👑 Academy Animers, sekolah elit untuk pelajar berkekuatan unik dan bermasalah mental, dijaga Kristal Kehidupan di Crown City. Dipimpin Royal Indra Aragoto, akademi berubah jadi arena Battle Royale brutal karena ambisi dan penyimpangan mental. Indra dan idealis (Akihisa, Miku, Evelia) berjuang mengembalikan misi akademi. Di lima kota inti, di bawah Araya Yamada, ketamakan dan penyalahgunaan kekuatan Kristal merusak moral. Obsesi kekuatan mendorong mereka menuju kehancuran tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prologue'2015
...
Gerbang raksasa Academy Animers, yang diukir detail gargoyle dan dihiasi spanduk megah Keluarga Royal, terbuka perlahan menyambut fajar yang menyingsing di Crown City. Di antara kerumunan pelajar yang berdesdenganakan, seorang pemuda berambut merah menyala, mengenakan jubah hitam sederhana namun berkelas, melangkah masuk. Sosoknya yang tegap dan auranya yang tenang seketika menarik perhatian. Bisikan-bisikan mulai terdengar, seperti riak di danau yang tenang. "Itu dia... Royal Indra Aragoto," desis seorang siswi, matanya terbelalak. "Pangeran mahkota... di sini?" tanya yang lain, tak percaya. Indra, putra mahkota Crown City dan pewaris takhta, mengabaikan tatapan-tatapan itu. Ia tak pernah menyukai perhatian yang berlebihan. Dengan langkah pasti, ia terus berjalan, tas kulitnya berayun ringan di sisi tubuh, menuju bangunan utama akademi yang menjulang tinggi, seolah tak ada yang spesial terjadi....
Lorong-lorong megah akademi, dengan jendela kaca patri berwarna-warni yang memancarkan cahaya pagi ke lantai marmer, dipenuhi riuh rendah obrolan pelajar. Indra terus melangkah, mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk. Tiba-tiba, ia berpapasan dengan seorang wanita muda berambut pirang keemasan yang terurai indah, matanya seungu bunga lavender, sedang membaca gulungan perkamen. Saat Indra melewatinya, hembusan jubahnya yang tipis menyentuh ringan lengan wanita itu. Ia mendongak, matanya yang unik bertemu punggung Indra sesaat sebelum pangeran itu berbelok di sudut. Wanita itu terdiam, gulungan perkamennya sedikit merosot, pandangannya terpaku pada sosok berambut merah yang menghilang, seolah ada sesuatu yang tak terucap terlewatkan di antara mereka.
Indra tak menyadari pertemuan singkat itu. Pikirannya dipenuhi dengan keharusan untuk beradaptasi. Ia melangkah masuk ke sebuah ruang kelas yang luas, deretan meja dan kursi kayu gelap tertata rapi. Sebuah plakat kuningan kecil di salah satu meja bertuliskan namanya dengan gaya kaligrafi Royal. Ia menemukan tempatnya, sebuah kursi di dekat jendela yang menghadap ke halaman dalam akademi. Menghela napas panjang, ia meletakkan tasnya.
"Akhirnya..." bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku tidak percaya akan terjebak di sini."
Seorang pemuda dengan rambut cokelat acak-acakan yang duduk di bangku depannya menoleh, alisnya terangkat. "Terjebak? Ini Academy Animers, pangeran. Kesempatan seumur hidup!" ujarnya dengan senyum lebar, sedikit mengejek.
Indra hanya mendengus pelan. "Kesempatan untuk apa? Belajar sihir yang entah apa gunanya atau bertarung sampai mati seperti yang mereka katakan?"
Pemuda itu tertawa kecil. "Yah, keduanya mungkin. Aku Lio, senang bertemu denganmu, Yang Mulia."
"Cukup panggil Indra," balas Indra, sedikit lebih lembut. "Dan kuharap 'terjebak' ini tidak seburuk yang kubayangkan." Ia menoleh ke jendela, memandang menara-menara tinggi akademi, bertanya-tanya apa yang menantinya di balik gerbang ini. Sebuah perasaan campur aduk antara keengganan dan rasa ingin tahu menyelimuti benaknya. Ia tahu bahwa meskipun ia seorang pangeran, di sini, semua orang adalah murid, dan tantangan yang sebenarnya baru saja dimulai.
