NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:268
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Melodi yang Menjajah

Musik itu tidak sekadar terdengar; ia terasa.

Getaran dari denting piano di lantai bawah merambat naik melalui struktur kayu villa, mengguncang lantai kamar tempat mereka berlindung. Kaca jendela bergetar di bingkainya, menciptakan suara dengung rendah yang menyakitkan telinga.

Rian berdiri terpaku di tengah ruangan. Matanya tidak lagi fokus. Pupilnya melebar, menelan warna cokelat hangat iris matanya hingga nyaris hitam legam. Kepalanya sedikit miring, seolah menikmati harmoni yang tak bisa didengar oleh orang lain.

"Turun..." bisikan itu datang lagi, kali ini bukan dari udara kosong, tapi keluar dari mulut Rian sendiri tanpa dia sadari.

"Rian! Sadar!" Elara mengguncang lengan pria itu sekuat tenaga. Rasanya seperti menggoyahkan patung batu. Otot-otot lengan Rian mengeras, tegang oleh adrenalin yang dipacu kekuatan asing.

"Minggir, El," gumam Rian, suaranya datar, tanpa emosi. "Gue harus selesaikan bagian Coda-nya. Kalau nggak selesai, dia bakal nangis terus."

Rian mengibaskan tangan Elara dengan mudah, lalu melangkah menuju pintu yang terhalang lemari. Gerakannya kaku, seperti boneka marionette yang talinya ditarik kasar.

"Tahan dia! Tahan Rian!" teriak Sarah histeris.

Bobi, yang sedang memeluk tongkat besi di sudut ruangan, langsung melompat. "Maaf ya, Bos! Ini demi kebaikan lo!"

Bobi menubruk punggung Rian, mengalungkan lengannya ke leher sahabatnya itu dalam pitingan amatir. Sarah ikut membantu, menarik lengan kiri Rian sekuat tenaga agar menjauh dari pintu.

Tapi tenaga Rian malam ini tidak manusiawi. Dia menggeram rendah, suara yang terdengar seperti gesekan batu dan menyentakkan tubuhnya. Bobi terpental jatuh ke atas kasur, sementara Sarah terdorong hingga menabrak dinding.

"Sakit, Yan! Woy!" ringis Bobi, memegangi rusuknya.

Rian tidak peduli. Dia sudah sampai di depan lemari penghalang. Tangannya menempel pada permukaan kayu jati yang berat itu.

Di bawah sana, musik piano semakin liar. Temponya semakin cepat, presto, seolah jari-jari pianisnya sedang terbakar. Dan seiring dengan memuncaknya musik itu, Rian mulai mendorong lemari tersebut.

Kreeek...

Lemari pakaian seberat hampir seratus kilogram itu bergeser.

"Gila..." bisik Sarah, matanya terbelalak ngeri. "Rian nggak mungkin sekuat itu."

Elara tahu dia tidak bisa melawan Rian dengan tenaga fisik. Dia harus melawannya dengan rasa.

Elara berlari, menyalip Rian, dan memosisikan dirinya tepat di antara tubuh Rian dan lemari itu. Dia memunggungi lemari, merentangkan kedua tangannya, memblokir jalan Rian.

"Rian, lihat aku!" bentak Elara, suaranya bergetar namun tajam.

Langkah Rian terhenti. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Elara bisa melihat keringat dingin membasahi pelipis Rian, dan urat-urat lehernya yang menonjol. Napas pria itu berbau tembakau tua—padahal Rian tidak merokok.

"Minggir, Elena," desis Rian. Tatapannya dingin, menusuk.

Hati Elara mencelos. Dia dipanggil dengan nama itu lagi.

"Aku bukan Elena!" teriak Elara, menangkup kedua pipi Rian dengan tangannya yang dingin. Dia memaksa Rian menatap matanya. "Aku Elara! Elara yang kamu kasih botol minum tadi siang! Elara yang nulis novel cengeng yang selalu kamu baca draf pertamanya! Sadar, Rian!"

Musik di bawah mencapai crescendo, titik ternyaring. Jeritan wanita dalam musik itu melengking tinggi.

Tubuh Rian gemetar hebat dalam genggaman Elara. Ada perang yang berkecamuk di dalam dirinya. Antara jiwa Adrian yang ingin mengambil alih, dan kesadaran Rian yang berjuang untuk tetap tinggal.

