Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 02
Melihat ibunya yang masih meraung, Dona mencoba untuk melangkah ke dapur memasak ikan hasilnya tadi siapa tahu setelah diam ibunya mau disuruh makan.
Tiga ekor ikan kecil itu sudah dibersihkan, tidak ada minyak ataupun bumbu penyedap lainnya, ikan itu hanya direbus di air yang mendidih lalu di kasih garam dan sebutir biji Wadung yang sudah dikeringkan.
Tidak lama kemudian tangan kecil itu mulai mematikan kompor lalu mengambil kuahnya sedikit demi sedikit ke dalam mangkuk.
Kuah bening itu mengepulkan asap tipis, aroma sederhana yang mungkin bagi sebagian orang tidak menggugah selera… namun bagi Dona, itu sudah seperti hidangan mewah. Setidaknya, ia berharap ibunya mau makan.
"Semoga, Ibu suka dengan kuah pindang ini," ucapnya sambil membagi ikan tiga ekor tadi, satu untuknya dan dua untuk ibunya.
Tidak ada nasi sebagai makanan pokok, hanya satu ekor ikan dan kuah pindang yang mengganjal perutnya sore ini.
Setelah membagi kuah pindang itu, dengan kedua tangan yang gemetar karena panas, ia membawa mangkuk itu perlahan menuju ruang tengah, namun suara teriakan ibunya kembali menggetarkan udara.
“MAS HAKIM! Jangan tinggalin aku… jangan tinggalin aku…!” Ardina memukul dadanya sendiri, menangis sesenggukan seolah akan kehabisan napas.
Dona berhenti di ambang pintu.
Ia menelan ludah, mencoba mengatur napas.
Setiap kali ibunya masuk ke fase seperti ini, Dona harus pandai memilih waktu. Salah sedikit… ibunya bisa mendorong, memukul, atau bahkan tak sengaja melukai dirinya sendiri.
“Ibu…” Suara kecil itu bergetar, tapi Dona tetap berusaha terdengar tenang.
“Aku masakin ikan. Ibu makan dulu, ya? Biar ada tenaga…”
Ardina tak menjawab. Tatapannya menerobos kosong, seolah mencari seberkas bayangan yang hanya ia lihat seorang diri.
Dona melangkah pelan, satu langkah… dua langkah.Ia meletakkan mangkuk itu di atas lantai, sedikit menjauh dari jangkauan ibunya agar tidak tumpah.
“Ibu… kalau Ibu makan, nanti Mas Hakim cepat pulangnya. Kata Bu Rona, orang yang rajin makan cepat disayang Tuhan,” rayunya dengan logika anak kecil.
Untuk sesaat, tangis ibunya mereda, Ardina menoleh perlahan matanya sembab, bibirnya bergetar pelan.
“Dia… benar pulang?” Suara itu penuh harap, seperti anak kecil yang memohon mainan.
Dona mengangguk pelan, meski air matanya hampir jatuh. “Iya, Ibu. Tapi Ibu harus makan dulu. Biar nanti bisa senyum kalau Mas Hakim pulang.”
Ardina menatap mangkuk itu. Tangannya terangkat… ragu… berhenti di udara.Dona langsung mengambil mangkuknya, meniup perlahan kuahnya, lalu mengangkat sendok kecil.
“Ini, Bu. Dona suapin, ya? Sedikit saja. Demi aku…” Kalimat terakhir itu, biasanya lebih ampuh.
Ardina perlahan membuka mulutnya.
Kuah asin tanpa rasa itu masuk, menetes sedikit ke dagunya. Dona segera mengusapnya dengan ujung bajunya sendiri.
“Ibu makan lagi ya… masih ada…”
Dona tersenyum, meski bibirnya gemetar.
"Tahu gak Buk, ikan ini Dona dapatpatkan dengan kasih sayang dan penuh cinta, cepat sembuh ya, Dona sayang Ibu," ucapnya sedikit berbisik.
Ardina seperti merasakan kasih sayang anaknya yang begitu tulus, sejenak ia mulai terdiam dan nurut, menyeruput kuah pindang itu dengan pelan. Namun untuk beberapa menit kemudian, ketenangan itu rapuh.
Sebentar kemudian, tatapan Ardina berubah lagi, gelisah, resah, ketakutan memenuhi wajahnya.
“Dia bohong… Mas Hakim nggak mau pulang!” Tiba-tiba ia menepis mangkuk di tangan Dona.
Mangkuk itu terlempar, isinya tumpah ke lantai, suara pecahannya membuat Dona tersentak mundur.
“Ibu… nggak! Itu makanan kita satu-satunya hari ini…”
Dona buru-buru memungut pecahan mangkuk, tapi jarinya terkena pinggir keramik yang tajam.
“Aww…” Setitik darah muncul. Namun ia cepat-cepat mengusapnya ke rok, takut ibunya makin panik.
Ardina kini memegangi rambutnya sendiri, mengacaknya kasar. “Aku ditinggal… aku sendirian… Mas Hakim pilih perempuan itu… dia pilih perempuan itu!”
Dona menangis tanpa suara.
Ia tahu… badai kali ini lebih parah dari biasanya. Ia menatap ibunya dengan hati hancur.
“Ibu… kalau begini terus, mereka bakal bawa Ibu pergi…” Kalimat itu hanya bergema dalam hati, tak berani ia ucapkan.
Di luar, angin pantai semakin kencang, membuat rumah kayu itu sedikit bergoyang atapnya yang dari seng. Beberapa tetangga mulai melongok dari balik jendela, bergumam pelan.
"Sepertinya Ardina mulai ngamuk lagi, kita panggil pihak puskesmas saja biar di bawa, ganggu banget," ujar salah satu tetangganya.