Gerbang tinggi Academy Animers yang terbuat dari logam chroma berkilauan di bawah cahaya pagi. Begitu Indra duduk dan menghela napas, ia mendengar tawa kecil dari kursi di depannya.
"Maafkan aku, aku belum sepenuhnya memperkenalkan diri," ucap pemuda yang menyebut dirinya Lio itu. Saat Indra menoleh, ia terkejut melihat sebuah glitch cepat terjadi. Dalam sekejap, rambut cokelat berantakan Lio menjadi hitam pekat dan matanya yang tadinya cerah berubah menjadi biru elektrik yang dingin. "Kau baru saja melihat sekilas kekuatanku. Panggil aku Akihisa. Yang tadi hanya sedikit penyamaran, aku tidak suka menarik terlalu banyak perhatian."
Indra, yang sebagai pangeran mahkota sudah terbiasa dengan fenomena unik, hanya menatap datar perubahan itu. "Akihisa," ulang Indra. "Baiklah. Kenapa orang sepertimu repot-repot masuk ke akademi aneh ini? Tempat ini dipenuhi dengan pelajar yang bermasalah mental dan haus kekuasaan. Jujur saja, aku lebih suka bermalas-malasan di istana daripada di sini."
Akihisa menyandarkan diri di kursinya, senyumnya tetap tenang dan penuh antusias. "Justru karena itu! Di luar, semua orang terlalu serius dengan gelar, garis keturunan, atau harta. Di sini? Semuanya tentang kemampuan. Dan di tempat yang kacau ini, justru sangat mudah untuk bersantai dan menjadi 'tidak penting'. Aku suka itu. Lagipula, bukankah kau juga di sini? Untuk belajar mengendalikan kekuatan Kristal Kehidupan, kan? Aku hanya mencari vibe yang lebih santai di tengah kekacauan yang ada."
"Vibe yang lebih santai?" Indra mendengus. "Aku dengar ini lebih mirip 'Battle Royale' daripada akademi."
Akihisa mengangguk ringan. "Aku tahu. Tapi, dengar, nanti di lapangan luar, pasti ada tes," bisik Akihisa, suaranya dipenuhi misteri. Indra langsung mengangkat kepalanya, rasa malasnya sedikit menghilang digantikan rasa penasaran. "Tes? Tes macam apa?" Akihisa menggelengkan bahunya. "Aku tidak tahu. Hanya itu yang berhasil aku dengar. Mereka bilang itu akan seru." Tiba-tiba, pintu kelas terbuka dan seorang wanita berambut hijau neon terang dengan jaket kulit bergaya modern masuk, matanya mencari tempat duduk. Akihisa langsung terdiam, matanya mengikuti pergerakan wanita itu.
"Lihat dia," gumam Akihisa pelan, hampir tidak terdengar.
Indra mengikuti pandangan Akihisa, lalu menyenggolnya pelan. "Kalau kau tertarik, kenapa tidak langsung kau dekati saja? Berkenalan. Kita berada di akademi yang sama, kan?"
"Tidak, tidak! Aku tidak bisa melakukan itu," bantah Akihisa dengan wajah memerah. "Aku bahkan belum mengenalnya! Itu... itu tidak sopan! Aku butuh rencana, strategi, dan mungkin seminggu penuh untuk memikirkan dialog pembuka yang sempurna. Kau tahu, etika sosial."
Indra hanya bisa menghela napas panjang dan berat. Ia membiarkan kepalanya jatuh dan teredam di atas meja kayu dengan malas. "Aku merasa terjebak lagi," gumamnya di balik lengannya. Setidaknya, hari pertamanya di Academy Animers ini ternyata lebih aneh daripada yang ia bayangkan.
Akihisa masih sibuk merencanakan strategi perkenalan yang "sempurna" sambil sesekali mencuri pandang ke arah wanita berambut hijau neon itu. Tiba-tiba, mata biru elektriknya membelalak. Wanita itu, yang kini duduk di barisan tengah, menoleh ke arah mereka, tersenyum tipis, dan melambaikan tangan dengan santai. Akihisa langsung salah tingkah, bahkan hampir terjatuh dari kursinya.
