Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.3 : Sri Lestari
Cakra membuka matanya perlahan. Pangkal lehernya terasa sakit. Dia sudah tertidur sambil duduk selama beberapa jam. Cakra menoleh pada Dhyas. Posisi Dhyas masih tertidur di sana. Belum ada pergerakan sama sekali. Cakra menaruh tangannya di dahi Dhyas. Setidaknya Dhyas tidak demam.
Perlahan Cakra beranjak dari tempat duduknya. Di pendopo luar sudah sunyi. Halaman gelap gulita. Samar-samar Cakra melihat mbah Lodra sedang mengantarkan seseorang pulang di gerbang utama. Setelah tamu itu pergi, Cakra menghampiri mbah Lodra.
"Siapa yang datang, guru?," tanya Cakra begitu tiba di belakang gurunya.
"Panglima Wira," mbah Lodra menoleh, "Besok ada penyerangan ke markas Belanda di pesisir timur. Panglima minta bantuan kita,"
"Siapa yang akan turun ke sana, guru?,"
"Dhyas tidak mungkin turun. Sekalipun besok dia sudah sadar tapi dia masih harus istirahat dulu,"
"Saya bisa menggantikan Dhyas, guru. Biarkan dia beristirahat,"
Mbah Lodra mengangguk,
"Kamu dan Arya yang akan memimpin regu. Kita hanya mengutus sedikit orang. Tidak mungkin kita mengutus yang luka-luka,"
"Siap, guru,"
"Istirahatlah. Kamu juga butuh pemulihan tenaga,"
***
Cakra berjalan ke arah rumahnya. Matahari pagi begitu menyengat. Pagi yang serasa seperti sudah tengah hari. Orang-orang juga sudah lalu lalang beraktivitas. Cakra ingin pulang subuh, tapi dia ketiduran lagi di kursi samping ranjang Dhyas.
Dari kejauhan Cakra melihat sebuah mobil Ford model T terparkir depan rumahnya. Cakra menyipitkan matanya ingin mengenali pria yang baru saja keluar dari mobil itu. Cakra mempercepat langkahnya.
Sri Lestari keluar rumah dengan dandanan yang sudah siap seperti ingin pergi ke pesta,
"Ibu...mau kemana?," tanya Cakra begitu memasuki halaman rumahnya.
Sri Lestari yang baru saja mau menyambut pria pemilik mobil tadi, langsung menoleh pada anaknya,
"Cakra? Kenapa baru pulang?," Sri Lestari mengalihkan pembicaraan.
"Aku bertanya, ibu mau ke mana? Kenapa tidak dijawab. Lalu ini siapa?," Cakra melirik pria yang ternyata orang Belanda itu dengan tatapan tajam.
"Ehm, Cakra, jangan seperti itu. Ini teman ibu, tuan Joris," Sri Lestari memaksakan senyum sambil membesar-besarkan mata pada Cakra.
"Teman? Sudah laki-laki ke berapa yang ibu bawa ke rumah ini? Ingat, ibu, ayah masih membiayai hidup kita. Ibu masih istri sah ayah. Tidak pantas ibu keluyuran dengan pria lain, sekalipun itu hanya teman," suara Cakra mulai meninggi.
"Sssttt!,' Sri Lestari menaruh jari telunjuknya di bibirnya, "Jangan begitu, Cakra. Ibu hanya berteman. Apa tidak boleh? Lagipula tidak adil ayahmu di sana bersama istri pertamanya lalu di sini ibu hanya mengurung diri di kamar," bantah Sri Lestari. Joris yang berdiri tak jauh dari keduanya merasa serba salah tapi sungkan untuk bicara.
"Ibu masih bisa beraktivitas yang lain. Tidak harus berganti-ganti lelaki seperti ini. Hampir setiap hari ibu keluar rumah dengan lelaki yang berbeda-beda dengan alasan pertemuan. Ibu sedang memberi contoh tidak bagi padaku,"
"Jangan menggurui ibu, Cakra. Lagipula ibu tidak pernah ikut campur urusanmu dengan wanita tomboy mu itu. Kenapa kamu harus ikut campur urusan ibu?,"
"Dhyas punya nama ibu. Namanya Dhyas. Bukan wanita tomboy!," suara Cakra mulai tinggi.
Sri Lestari mengerlingkan matanya,
"Siapapun itu namanya, entahlah. Yang pasti ibu tidak pernah mencampuri hubungan kalian. Walau sebenarnya mana mau ibu punya menantu hanya anak seorang carik. Sedangkan kita sudah termasuk golongan atas. Tapi apa? Apa ibu pernah melarangmu? Tidak kan? Kalian kemana-mana selalu berdua. Entah apa yang sudah kalian perbuat. Lalu sekarang berani-beraninya mengatur hubungan ibu,"
"Ibu tidak pantas menghina Dhyas. Yang pasti, aku laki-laki bertanggung jawab. Aku masih menjaga Dhyas. Dia wanita terhormat,"
Lagi-lagi Sri Lestari mengerlingkan matanya disertai gerakan bibir mencibir,
"Terserah kamu. Ibu tidak punya banyak waktu berdebat. Ibu pergi dulu,"
Cakra menghentakan kakinya lalu segera masuk ke dalam rumah. Amarahnya cepat memuncak kalau sudah menyinggung soal Dhyas.
