Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: HARAPAN NAGA BAYANGAN
“Kau… harapan baru klan kita!”
Suara Mo Han bergema di ruangan rahasia, penuh getar wibawa. Matanya berbinar tajam, cahaya yang belum pernah Mo Long lihat sebelumnya. Ada campuran kebanggaan, kejutan, dan perhitungan dingin dalam tatapan itu.
Mo Long berdiri tegak, tubuhnya terbalut hanfu hitam dengan bordir naga emas. Tatapannya dingin namun penuh percaya diri. Aura baru terpancar dari dirinya—bukan lagi bocah lemah yang dipandang sebelah mata, melainkan seorang yang baru saja bangkit dari jurang kehancuran.
Mo Han mengamati dengan saksama, napasnya sedikit bergetar. "Tiga Dantian… ini sesuatu yang melampaui logika. Bahkan dalam catatan leluhur kita, tak pernah ada yang memiliki tiga inti qi sekaligus. Kau… melampaui batas darah kita sendiri." Suaranya meninggi, bercampur tak percaya sekaligus bahagia.
BRUK!
Mo Han menghentakkan kakinya keras di lantai batu. Seketika meja marmer hitam di tengah ruangan berguncang hebat, lalu tenggelam masuk ke dalam lantai dengan mulus. Dua rak besar berisi kitab-kitab kuno ikut terbenam, menyisakan ruangan kosong berbentuk lingkaran sempurna.
Kini, ruangan rahasia itu menjelma arena pelatihan yang megah, dinding-dindingnya berlapis ukiran naga yang tampak hidup.
“Mo Long,” suara Mo Han dalam dan bergetar, “tunjukkan padaku kekuatanmu. Jangan tahan apa pun. Aku ingin melihat seberapa jauh kemampuanmu sekarang setelah Dantianmu bangkit.”
Mo Long mengangguk singkat. Dalam hatinya ia sadar, ini saatnya menguji apa yang baru saja ia peroleh. Dia hanya membaca sekilas teknik dasar Klan Naga Bayangan, namun entah mengapa, tubuhnya seolah sudah memahami seluruh pernapasan dan alur gerakannya secara instingtif.
'Dantian ketiga... mungkinkah inilah penyebabnya? Seolah tubuhku sendiri diajari langsung rahasia terdalam dari tiap teknik, seperti memahami akar pohon hanya dengan melihat daunnya,' pikirnya.
Ia menunduk sedikit, menarik napas dalam. Hei Qi hitam pekat berputar cepat di sekeliling tubuhnya.
“—Pukulan Naga Bayangan!”
Tangannya terkepal. Bayangan hitam pekat muncul, melingkar, membentuk sosok naga raksasa yang meliuk di sepanjang lengannya. Dengan raungan qi yang menggema, ia menghantamkan tinjunya ke dinding berukir naga di depannya.
BOOOM!
Seluruh ruangan bergetar hebat. Debu jatuh dari langit-langit. Tembok batu yang selama ini tak pernah tergores, kini retak. Retakannya memanjang seperti urat pecah.
Mo Han ternganga sesaat, lalu tersenyum lebar. "Luar biasa! Retakan itu… mustahil dilakukan seseorang yang baru saja membangkitkan dantian. Kau… benar-benar berbeda. Kekuatanmu berada di Ranah Guru!"
Mo Long tak menghiraukan, ia melompat tinggi. Tubuhnya seringan bayangan naga yang menukik.
“Tendangan Naga Bayangan Menyelam!”
Wuussh!
Bayangan naga hitam pekat terbentuk di udara, menukik membelah udara bersama tendangan kuat Mo Long.
BOOOM!
Bayangan naga itu menghantam lantai hingga ruangan bergetar seperti dilanda gempa. Noda hitam pekat membekas di permukaan lantai batu, menyebar seperti luka bakar yang dalam. Debu hitam meluap ke seluruh ruangan, membuat Mo Han terpaksa mundur selangkah, jubahnya berkibar diterpa badai qi.
