwarna hitam yang sangat tipis dan elegan.
Ia mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan, dan tanpa menunggu kembalian, ia langsung beranjak pergi.
"Tunggu, Tuan! Kembaliannya," seru Bang Jaelani.
"Ambil saja," jawab pria itu singkat, bahkan tanpa menoleh. Ia berjalan cepat menuju mobilnya yang sudah menunggu dengan mesin menyala, masuk, dan sedan hitam mewah itu melaju pergi, menghilang ditelan kemacetan pagi.
.
.
Cerita Belum Selesai.....
dia guru terbaik dalam kehidupan.
ayak ayak wae...
di tunggu updatenya