"El..." suara Rian retak, matanya berkedip cepat. Warna hitam di pupilnya sedikit menyusut. "El... tolong... berisik banget... kepalaku sakit..."

"Lawan, Yan! Jangan dengerin musiknya! Dengerin suaraku!" Elara mendekatkan wajahnya, dahi mereka bersentuhan. "Kita pulang sama-sama. Kamu janji mau buka coffee shop kan? Kamu janji mau jadi pembaca pertamaku lagi kan?"

Perlahan, ketegangan di bahu Rian mulai kendur. Tangannya yang tadi siap melempar lemari, kini turun lemas di sisi tubuhnya. Napasnya mulai teratur meski masih memburu.

"Elara..." bisik Rian, kali ini dengan suaranya sendiri. Air mata menetes dari sudut matanya. "Takut, El. Gue takut."

Rian merosot jatuh berlutut, kakinya tidak kuat menopang tubuhnya lagi. Elara ikut berlutut, memeluk kepala Rian di dadanya.

Tepat saat Rian sadar sepenuhnya, musik piano di lantai bawah berhenti mendadak.

Hening.

Kesunyian yang tiba-tiba itu justru lebih menakutkan daripada kebisingan tadi. Lilin-lilin hijau di sekeliling kamar berkedip pelan, kembali ke warna oranye normal.

"Udah? Udah kelar konsernya?" tanya Bobi dari atas kasur, suaranya mencicit. Dia masih memegang rusuknya yang nyeri.

"Kayaknya..." jawab Sarah ragu, berjalan mendekat ke arah mereka.

Namun, kelegaan itu hanya bertahan tiga detik.

BAM!

Sebuah hantaman keras menghajar pintu kamar dari sisi luar.

Lemari pakaian yang menjadi penghalang bergetar hebat.

BAM! BAM!

Seseorang, atau sesuatu sedang mencoba mendobrak masuk. Tidak ada suara teriakan, tidak ada suara langkah kaki. Hanya suara hantaman fisik murni yang brutal.

"Tahan lemarinya!" teriak Rian. Insting bertahannya kembali menyala.

Rian, Elara, Bobi, dan Sarah serentak melompat, menabrakkan bahu mereka ke lemari itu, menahannya agar tidak tergeser mundur.

BAM!

Pintu kayu di balik lemari itu retak. Mereka bisa merasakannya melalui punggung mereka. Kekuatan di luar sana sangat besar.

"Pergi! Kami nggak mau main!" teriak Bobi, matanya terpejam rapat. "Tiketnya udah habis! Bubar!"

Hantaman itu berhenti.

Hening lagi.

Napas mereka berempat terdengar kasar, bersahutan di ruangan sempit itu. Mereka tetap menempel di lemari, tidak berani bergerak satu inci pun.

"Dia pergi?" bisik Elara.

Rian menempelkan telinganya ke pintu lemari. Dia mencoba mendengar pergerakan di koridor.

"Sstt..." Rian memberi isyarat diam.

Terdengar suara gesekan halus di lantai koridor. Seperti suara kuku panjang yang diseret di atas kayu parket.

Sreeek... sreeek...

Suara itu bergerak menjauh. Bukan kembali ke tangga, melainkan bergerak ke arah kamar sebelah kamar yang seharusnya ditempati Rian.

Lalu, terdengar suara pintu kamar sebelah dibuka.

Krieeet...

Dan suara langkah kaki berat masuk ke sana.

"Dia... dia masuk ke kamar lo, Yan," bisik Bobi horor. "Dia nyari lo."

Dari balik dinding yang memisahkan kamar mereka dengan kamar sebelah, terdengar suara benda-benda dibanting. Kasur dirobek, lemari dijatuhkan. Sosok itu mengamuk karena tidak menemukan apa yang dicarinya.

Lalu, terdengar suara tawa.

Tawa pria yang berat, kering, dan penuh kebencian.

"Kalian pikir pintu kayu bisa menahanku?"

Suara itu menembus dinding, terdengar sangat dekat di telinga mereka.

Elara menatap dinding pembatas itu dengan ngeri. Dia ingat konstruksi villa tua ini. Di bagian atas dinding, dekat plafon, ada ventilasi udara kuno berupa lubang-lubang ukiran kayu yang menghubungkan antar kamar agar sirkulasi udara lancar.

