Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HENING
Pernikahan antara aku dan Mas Akbar akhirnya terjadi. Aku anggap penilaian orang terdekatku hanya untuk menguji keteguhan hati menjelang pernikahan. Biasanya kan sebelum pernikahan terjadi selalu saja ada hambatan, dan aku menganggap omongan dari mereka hambatan sebelum pernikahan.
Acara pernikahanku dibilang tidak sederhana, karena aku anak pertama, tentu ibu dan bapak menyelenggarakan pesta pernikahan yang terbaik di kampungku. Acara ini murni disponsori oleh tabungan ibu dan tabunganku saja. Sedangkan Mas Akbar tak memberi uang sama sekali untuk acara ini. Kata tetangga biasanya pihak laki juga menyumbang, tapi kata ibuku selagi aku mampu, akan kudirikan tenda pernikahan untuk anakku sendiri. Aku sedikit tersentil dengan balasan ibu itu, entah beliau tak mau bergantung pada keluarga calon suamiku, atau memang ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa Akbar tidak mampu menyokong hajatan.
Ya karena sejak awal Akbar tak mau pesta pernikahan yang besar, ia lebih suka akad dan makan keluarga saja tanpa ada hajatan. Kedua orang tuaku jelas tak mau lah, teman ibu dan bapak banyak, alhasil sempat terjadi perdebatan sebelum pernikahan antara aku dan Akbar. Bahwasannya biaya resepsi pernikahan di pihakku, Akbar tak mau tanggung. Di rumah Akbar juga tidak ada resepsi pernikahan karena dia melangkahi dua kakaknya yang belum mau menikah.
Urusan hajatan selesai, keesokannya Akbar ingin langsung pindah ke rumahnya. Aku menghela nafas pendek. Selesai malam pertama bukannya bahagia malah munyulut perang. Apalagi ibuku bilang lebih baik kalian pindah ke sana setelah pendak pasar nikah, istilah jawa yang aku sendiri tak tahu.
"Kamu ini istriku loh, Mir. Masa' diajak ke rumah suami saja tunggu lima hari."
"Ya kan adat sih, Mas."
"Hidup cukup dengan agama saja, ngapain pakai adat-adat segala," mulai deh sikap semaunya Akbar keluar. Aku malas sekali kalau sudah begini. Jelas aku yang mengalah. "Kalau kamu gak mau pulang ke sana aku aja yang pulang!" ucapnya ngawur. Mana ada begitu, rambut basah setelah malam pertama saja belum kering sudah ada pisah rumah segala. Gila memang si Akbar, aku pun menyanggupi jam 9an kita balik ke rumah Akbar. "Sekalian bawa baju kamu," ujarnya ketus.
"Iya!" sekali lagi aku mengalah. Aku pun memasukkan semua barang-barangku menggunakan koper, terutama baju kerja. Pikirku tak perlu diangkut semua, toh kita belum memutuskan untuk tinggal paten di mana, jadi kalau bolak-balik kemari gak usah bawa baju.
Setelah urusan packing selesai, aku pamit pada ibu dan bapakku, masih ada saudara-saudaraku juga, namanya juga baru selesai hajatan, wajar kalau masih kumpul. "Yakin pulang sekarang, Mbak?" tanya ibuku kaget. Bapak hanya menggelengkan kepala.
"Biarkan saja, Bu. Dia harus menurut suaminya," ujar Bapak tak mau mendebatku. Sungguh aku tak enak sekali melihat ekspresi kedua orang tuaku. Mereka menginginkan aku dan suami membaur dengan keluarga di sini dulu, toh di keluarga suami juga tidak ada hajatan. Tapi beliau lebih baik mengalah, daripada terjadi pertengkaran antara aku dan suamiku. Sangat kesal sekali aku pada Akbar ini, sejak dulu memang minim empati. Tapi aku juga bodoh mau saja pacaran sama dia. Mana 5 tahun lagi, kredit motor sudah lunas lama tuh.
Aku dan suami pamit, ibuku menasehatiku agar menjadi menantu yang baik, bangun pagi, ikut membantu urusan rumah, yang sopan ngomongnya, dan jangan di kamar saja. Sedangkan suamiku, harusnya meyakinkan kedua orang tuaku bahwa nanti tinggal dirumahnya aku aman, nyaman, dan bahagia, tapi Akbar tidak. Dia hanya diam dan salim saja tanpa mengucap sepatah kata pun. Bahkan Pak Lik berniat mengantar agar kita tidak susah dengan bawa koper pun ditolak oleh Akbar.