Qi Bayangan Mo Long merambat ke sekeliling ruangan, menjalar sampai ke patung naga yang mengapit bola hitam—Intipati Hei Long.
Wuuummm…
Patung naga itu bergetar. Dua taring hitamnya berkilat, bola hitam di dalam mulutnya memancarkan aura pekat yang membuat dada sesak. Qi hitam pekat yang menyelimutinya bergejolak liar.
Tiba-tiba kepala Mo Long berdenyut hebat. Pandangannya berkunang, lalu seolah dunia berbalik.
Dalam sekejap, ia melihat bayangan naga hitam raksasa, lebih besar dari bukit tempat ia berlatih, berdiri menindih ruang kosong. Mata naga itu berkilau merah, menatap langsung ke dalam jiwanya. Intimidasi begitu hebat hingga napasnya nyaris terhenti.
Di hadapan naga itu… berdiri sosok pria misterius. Senyumnya samar, wajahnya samar, namun auranya luar biasa kuat. Sosok itu melangkah maju, menantang naga hitam dengan tenang.
Pria itu melesat menebaskan senjata melengkung berbilah sempit serupa cakar harimau.
'Siapa… dia? Kenapa dia menantang naga klan ini?' batin Mo Long, tubuhnya kaku.
“Mo Long!”
Teriakan Mo Han menggema, memutuskan ilusi itu. Mo Long tersentak, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Ia menoleh, melihat Mo Han tersenyum puas, matanya berbinar penuh arti.
“Tampaknya… sang naga telah memilih,” gumam Mo Han lirih.
Mo Long masih tertegun, jantungnya berdegup keras. 'Apa maksudnya? Apa benar Intipati Hei Long barusan bereaksi padaku? Atau itu hanya ilusi dari racun yang tersisa?'
Mo Han menarik napas panjang. “Sayang sekali, aku tidak bisa melihat lebih jauh kemampuanmu. Waktumu sudah habis. Tiga hari telah berlalu sejak kau menghilang di bukit.”
“Apa?!” Mo Long membelalak. “Tiga hari?!” Ia mengira hanya semalam ia bersemedi.
Mo Han mengangguk. “Ujian kelayakan pendekar tinggal tiga hari lagi. Dan butuh dua hari perjalanan tanpa henti untuk sampai ke kota Long Ya, itu pun jika kau gunakan Qinggong tanpa henti dan hanya istirahat singkat di malam hari.”
Mo Long menarik napas dalam, menenangkan dirinya. 'Tiga hari. Itu berarti hampir tak ada waktu untuk bersantai.'
“Aku akan menyiapkan satu pengawal untuk menemanimu,” lanjut Mo Han. “Dia akan memastikan kau tiba dengan selamat. Jika kau beristirahat lama, kau akan kehilangan kesempatan tahun ini.”
Mo Long menunduk sedikit, lalu tersenyum tipis. “Tidak ada waktu untuk menunggu tahun depan. Tahun ini… aku akan lolos, Ayah.”
Mata Mo Han berkilat. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ada secercah keyakinan bahwa Klan Naga Bayangan masih memiliki masa depan.
Malam turun dengan tenang. Bulan purnama menggantung tinggi, cahayanya menimpa gerbang besar Klan Naga Bayangan. Di hadapannya, Mo Long berdiri tegak. Jubah hitam panjang menyelimuti tubuhnya, berkibar ringan diterpa angin malam. Sebilah pedang dengan gagang hitam berukir naga perak tergantung di pinggangnya, sementara di punggungnya terikat sebuah kantong kain coklat sebesar kepala kuda dewasa.
Di sisi gerbang, Min Mao berdiri dengan mata berbinar. Ada kegembiraan di wajahnya, namun juga haru yang ditahan rapat-rapat.
“Jangan menghilang tanpa berpamitan lagi,” ujarnya, suaranya bergetar. “Tiga hari aku kebingungan mencarimu, Tuan. Aku bahkan berpikir kau benar-benar pergi.”
