Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Ketiga Puluh Empat
# 34
“Bu ... bu... bukankah kau adalah salah satu dari orang suruhan Juragan Gurinda yang dibayar untuk membunuh orang Blambangan yang bernama Widura itu ?” tanya Permadi.
“Benar,” sahut Dursapati, “Aku masih ingat, bagaimana dan apa yang kau katakan pada Gurinda sebelum kami berangkat melaksanakan pekerjaan kotormu itu. Dan, kurasa ... kau juga masih mengingatnya, bukan ?”
Permadi menatap Dursapati dengan tatapan kosong sementara, orang yang ditatapnya itu balas menatapnya dengan tajam dan dingin.
“Jika kau sudah lupa, kubantu mengingatnya ... inilah kata – katamu yang telah menyakiti hati kami dan takkan pernah terlupakan ....”
‘Ini adalah tugas rahasia. Jika kalian tak mampu melaksanakannya, maka, lebih baik mengundurkan diri atau bunuh diri saja. Sebaliknya, jika berhasil 2000 tael perak, akan kalian terima dan akan tiba saatnya, kerajaan akan memerlukan tenaga kalian. Lebih bijaksana apabila kalian bertindak bersih dan rapi sesuai dengan apa yang kami perintahkan. Karena itulah jalan satu – satunya untuk menyelamatkan keluarga dan orang – orang yang kalian kasihi, kalian sayangi dan kalian cintai. GAGAL BERARTI MATI,’
Perlahan – lahan Permadi bangkit berdiri, sepasang matanya nyalang menatap keenam orang lawannya. Dua orang pendekar saja sudah mampu membuat dirinya terpojok, apalagi bila mereka maju bersamaan. Haruskah ia mati hari ini ? Mendadak ia tertawa ...
“Ha... ha.... ha... ha.... aku tidak mungkin melupakan semua perkataanku dan kini aku paham, hanya demi satu orang saja kalian beramai – ramai mengeroyokku ... dasar pengecut !!”
“Sebaliknya, kau yang pengecut Permadi, tidak berani turun tangan sendiri tapi malah menyuruh orang lain melakukan pekerjaan kotormu itu. Kau takut mereka berbuat macam – macam, itulah sebabnya kau menyandera keluarga dan orang – orang terdekatnya. Bahkan kau tidak akan melepaskannya karena khawatir siasat busukmu terbongkar, bukan ?!” tukas Palawa, “Patut kau ketahui, akulah yang mengutus mereka, Permadi,”
“Siapa kau ?” tanya Permadi, “Kau membawa golok besar dan mampu meleparkan belatimu dari jarak yang cukup jauh .... biar kutebak, kau adalah salah satu murid MAHALI, SI GOLOK SETAN TERBANG dari HINDUSTAN yang terkenal bodoh, tolol dan jumawa, PALAWA. Tentunya, belati berukiran Burung Merpati Putih ini, juga milikmu,” kata Permadi sambil melemparkan belati itu ke arah Palawa.
Palawa adalah murid seorang ahli yang namanya nyaris sejajar dengan Dewi Mantili Si Pedang Setan, serangan Permadi itu penuh dengan keputus asaan, maka, dapat dihindari dengan mudah sekali bahkan menangkapnya. Ia tersenyum, “Sayang sekali, sewaktu menyatroni Istana Madangkara, aku gagal membunuhmu, malah gadis Hindustan temanmu itu yang jadi korban belati Merpati Putih ini. Aku sadar ilmuku masih jauh berada di bawahmu, tapi, kali ini berbeda. Selama di Padepokan Golok Setan Terbang, aku telah mempelajari ilmu andalan Guruku : GOLOK CAKRA ANGKARA sebagai bekalku untuk melepaskan Padepokan Golok Setan Terbang dari cengkeraman tangan – tanganmu, juga membalas perlakuanmu terhadap Guruku yang semena – mena. Itulah sebabnya, aku mengajak teman – teman yang juga tidak menyukaimu. Mereka semua rata – rata memiliki nama besar dan ilmu tinggi di Rimba Persilatan. TEGAL SAMPANGANTU ini, akan menjadi saksi bisu kematianmu, Permadi....” kata Palawa.
Sementara, tidak jauh dari tempat itu, di sebuah gundukan bukit, di balik semak – semak, rombongan Raden Bentar bersembunyi dan menyaksikan semua yang terjadi. Raden Bentar tersenyum kecut, menertawakan diri sendiri yang masih belum mempercayai apa yang dilihat dan didengarnya. Ia hanya menggeleng – gelengkan kepala.
“Gusti Raden Bentar, apakah benar yang dikatakan oleh orang – orang itu bahwa Gusti Permadi adalah orang Kuntala ?” tanya pimpinan prajurit yang bernama Parada itu.