"Mas kenapa sih, sama keluargaku begitu. Diam banget?" protesku saat naik motor. Mas Akbar terdengar hanya berdecak sebal saja.
"Kamu tahu sendiri aku pendiam, tak banyak omong dengan orang luar!"
"Ya tapi setidaknya gak diam begitu saja, sama orang tuaku juga kasih pemahaman kalau aku hidup sama kamu nanti bakal bahagia."
"Bahagia enggaknya istri ikut suami tergantung istrinya bersyukur apa enggak, itu aja."
"Ya kalau uangmu banyak, ya aku bakal bahagia saja."
"Matre!"
"Dih, enggak ya. Realistis."
"Kamu sudah tahu gajiku berapa, ya ngapain minta lebih. Lagian kamu juga kerja, kalau mau apa-apa juga bisa beli sendiri kan."
Aku diam, memang Mas Akbar sejak dulu gak suka kalau aku bekerja jadi dia hanya bilang gajiku segini begitu saja, dan dia ingin yang handle uang rumah tangga nanti dia. Kalau aku mau beli apa-apa yang pakai uangku sendiri. Kalau saat pacaran sih wajar, tapi kalau sudah menikah begini, bukannya kebutuhanku juga wajib ia tanggung ya.
"Kalau mau aku tanggung semua, keluar kerja saja!" ucapnya tegas. Wah, kalau sudah begini aku tidak mau memperpanjang lagi. Sekarang aku sudah menjadi tanggung jawabnya, wajib patuh juga, kalau mendadak dia ngamuk gak kasih izin kerja aku sendiri yang repot jadi lebih baik diam.
Rumah Mas Akbar ternyata sepi, berada di kawasan rumah kavlingan begitu. Aku belum pernah ke mari, karena saat lamaran tidak perlu ke rumah Mas Akbar cukup dirumahku saja sekalian menetapkan tanggal. Pantas saja, Mas Akbar mengajak cepat-cepat pulang. Rupanya dia ingin mengulang malam pertama lagi.
Begitu aku cuci kaki dan tangan, dia langsung menarikku ke kamarnya. Bahkan koperku saja belum aku buka, tapi bajuku sudah dibuka oleh Mas Akbar dengan tidak sabar. Meski menyebalkan, tapi aku juga minat kalau diajak begini. Kami mengulang moment romantis tadi malam, lebih leluasa karena rumah sepi. Bahkan suara kami pun tak harus tertahan. Mas Akbar memimpin ibadah halal kami penuh tenaga, bahkan aku sampai kuwalahan dengan eksplorasinya.
Entah sampai jam berapa kita berpetualang hingga sholat dhuhur saja di akhir waktu. Rumah Mas Akbar mulai ramai karena ibu dan kakaknya sudah sampai rumah setelah berdagang ke pasar. Aku bersalaman dengan mereka, tapi yang membuatku heran ekspresi ibu dan kakak Mas Akbar datar sekali, bahkan tak ada basa-basinya padaku. Sekarang aku tahu, kenapa Mas Akbar tak bisa basa-basi dengan keluargaku ternyata meniru sang ibu.
Aku membayangkan tiap hari harus bertemu dengan manusia tanpa ekspresi seperti ini ya wassalam, sangat berbeda dengan rumahku yang tiap pagi sangat hidup dengan ocehan ibu, ledekan Sultan, ah rasanya kangen sekali. Entah bagaimana komunikasi di keluarga ini yang jelas tak ada makan bersama, setelah beraktivitas mereka langsung masuk kamar sendiri-sendiri. Kebiasannya begini atau karena kehadiranku?
"Mas, emang keluarga kamu kalau makan gitu di kamar?" tanyaku setelah masak meskipun hanya sekedar goreng telor dadar sih, mengajak Mas Akbar makan di ruang makan, tapi ia memilih di kamar saja.
"Iya, emang gak ada acara makan bersama."
"Kalau berbuka dan sahur?"
"Ya di kamar."
"Hah? Terus kalian bersama gitu kapan?"
"Gak pernah, bahkan hari raya saja kita sekedar salaman saja terus masuk kamar begitu saja. Kenapa?"
"Ya enggak, aneh saja kalau keluarga gak ngobrol tiap hari."
"Itu kan keluarga kamu, jangan disamakan, dan jangan pernah berencana merubah kebiasan di keluarga sini untuk saling mengobrol. Apalagi aku sudah melangkahi kedua kakakku."
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.