Mo Long menoleh, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Aku minta maaf,” jawabnya singkat, suaranya tenang.
Mata Min Mao menyapu tubuhnya dari kepala hingga kaki. Masih sulit baginya mempercayai perubahan ini. “Bagaimana mungkin… hanya dalam tiga hari kau berubah sejauh ini? Bahkan berdiri di sampingmu, aku harus mendongak untuk melihat wajahmu.”
Mo Long terkekeh pelan, lalu menunduk sedikit menatapnya. “Itu semua berkatmu, Mao… dan berkat Guru Zhi Xin. Tanpa kesetiaan kalian, aku takkan sampai di titik ini.”
Seketika mata Min Mao berkaca-kaca. Air mata jatuh tanpa ia cegah. “Mulai sekarang… tidak akan ada yang berani meremehkan Mo Long lagi,” ucapnya dengan suara bergetar namun penuh tekad. “Kau harus lolos tes kelayakan pendekar. Kau harus pergi ke ibu kota… dan masuk ke Akademi Kultus Iblis, Tuan!”
Langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pengawal berambut panjang dikuncir kuda muncul dari balik bayangan, wajahnya tegas dan waspada. “Semua sudah siap, Tuan. Kita harus bergerak cepat.”
Mo Long mengangguk, lalu kembali menatap Min Mao. “Jangan khawatir. Aku akan lulus… dan kembali dengan selamat.”
Min Mao menggigit bibirnya, mencoba tersenyum. “Aku akan menunggu, Tuan. Jaga makanmu… dan jangan terlalu banyak meminum arak murahan di perjalanan!”
Mo Long mengangguk sekali lagi, lalu berbalik. Ia memberi isyarat singkat pada pengawalnya. Seketika, tubuh keduanya melesat cepat, meninggalkan halaman gerbang. Bayangan mereka memanjang, lalu larut dalam kegelapan malam.
Malam semakin larut. Bulan pucat menggantung tinggi, cahaya tipisnya menembus sela pepohonan hutan. Dua bayangan melesat cepat, hanya meninggalkan jejak kabur di tanah berumput. Mo Long dan pengawalnya, Hu Wei, tubuh mereka seperti berlari di atas angin, menembus kegelapan.
Qinggong mereka membawa langkah melintasi hutan rapat, pemukiman kecil yang sunyi, hingga melompati aliran sungai yang berkilau oleh cahaya rembulan. Sejak berangkat dari gerbang klan, mereka tak pernah berhenti.
Hu Wei, sang pengawal, berada beberapa langkah di belakang. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Dalam hatinya ia mengumpat, 'Apa benar ini Mo Long, pecundang keluarga Mo yang selalu jadi bahan tertawaan? Gerakannya bukan hanya cepat, tapi presisi… bahkan seperti menapak udara. Seolah-olah ia sudah berlatih qinggong belasan tahun. Mustahil seseorang yang baru saja memiliki qi bisa bergerak seperti ini.'
Ia mencoba menambah kecepatan, tapi jarak tidak berkurang. Napasnya semakin berat. 'Sial, bahkan untuk menyusulnya saja aku kesulitan,' gumamnya dalam hati.
Mo Long menoleh, menyadari pengawalnya berusaha mati-matian mengejarnya. Ia menurunkan kecepatannya, menapak ringan di atas dahan, lalu berhenti sejenak. "Siapa namamu?" tanyanya, suaranya tenang namun mengandung wibawa seorang tuan muda sejati.
Hu Wei segera merapat, menunduk sedikit. “Saya Hu Wei, Tuan.”
Mo Long mengangguk. “Ada apa? Kenapa kau ingin berhenti?”
Hu Wei menoleh ke depan, ke jalur hutan yang lebih gelap. “Di depan memang rute tercepat. Tapi saat malam, sering ada bandit yang mengintai. Daripada membuang energi dan mengambil risiko, lebih baik kita berhenti dan beristirahat sampai matahari terbit.”
