Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Sahabat terbaik.
Setelah meninggalkan rumah, Areum langsung menuju kampus universitasnya, Sogang University (서강대학교), yang terletak di 35 Baekbeom-ro, Daeheung-dong, Mapo-gu, Seoul. Ia menaiki bus kota lalu berpindah ke subway line agar lebih cepat sampai. Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya ia tiba di kampus—gerbang utama yang megah menyambutnya dengan tulisan hangul 서강대학교 terpahat jelas di atas batu granit abu-abu.
Lorong-lorong jalan setapak di dalam area kampus dipenuhi pepohonan cherry blossom yang mulai bermekaran seiring datangnya musim semi. Kelopak-kelopak merah muda beterbangan tertiup angin pagi, beberapa menempel di ujung rambut Areum, membuat langkahnya terasa lebih ringan. Udara pagi yang sejuk menyentuh kulitnya dengan lembut, sementara bangunan kampus bergaya modern—perpaduan antara kaca dan beton—berdiri elegan di antara hamparan pepohonan hijau.
Fakultas tempatnya belajar, College of Media, Arts and Science, dikenal memiliki jurusan Theater & Film di bawah School of Communication—tempat para mahasiswa seni dan film menyalurkan ide, membangun karya, dan mempelajari dunia sinema dari berbagai sudut pandang. Areum menatap sekeliling dengan tatapan kagum; di sinilah langkah barunya dimulai.
Pemandangan pagi di Seoul seperti biasa: jalanan padat dengan kendaraan, orang-orang tergesa-gesa. Ada yang berjalan sambil memegang kopi to-go, ada yang berbincang dengan earphone terpasang, dan mahasiswa dengan ransel besar bergerak ke kelasnya masing-masing. Semua sibuk dalam rutinitas pagi mereka.
Mahasiswa dan mahasiswi datang dari gerbang kampus — beberapa memakai sepeda, naik mobil pribadi, beberapa naik angkutan umum. Areum berdiri dekat trotoar kampus, memperhatikan wajah-wajah yang lewat. Ia menahan napas sebentar ketika melihat seseorang yang ia tunggu. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Tanpa ragu, ia melambaikan tangan ke arah dua sahabatnya.
“Aku di sini,” panggil Areum dengan suara lembut namun jelas. Tak lama, dua sosok muncul mendekat dari antara kerumunan mahasiswa. Senyum mereka pun sama lebarnya.
“Wah… Wahhh, sepertinya kamu sudah menunggu lama,” kata Revan, seorang pria seusia Areum, asal Indonesia. Dia adalah satu-satunya teman lelaki dekat Areum di kampus ini. Wajahnya tampan dengan nuansa ala Indonesia, namun kulitnya cukup cerah—beberapa orang pernah mengira dia orang Korea asli karena kulitnya yang tidak jauh dari putih.
“Kami hampir tertinggal bus,” kata Hassa, wanita manis bermarga Jung, lebih muda setahun dari Areum. Dia punya wajah lembut khas wanita Korea, dengan mata yang bersinar dan senyum manis. Areum, Revan, dan Hassa telah menjadi sahabat sejak awal kuliah, dan hubungan mereka sangat harmonis.
“Kalian datang sedikit terlambat hari ini; padahal semalam kita janji datang pagi,” canda Areum sambil menepuk bahu Hassa.
Revan tertawa pelan, hendak menjawab sesuatu. Tapi Hassa buru-buru menutup mulutnya sebelum ia berkata lebih jauh. Pipinya memerah, matanya sedikit tertunduk. Areum mengernyitkan dahi, rasa penasaran tumbuh di benaknya.
“Ada apa? Kalian menyembunyikan apa dariku?” tanya Areum dengan nada penasaran, membuat Revan kembali terkekeh meski mulutnya masih ditutupi tangan Hassa.
“Tidak ada! Ayo cepat ke kelas,” ujar Hassa cepat-cepat, masih menahan tangan di wajah Revan.
“Tidak! Ceritakan dulu. Kalian malah membuat ku penasaran,” ujar Areum memaksa, setengah memohon.
“Tapi janji jangan tertawa seperti dia,” ucap Hassa, melirik Revan dengan tajam.
“Arraseo, arraseo, aku janji,” kata Areum sambil mengangkat tangan, mencoba menahan senyum. Hassa akhirnya menghela napas panjang dan melepaskan tangannya dari mulut Revan. Begitu bebas, pria itu langsung terengah-engah mencari udara sebanyak mungkin.