"Dia... dia tersenyum padaku!" gumam Akihisa, nadanya antara terkejut dan senang. Saat itu, teman di sebelahnya memanggil, "Hei, Miku! Sini!" Mendengar nama itu, Akihisa langsung bersemangat. "Miku! Aku tahu namanya! Miku! Misi perkenalanku kini punya nama target!" Indra hanya menatap datar, menyilangkan tangannya di dada.
"Kau berlebihan, Akihisa. Dia cuma melambaikan tangan," komentar Indra.
"Tidak, Indra! Ini adalah takdir! Aku harus berkenalan dengannya hari ini juga! Aku tidak akan membiarkan kesempatan ini berlalu!" seru Akihisa sambil mengepalkan tangan ke udara.
Indra menghela napas, gestur yang sudah menjadi ciri khasnya. "Baiklah. Semangat," katanya dengan nada yang datar dan tanpa emosi.
Saat Akihisa sibuk memikirkan kalimat sapaan untuk Miku, pintu kelas kembali terbuka. Masuklah wanita berambut pirang keemasan bermata ungu lavender yang Indra lihat di lorong tadi. Seketika, Indra yang tadinya cuek kini langsung terkejut dan salah tingkah. Wajahnya sedikit memerah, dan ia segera membenarkan kerah jaketnya. Akihisa, melihat reaksi Pangeran Mahkota yang biasanya dingin itu, langsung tertawa terbahak-bahak.
"Wah, wah, wah, lihat siapa yang masuk! Pangeran kita akhirnya merasakan guncangan emosi," goda Akihisa sambil menyikut Indra.
"Diam, Akihisa!" desis Indra, memukul pelan punggung Akihisa.
Wanita pirang itu, dengan langkah percaya diri, berjalan lurus menuju meja Indra dan Akihisa. Akihisa, menyadari situasi itu, bergegas menjauh dan berpindah ke kursi lain di dekat Miku, terkekeh sambil berbisik, "Aku kabur dulu, Pangeran! Semoga sukses!"
Indra mengalihkan perhatiannya ke buku di atas meja, berpura-pura sangat sibuk membaca. Wanita itu berdiri tepat di depannya. "Halo," sapanya lembut. "Namaku Evelia Namida, dan aku telah ditunjuk sebagai ketua kelas di sini."
Indra hanya mengangguk tanpa mendongak dan berdehem singkat, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Ya, Evelia. Baiklah."
Evelia merasa diabaikan. Ia menarik napas, lalu mencoba bersikap tegas, meskipun suaranya terdengar sangat halus dan imut. "Bisakah... bisakah kau jangan mengalihkan pandanganmu saat aku sedang berbicara, Pangeran?"
Indra mengangkat kepalanya, mencoba mempertahankan ekspresi datarnya, tetapi melihat wajah Evelia yang berusaha keras untuk marah namun justru terlihat lucu, ia tidak bisa menahan diri lagi. Tawanya meledak. Ia terkekeh pelan. "Astaga, maaf. Kau... kau benar-benar lucu saat mencoba marah, Evelia."
Wajah Evelia sedikit merona. Ia berdehem dan kembali bersikap formal. "Lupakan itu. Ingat, jangan alihkan pandanganmu. Aku akan kembali ke tempatku sekarang." Ia berbalik dan berjalan menuju bangku Miku, yang tersenyum menyambutnya. Indra menyaksikan interaksi keduanya, senyum kecil yang langka masih terukir di wajahnya. Hari pertamanya di Academy Animers ini jelas tidak akan membosankan.
Akihisa, setelah mengamankan kursinya kembali, langsung menyenggol Indra yang masih terkekeh pelan. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
"Hei, Pangeran! Apa yang dikatakan ketua kelas kita yang 'lucu' itu? Kenapa dia menghampirimu secara pribadi? Aku yakin kau langsung jadi targetnya, ya?" goda Akihisa sambil tersenyum nakal.
Indra kembali membenamkan wajahnya di lipatan tangannya di atas meja, merespons dengan gumaman teredam. "Tidak ada apa-apa. Hanya... hanya bicara tentang aturan kelas. Berisik." Indra tahu Akihisa sedang menggodanya tentang Evelia, tapi sebagai seorang pangeran yang sudah terbiasa menghadapi intrik istana, godaan kecil seperti itu sudah kebal baginya. Ia memilih mengabaikan Akihisa, berharap pemuda itu akan berhenti.