Mo Long menatapnya beberapa detik, lalu tiba-tiba bertanya, “Apa hubunganmu dengan Hu Dong, mantan pemimpin pengawal timur?”
Hu Wei terkejut, alisnya terangkat. Ia tak menyangka nama ayahnya akan disebut. “Hu Dong adalah ayah saya, Tuan. Dia sudah pensiun tahun lalu.”
Senyum samar muncul di bibir Mo Long. Ia menjejak dahan besar pohon yang kokoh, tubuhnya tegak dengan cahaya bulan menyinari jubah hitamnya. “Kalau begitu, kita beristirahat di sini.”
Hu Wei masih kebingungan kenapa ia menyinggung ayahnya, namun ia tidak berani bertanya lebih jauh. Ia menunduk hormat. “Kalau begitu, saya yang berjaga. Silakan beristirahat, Tuan.”
Namun Mo Long menggeleng perlahan. “Tidak. Kita berjaga bergantian. Kita berdua sedang menjalankan tugas klan.”
Hu Wei terperangah. Ia tidak menyangka akan mendengar kalimat itu keluar dari mulut putra klan yang selama ini terkenal lemah dan sering dihina. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda—bahwa di hadapannya berdiri bukan lagi Mo Long yang dulu, melainkan seseorang yang patut ia hormati.
Semetara itu, di ruang rahasia yang temaram cahaya obor, Mo Han berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggung. Pandangannya kosong menembus patung naga yang melilit ruangan.
Bibirnya bergumam lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Anak itu… baru saja membangkitkan dantian yang mati. Namun sekarang, ia sudah berada di Ranah Guru.”
Senyum samar mengembang di wajahnya, namun cepat memudar. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Alisnya berkerut, matanya menyipit tajam.
“Tidak masuk akal. Apa benar dia Mo Long, anakku yang selama ini dicap aib klan? Atau… seorang iblis yang merasuk melalui teknik terlarang, memanfaatkan tubuh kosong itu?” gumamnya.
Bayangan senyum menyeringai Mo Long terlintas dalam ingatannya. Mo Han mengepalkan tangan. 'Siapapun dia, entah putraku atau bukan, aku harus pastikan dia berpihak pada klan ini. Kalau tidak… dia harus dimusnahkan sebelum menjadi bencana.'
Ia menghela napas panjang, lalu pikirannya menelusuri kembali sejarah. “Tiga dantian… siapa yang pernah memilikinya?” Hanya satu nama yang terlintas—Chun Ma, pendiri legendaris Kultus Iblis, pria yang mengguncang seluruh Jianghu. “Bahkan Guang Lian, si Jenius Jianghu yang kuhormati, hanya memiliki dua dantian.”
Senyum tipis kembali muncul di wajah Mo Han. “Kalau Mo Long bisa melampaui Guang Lian… kalau dia bisa benar-benar menapaki jalan Chun Ma… dia akan menjadi monster baru di Jianghu. Dan saat itu tiba, Klan Naga Bayangan akan diakui lagi.”
BRAK!
Mo Han menghentakkan kakinya ke lantai batu. Getaran merambat, mekanisme rahasia aktif. Dua rak buku raksasa dan sebuah meja marmer perlahan terangkat dari lantai, kembali ke posisinya semula.
Tiba-tiba, sebuah buku jatuh dari salah satu rak, menghantam lantai dengan suara berat. Mo Han menoleh. Keningnya berkerut, lalu ia berjalan mendekat, membungkuk untuk memungutnya.
Begitu melihat sampulnya, tubuhnya seketika membeku. Matanya melebar, napasnya tercekat, dan mulutnya sedikit terbuka tak percaya.
Di kulit hitam tebal yang penuh debu, tertera ukiran emas yang samar namun jelas terbaca:
“Mo Bai Hu — Pendiri Klan Naga Bayangan, Pemilik Tiga Dantian.”
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