Elara mendongak.

Di lubang ventilasi gelap di atas sana, sepasang mata merah menyala sedang menatap ke bawah. Menatap lurus ke arah mereka yang sedang berhimpitan menahan pintu.

"Di atas..." bisik Elara, suaranya hilang ditelan ketakutan.

Rian, Bobi, dan Sarah mendongak mengikuti arah pandang Elara.

Sosok itu tidak memiliki bentuk wajah yang jelas, hanya kegelapan yang pekat dengan dua titik merah itu. Dan perlahan, sebuah cairan kental berwarna hitam menetes dari ventilasi itu.

Tess..

Cairan itu jatuh tepat di tengah ruangan, di atas karpet. Asap tipis mengepul saat cairan itu menyentuh kain, disertai bau belerang dan daging busuk yang menyengat.

"Dia nggak perlu lewat pintu," kata Rian, wajahnya memucat. "Dia bisa lewat celah mana pun."

"Lari," kata Sarah tiba-tiba. Logikanya bekerja cepat menghitung peluang. "Kita nggak bisa bertahan di kamar ini. Kita terperangkap kayak tikus."

"Lari ke mana?!" seru Bobi. "Di luar ada badai, di koridor ada dia!"

"Ke loteng," jawab Rian cepat. Matanya tertuju pada pintu kecil di langit-langit kamar, akses menuju loteng yang dia lihat saat pertama kali masuk. Letaknya tepat di atas lemari yang mereka gunakan untuk menahan pintu.

"Lo gila?! Loteng itu tempat favorit hantu di semua film!" protes Bobi.

"Pilihannya cuma dua, Bob. Tetap di sini nunggu dia meleleh masuk lewat ventilasi dan ngebunuh kita, atau naik ke atas," tegas Rian. Dia sudah berdiri di atas kursi, mencoba meraih pegangan pintu loteng itu.

Cairan hitam dari ventilasi menetes semakin deras, kini mulai membentuk genangan yang meluas.

Rian menarik pegangan pintu loteng. Terkunci.

"Terkunci!" maki Rian. "Bobi, lempar Excalibur lo!"

Bobi melemparkan tongkat besi perapian itu ke Rian. Rian menangkapnya, lalu menyelipkannya ke celah pintu loteng, menggunakannya sebagai pengungkit.

Krak!

Kayu tua itu menyerah. Pintu loteng terbuka, menjatuhkan tangga lipat yang berdebu tebal.

"Naik! Cepat!" perintah Rian.

Sarah naik duluan, diikuti Bobi. Elara hendak naik, tapi dia menoleh ke ventilasi. Mata merah itu sudah hilang. Tapi kini, cairan hitam itu mulai bergerak, menggumpal, dan meninggi membentuk sosok manusia di tengah kamar.

"Rian! Cepat!" teriak Elara sambil memanjat tangga.

Rian menyusul di belakang Elara.

Tepat saat kaki Rian meninggalkan anak tangga terakhir dan masuk ke dalam kegelapan loteng, sosok gumpalan hitam di kamar bawah itu menerjang. Tangan hitam panjang mencoba meraih kaki Rian.

Rian menarik kakinya secepat kilat dan menendang tangga lipat itu ke atas, lalu membanting pintu loteng hingga tertutup rapat.

BAM!

Mereka berempat terengah-engah dalam kegelapan total loteng yang berbau apek dan sarang laba-laba. Di bawah mereka, sesuatu sedang mencakar-cakar pintu loteng dengan ganas.

Tapi mereka selamat. Untuk sementara.

Rian menyalakan senter ponselnya yang baterainya tinggal sedikit. Cahaya itu menyapu sekeliling loteng yang luas dan penuh barang rongsokan.

Dan cahaya senter itu berhenti pada satu objek di ujung ruangan.

Di sana, duduk di atas sebuah kursi kayu tua yang menghadap tembok, ada sesosok tubuh manusia yang sudah mengering. Masih mengenakan gaun pengantin yang compang-camping.

Di pangkuannya, kerangka tangan itu memegang sebuah buku harian.

Rian menelan ludah. "Sepertinya kita baru saja menemukan Elena yang asli."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!