Raden Bentar menghela nafas panjang, “Saya sendiri tidak tahu, Paman Parada ... tetapi, saya akan menyelidikinya. Untuk sementara, tolong rahasiakan hal ini, jangan sampai orang lain mengetahuinya sebelum apa yang mereka katakan itu terbukti,”
“Daulat, Tuanku,”
“Tuanku, Raden Bentar ... tampaknya, orang – orang itu berhasil mendesak Tuan Permadi. Mereka semua adalah orang – orang berilmu tinggi. Apakah Tuanku akan turun tangan membantunya ?” tanya Parada.
“Saya kira, Permadi masih belum mengeluarkan semua ilmu kanuragan dan kadigjayaannya. Dia hanya mengulur waktu, mengorek keterangan tentang siapa mereka dan apa alasan mereka menyerang,” jawab Raden Bentar, “Tapi, harus saya akui, Permadi bukanlah tandingan mereka,”
“Dari keenam orang itu, empat diantaranya sudah menunjukkan kepandaiannya. Pertahanan dan serangan mereka sangat hebat. Tidak bisa ditebak arak serangannya,”
“Kelihatannya Paman Parada mengetahui jurus – jurus yang mereka lancarkan,” puji Raden Bentar.
“Dulu, sewaktu Panglima Ringkin masih hidup, beliau sering mengajak saya berkelana di rimba persilatan bersama Senopati Indera Kumala. Saya belajar banyak dari mereka, saat itu usia saya baru dua belas tahun. Sedikit banyak saya paham dengan berbagai macam jurus orang – orang yang menjadi lawan Panglima Ringkin dan Senopati Indera Kumala. Akan tetapi, jurus – jurus mereka ini .... saya sama sekali tidak pernah mengetahuinya,”
“Paman Parada sendiri tidak paham, apalagi saya yang tidak tahu menahu tentang ilmu kanuragan dan kadigjayaan,” Raden Bentar merendah.
“Tuanku Raden Bentar bisa menipu orang lain, tapi, saya paham bahwa Tuanku Raden Bentar selain memiliki pengetahuan sastra yang luas, juga memiliki ilmu kanuragan dan kadigjayaan yang tidak kalah tingginya dengan mendiang Ayahanda Raden Bentar, Gusti Prabu Brama Kumbara,” celetuk Pamilih.
“HHIIAATTHH !!!”
Teriakan itu membahana. Mengejutkan semua orang termasuk Raden Bentar dan Parada. Saat mereka mengalihkan perhatian ke asal suara itu, mulut mereka ternganga lebar. Dua cahaya saling beradu, cahaya putih dan cahaya hitam, bunga – bunga api memercik kesana – kemari. Setelah beradu tiga hingga lima kali, mereka saling menjauh untuk kemudian bertemu kembali di udara.
Permadi telah mencabut Pedang Sinar Hitamnya untuk menahan gempuran mata golok Palawa. Sekilas mereka tampak seimbang, akan tetapi, sebenarnya, nafas Permadi memburu, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, wjahnya tampak pucat bagai kertas. Ia mencoba untuk bersikap tenang sambil mengatur pernafasan. Palawa sadar, sekalipun ilmunya berada beberapa tingkat diatas Permadi, ia tidak boleh bertindak gegabah, terlebih Permadi ini licik dan licin bak belut. Ditatapnya Permadi dalam – dalam, sementara, golok hitam dipegang kuat – kuat hingga urat dan otot – ototnya bertonjolan keluar sementara, mulutnya komat – kamit membaca mantra.
‘Serangan laki – laki bercodet itu benar – benar berbahaya sekali, tak dapat kubayangkan, bagaimana jadinya jika aku melayani dengan tangan kosong. Pedang sinar hitam-ku ini tampaknya bukan tandingan golok itu,’ ujar Permadi, ia bersiap menghadapi serangan selanjutnya.
“Hanya itu saja kemampuan ilmu golokmu, Palawa ?” tanya Permadi tiba – tiba, “Jika memang demikian, sayang sekali .... bukan aku yang terbunuh, melainkan kau !!”
Perkataan Permadi ini mengejutkan semua pihak, sebuah pernyataan yang diwarnai kesombongan tingkat dewa. Beberapa detik lalu, ia sudah nyaris kehabisan nafas dan putus asa, akan tetapi, kini seolah kemenangan sudah diraih sebelum bertarung.
Palawa tersenyum tipis, mendadak ia memegang goloknya secara terbalik, ujung mata golok menghadap ke tanah, sementara pangkalnya menghadap ke atas. Tubuhnya condong ke depan sementara kaki kirinya dimajukan. Mendadak, tubuh Palawa menghilang dan tahu – tahu sudah ada di hadapan Permadi disertai dengan kelebat cahaya putih keperakan menyambar bahu kanan Permadi. Menyusul kemudian pangkal golok Palawa menggedor dada Permadi.
..._____ bersambung _____...