"Iya benar banget, masak setiap hari harus dengar teriakan wanita gila itu," timpal yang satunya lagi.
Sementara itu Dona memeluk dirinya sendiri, mendengar sayup-sayup ocehan para tetangga terhadap ibunya, bocah itu langsung memejamkan matanya, seolah beban yang ia pikul teramat berat.
Ia sadar… semakin dekat waktunya.
Hari ketika ibunya tidak lagi berada di rumah ini.
"Bu ... Dona tidak siap jika harus ditinggal Ibu," gumam anak itu dengan lirih.
☘️☘️☘️☘️☘️
Malam mulai merangkak keatas, hati Dona sedikit dibuat tenang, melihat sang ibu sedang meringkuk tidur diatas alas karpet di lantai dengan kaki yang masih terikat.
Dona berdiri di ambang pintu, melihat tubuh ringkih itu matanya langsung berair, sebagai seorang anak sebenarnya ia tidak tega melihat kaki itu harus terikat, namun jika tidak seperti itu, tubuhnya yang kecil tidak bisa mengendalikan perbuatan sang ibu jika sudah kambuh.
Dona memegang kusen pintu erat-erat seolah ikut sakit melihatnya. "Kasihan Ibu harus tidur dengan kaki yang terikat."
Tangisnya meleleh, namun ia cepat-cepat mengusapnya, ia harus tetap kuat, demi sang ibu, karena hanya wanita itu yang menjadi penguatnya saat, terkadang ia sangat terpukul kenapa ia berbeda dengan teman sebayanya.
Dia sudah dengar dengan cerita orang tentang ayah kandungnya, tentang keluarga sang ayah yang sampai saat ini masih menjadi pengepul ikan, namun sayang mereka semua seolah menghindar ketika berpapasan dengan Dona, jadi hidupnya serasa benar-benar hanya ada ibunya saja.
"Ibu jangan kemana-mana, di sini Dona hanya punya Ibu." ucap bocah itu sambil menyeret kursi untuk duduk seolah menemani sang ibu.
Tapi, belum sempat Dona duduk, suara ketukan keras terdengar dari pintu depan.
Tok! Tok! Tok!
Dona terlonjak.
Jam segini… siapa?
Ia berjalan cepat melewati ruang tengah, membuka pintu dengan hati-hati.
Di luar, berdirilah Pak RT, Bu RT, dan dua orang perangkat desa lainnya Pak Darto dan Bu Rona dengan raut serius. Lampu senter mereka menyorot pekarangan kecil rumah Dona.
“Assalamualaikum, Don,” ujar Pak RT dengan suara pelan namun tegas.
“Wa’alaikumussalam…” Dona menunduk sopan. “Ada apa ya, Pak?”
Pak RT menarik napas panjang. Suara lelaki paruh baya itu terdengar berat, seolah ikut merasakan beban yang menimpa keluarga kecil ini.
“Nak… besok pagi petugas puskesmas mau datang ke sini.” Ia menatap Dona dalam-dalam. “Mereka akan menjemput ibu kamu untuk dibawa ke rumah sakit jiwa.”
Dona membeku, jantungnya seakan berhenti sedetik.
Bu RT buru-buru menambahkan, suaranya lembut, “Ini demi kebaikan ibumu, Don. Ibumu harus dirawat. Dia sudah terlalu lama sakit.”
Dona menggigit bibirnya sampai hampir berdarah. “Tapi… Ibu nanti sendirian…” suaranya pecah, menahan tangis.
Pak Darto maju sedikit. “Kami tahu ini berat, Don. Tapi kalau tidak segera dibawa, kondisi ibumu bisa lebih parah. Dia bisa lukai dirinya… atau kamu.”
Dona menggeleng cepat, air mata jatuh tanpa ia tahan. “Tidak, Ibu nggak pernah sakitin aku… Ibu cuma… Ibu cuma nggak bisa pisah dari ayah…”
Bu Rona mendekat, menepuk bahu Dona dengan hati-hati. “Don, semua orang di kampung ini tahu kamu anak baik. Tapi kamu tidak bisa terus urus semuanya sendirian. Kamu masih kecil…”
Dona semakin menangis. “Kalau Ibu dibawa… aku tinggal sama siapa?” Tatapannya kosong, pandangannya goyah.
Suasana hening beberapa detik.
Angin laut berhembus membawa dingin yang memotong kulit.
Pak RT menjawab pelan, “Kita semua akan bantu. Tapi malam ini… kamu harus kuat, Nak. Besok mungkin Ibumu akan berteriak. Mungkin menangis. Mungkin memanggil nama Mas Hakim lagi.”
Nama itu, yang bahkan Dona sudah lelah mendengarnya.
“Ketika petugas datang, kamu jangan panik,” lanjut Pak RT. “Kami akan ada di sini menemanimu.”
Dona memeluk dirinya sendiri, tubuhnya bergetar hebat, rasanya seperti separuh nyawanya direnggut paksa.
“Pak… Bu… boleh nggak… jangan bawa Ibu?” suara Dona nyaris tak terdengar. “Ibu cuma punya aku… kalau Ibu pergi… siapa yang jagain dia?”
Pak RT menunduk, menahan napas panjang. “Dona… kadang cara sayang itu bukan dengan memeluk… tapi dengan melepaskan.”
Kata-kata itu menusuk lebih tajam daripada pisau, Dona hanya mampu menatap gelapnya halaman rumah, entah kenapa gadis kecil itu seolah meminta waktu untuk berhenti agar tidak terjadi hari esok, karena ia benar-benar takut pada hari esok.
Bersambung ...
Semoga suka dan jangan lupa kasih komen ya!
semangat Regi pasti bisa menjalaninya
pergi jauh... ke LN barangkali setelah sukses baru kembali,,tunjukkan kemampuanmu.
semangat......