***
Dhyas perlahan membuka matanya. Matanya terasa masih kabur perlahan-lahan menyesuaikan dengan cahaya sekitar. Bibirnya terasa kering. Dada kanannya pun masih nyeri. Dhyas meringis. Raras yang sedang membaca sebuah buku tak jauh dari tempat tidur segera menghampirinya,
"Syukurlah kamu sudah bangun," Raras membantu Dhyas bersandar pada dipan. Dengan cekatan, Raras membantu Dhyas minum.
"Masih sakit?," tanya Raras sembari duduk di tepi ranjang
"Masih. Nyeri sekali," jawab Dhyas perlahan.
"Kamu makan dulu lalu minum ramuan dari Pak De Rusdi,"
"Mana Cakra?,"
"Cakra semalaman menjaga kamu. Satu jam lalu dia pulang ke rumah. Dia masih mau persiapan untuk penyerangan sebentar malam,"
"Penyerangan?,"
"Iya, semalam panglima Wira datang dan minta bantuan dari guru untuk mengirimkan pasukan padepokan untuk membantu penyerangan di pesisir timur,"
"Cakra ikut?"
Raras mengangguk,
"Yudistira juga ikut. Arya juga. Mereka yang akan memimpin pasukan. Kalau kamu tidak terluka, mungkin guru akan menyuruhmu ikut. Secara ilmu kanuraganmu lebih tinggi dari mereka bertiga,"
"Sepertinya kalau sudah agak siang aku sudah semakin membaik, Ras," Dhyas terbatuk.
"Jangan Dhyas. Kamu harus istirahat. Lagian yang aku dengar, Cakra juga tidak setuju kalau kamu ikut dalam penyerangan kali ini,"
**
"Kenapa wajah aden cemberut?," tanya bi Mirna seraya menyendokan lauk makan siang ke piring Cakra.
"Ibu selalu menghina Dhyas, bi. Padahal, bertemu pun jarang. Dhyas tidak pernah mengganggu ibu. Bahkan di saat orang lain di luar sana bergosip tentang ibu, Dhyas memilih tidak menanggapi. Tapi ibu selalu merendahkannya. Bahkan ibu menuduh kami sudah berbuat yang tidak-tidak karena sering bersama," wajah Cakra begitu kecewa.
"Astagfirullah. Yang sabar aden. Kan sudah tahu ibu seperti apa. Aslinya ibu itu sayang banget sama aden,"
"Mana ada. Yang benar itu, ibu sayang sekali sama harta ayah. Ibu masih mengingat ada aku yah karena harta warisan ayah. Coba kalau tidak ada aku, mungkin dia sudah menikah lagi,"
Bi Mirna mendekati Cakra dan mengusap punggungnya,
"Den, jangan bicara seperti itu. Biar bagaimanapun dia itu ibunya aden. Orang yang melahirkan aden dengan penuh perjuangan. Kalau memang seperti itu, anggaplah itu sebagai kekurangannya,"
"Aku kesal, Bi. Kadang ibu tidak bisa mengontrol perkataannya. Selalu dan selalu merendahkan orang. Padahal jadi seperti ini pun karena harta ayah. Coba kalau tidak ada, ibu pasti tetap jadi pejuang rupiah di pasar senin kamis, jualan jamu,"
“Sudah, jangan pikirkan itu lagi. Aden makan dulu. Ini ada tumis genjer kesukaan aden,”
***
“Ayah, tadi dicari Pak De Rusdi,” ujar Ayudiah begitu melihat ayahnya keluar dari ruangan sembahyang.
"Kamu bilang ayah sedang sembahyang," tanya mbah Lodra sambil membetulkan pecinya.
"Iya, aku bilang ayah sedang sembahyang, mendoakan keselamatan pasukan padepokan yang akan turun penyerangan sebentar.
Mba Lodra mengangguk,
"Ayah mengkhawatirkan mereka. Peperangan sebentar sangat berisiko, Titik penyerangan itu termasuk markas besar. Sedangkan kemarin kita baru saja mengalami penyerangan dari Belanda. Ayah mengkhawatirkan kondisi fisik pasukan kita,"
"Berapa besar kemungkinan Belanda kalah ayah?,"
"Ayah tidak tahu. Yang pasti, dari segi jumlah, ditambah dengan pasukan kita pun, jumlah pasukan tentara kita tetap kalah. Belum lagi di sana mereka menyimpan peralatan perang canggih. Jadi berapa besar kemungkinannya, Wallāhu a‘lam,"
Ayudiah menarik napas dalam-dalam. Sejurus kemudian, Arya muncul memberi laporan,
"Guru, semua pasukan sudah siap. Kita tinggal menunggu Cakra lalu akan berangkat ke pos pertemuan,"
Mbah Lodra mengangguk,
"Lakukan yang terbaik. Pasrah pada Allah SWT. Biarkan Dia membela peperangan melawan penjajah kali ini,"
Arya mengangguk tegas. Mata Ayudiah tidak berkedip menatap Arya.