Namun, Akihisa tak terhentikan. Ia mulai bercerita panjang lebar, meskipun Indra hanya sesekali berdehem sebagai tanda mendengarkan, dengan wajahnya yang masih terbenam di meja.
"Kau tahu, aku sudah berhasil! Aku berkenalan dengan Miku!" seru Akihisa dengan suara bersemangat. "Ternyata dia sangat ramah. Dia bilang orang tuanya punya toko bunga di pinggiran Ranox City, dan dia sering membantu mereka. Dan yang paling keren, kemampuannya itu! Dia bisa menyanyikan lagu yang memancarkan energi magis! Bayangkan, Indra! Melodi yang bisa memulihkan atau bahkan menyerang!"
"Hmm," dehem Indra singkat, mengangguk perlahan tanpa mengangkat kepala.
Meskipun Indra berusaha fokus mendengarkan cerita Akihisa yang antusias, pandangannya justru bergerak tanpa sadar. Ia mengangkat kepalanya sedikit, melirik ke arah Evelia yang sedang tertawa kecil dengan Miku. Cahaya dari jendela memantul indah di rambut pirangnya dan membuat mata ungu lavendernya berkilauan. Evelia terlihat begitu cantik dan manis saat tersenyum, bahkan kemarahannya tadi pun terasa menggemaskan. Indra pun larut dalam lamunannya, mengabaikan Akihisa yang masih bercerita tentang keajaiban bunga dan melodi.
Akihisa, tanpa menyadari bahwa Indra sudah terbuai dalam pesona Ketua Kelas yang baru, mengakhiri ceritanya dengan bangga. "Pokoknya, aku yakin dia adalah takdirku! Siapa sangka, hari pertama sudah menemukan dua hal keren: teman yang malas tapi kuat, dan target yang menawan! Kau harus mencoba berkenalan dengan gadis-gadis lain juga, Indra. Jangan cuma tidur di meja."
Indra tersentak dari lamunannya, menoleh ke Akihisa dengan ekspresi yang kembali datar. "Aku tidak tidur," katanya singkat, kembali membenamkan wajahnya. Namun, di balik lipatan tangannya, bayangan senyum Evelia Namida tetap bertahan, mengusik ketenangan pangeran mahkota itu. Pertarungan batin antara keengganannya bersosialisasi dan ketertarikannya pada sang ketua kelas telah dimulai.
Indra mengangkat kepalanya sejenak dari meja, menatap Akihisa yang masih tersenyum lebar. "Dengar, aku tidak suka berkenalan dengan banyak orang. Cukup yang terpercaya saja," ucap Indra dengan nada dingin, mencoba mengakhiri obrolan itu.
Akihisa menyeringai lebar. "Ah, aku mengerti maksudmu. Jadi, secara tidak langsung kau mengakui bahwa aku adalah teman pertama Pangeran Mahkota yang kau anggap terpercaya di akademi aneh ini, bukan?" Indra merasakan pipinya sedikit menghangat. Ia kembali membenamkan wajahnya. "Terserah katamu saja," gumamnya, sikap tsundere khasnya muncul untuk menutupi rasa canggungnya.
Indra kembali mengangkat wajah, menatap Akihisa dengan tatapan serius. "Dan satu hal lagi, jangan ikut-ikutan memanggil Evelia 'lucu'," tambahnya dengan cepat, seolah itu adalah aturan tak tertulis.
Akihisa tertawa terbahak-bahak. "Oh, wow! Pangeran kita ternyata posesif! Sudah diklaim, ya? Baiklah, aku mengerti. Aku akan fokus pada Miku. Tapi aku menantikan pajak jadian-mu dengan Evelia nanti, Indra!" Godaan itu membuat Indra hanya bisa menatap datar Akihisa, tidak peduli apa pun yang dikatakannya.
Tiba-tiba, percakapan mereka terhenti. Evelia dan Miku berjalan mendekat. Miku melambaikan tangan dengan gemas ke arah Akihisa, yang langsung membalasnya dengan senyum norak. Evelia, berdiri di depan Indra, memegang tablet data digital. "Indra, ini Formulir Absen elektronik yang harus kau isi sekarang," katanya dengan nada resmi.
Indra berusaha tampil cuek. "Ya, baiklah," jawabnya singkat sambil mengambil tablet itu, berusaha keras menutupi kegugupannya. Sambil Indra mengisi formulir, Evelia memandangnya dengan tatapan mata yang sedikit menyipit, seolah membaca gerak-gerik Indra yang berusaha keras menahan salah tingkah. Setelah Indra selesai, Evelia hanya mengangguk tipis. "Bagus. Ayo, Miku, kita harus mengambil data yang lain." Keduanya berbalik dan pergi.
Begitu Evelia dan Miku menjauh, Akihisa langsung menyenggol Indra dengan keras. "Kau lihat itu, Indra? Miku melambaikan tangannya padaku! Dua kali! Ini pertanda baik, Pangeran!"
Indra, yang sudah benar-benar muak dengan euforia Akihisa dan lelah karena harus terus menerus menahan emosinya di depan Evelia, tidak merespons. Ia hanya menutup matanya rapat-rapat dan membenamkan wajahnya di meja kembali, berharap jam pelajaran segera dimulai. "Terserah kau saja, Akihisa. Aku tidak mau dengar lagi," ucapnya, suaranya teredam oleh meja. Pertempuran di Academy Animers mungkin belum dimulai, tetapi pertarungan Indra melawan perasaannya sendiri sudah mencapai klimaks.
..
.
..
.
Di puncak gedung utama Academy Animers, tempat yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang, sesosok wanita berambut merah pendek berdiri tegak. Ia adalah Araya Yamada, Ketua OSIS akademi yang berkuasa, sosok yang dikenal karena kecerdasan strategisnya dan aura dinginnya. Dari ketinggian itu, Crown City tampak seperti labirin mainan di bawah kakinya, dan kerumunan siswa di lapangan utama terlihat tidak lebih dari semut-semut kecil.
Araya memandang semua orang di bawah dengan tatapan sinis, seringai khasnya terukir di wajahnya. Ia menikmati posisi ini-posisi yang memberinya pandangan penuh atas panggung kekacauan yang akan segera ia ciptakan. "Semut-semut itu... tampak begitu bersemangat memasuki gerbang kandang singa," gumamnya pelan, suaranya mengandung nada ejekan yang jelas.
Di belakang Araya, beberapa anggota OSIS elit berdiri dalam formasi, diam dan menunggu perintah. Salah satu dari mereka, seorang pemuda bernama Kizana dengan earpiece komunikasi yang terpasang rapi, melangkah maju. "Ketua Araya, apakah pertarungan 'Yang Bertahan' akan dimulai di lapangan seperti biasanya?" tanyanya, suaranya penuh rasa hormat namun terdengar sedikit tegang.
Araya menoleh, senyumnya semakin melebar, memperlihatkan gigi taring yang tajam. "Oh, tidak, Kizana. Itu terlalu kuno dan membosankan. Aku merasa kita harus sedikit meningkatkan standar tahun ini." Ia kembali memandang ke bawah. "Kali ini, kita akan memulainya dari tempat yang paling mereka anggap aman. Dari kelas masing-masing." Matanya berkilat penuh antisipasi.
Seketika, tawa antusias terdengar. Nina Yamada, adik Araya dengan penampilan yang tak kalah mencolok, melompat kegirangan. "Akhirnya! Aku sudah bosan hanya menonton dari pinggir! Aku bisa berpartisipasi dalam pembantaian ini!" seru Nina, energinya yang meluap-luap kontras dengan ketenangan dingin sang kakak.
Araya menepuk lembut bahu adiknya. "Tentu saja, Nina. Manfaatkan waktumu sebaik mungkin. Aku ingin melihat darah dan kekacauan yang lebih teratur kali ini." Ia menoleh ke Kizana dan anggota lainnya. "Siapkan perangkat aktivasi. Biarkan game dimulai. Aku ingin tahu, apakah kali ini akan lebih seru dari sebelumnya?" Perintah itu diucapkan dengan nada tenang, namun mengandung janji kehancuran yang tak terhindarkan.