“Aku hampir mati tadi,” keluh Revan dramatis sambil menepuk dadanya, membuat kedua sahabatnya menahan tawa.
“Sekarang, cerita. Ada apa sebenarnya?” tanya Areum, kembali ke topik utama. Revan mengembuskan napas pelan, berusaha menetralkan dirinya agar tidak kembali tertawa.
“Jadi alasan kami berdua terlambat itu karena... Hassa ‘bocor’ di tengah jalan.” ujar nya hampir kembali tertawa.
“Bocor?” Areum mengerutkan kening, menatap bingung ke arah sahabat perempuannya itu.
“Itu lho... aku sedang datang bulan,” ujar Hassa pelan, wajahnya memerah. “Dan itu terjadi di dalam bus. Padahal pas di rumah belum ada tanda-tanda, tapi begitu di jalan... tiba-tiba aja keluar. Aku sampai malu sekali, eotteokhae (harus bagaimana coba).” lanjut nya yang membuat Areum spontan menutup mulutnya, menahan tawa yang akhirnya pecah juga.
“Ya ampun, jadi itu alasannya.” ujar nya yang membuat Hassa cemberut karena Areum malah ikut tertawa.
“Iya, makanya kami turun lebih awal untuk mengurusi itu. Dan, tambah parah lagi... dia terus mengeluh sakit perut,” tambah Revan, masih berusaha menahan tawa.
“Ya, namanya juga wanita. Itu bukan keinginanku,” ujar Hassa, menunduk sambil memainkan ujung rambutnya. Areum mengangguk lembut, memahami sepenuhnya sebagai sesama perempuan.
"Namanya juga perempuan Revan-ah," ujar nya yang membuat senyum Hassa terbit.
“Nah, dengar itu. Untung masih ada yang mengerti aku,” ujar Hassa lega.
“Aku kan laki-laki, mana aku tahu hal seperti ini,” sahut Revan polos, membuat dua sahabatnya serempak tertawa.
“Intinya, terima kasih sudah membantu aku. Kamu sahabat terbaikku, Revan,” ucap Hassa tulus. Revan tersenyum kecil sambil mengangguk.
“Kita bertiga memang ditakdirkan bersama. Kalian adalah sahabat terbaikku,” kata Areum lembut, matanya berbinar penuh rasa sayang.
“Itu benar, aku juga bahagia mengenal kalian—dua wanita absurd yang kadang harus kujaga, kadang malah kalian yang menjaga ku.” sahut Revan sambil tersenyum lebar. Tawa mereka pecah bersamaan, ringan dan tulus.
“Sudahlah, sudah. Ayo ke kelas, nanti terlambat,” ucap Areum, melangkah lebih dulu. Kedua sahabatnya segera menyusul, berjalan beriringan menyusuri jalur kampus yang dipenuhi kelopak bunga sakura yang berguguran lembut tertiup angin musim semi.
...
Sementara itu, di sebuah kediaman mewah milik keluarga Kim, terlihat Jihoon, sang kakak tertua, tengah sibuk di dapur dengan masakannya yang mengepulkan aroma harum dari wajan. Di luar sana, semua orang mengenalnya sebagai CEO yang kejam, dingin, dan tak pernah mentoleransi kesalahan sekecil apa pun. Namun, di balik citra itu, Jihoon adalah seorang kakak yang lembut hatinya—seseorang yang akan melakukan apa pun demi kebahagiaan kedua adiknya.
Seperti hari-hari sebelumnya, pagi buta telah menjadi rutinitasnya untuk menyiapkan sarapan. Kesibukan di kantor tak pernah membuatnya lupa untuk merawat keluarganya sendiri.
“Yoon, di mana Minjoon?” tanya Jihoon ketika melihat adik pertamanya menuruni tangga spiral yang megah, dengan setelan rapi khas dokter muda.
“Aku tidak tahu, Hyung. Mungkin dia masih di kamarnya,” jawab Yoonjae, sambil menarik kursi dan duduk di tempat yang biasa ia tempati.
“Ada urusan mendesak di rumah sakit?” tanya Jihoon lagi, menatap adiknya dengan pandangan penasaran.
“Tidak, hanya ada satu pasien penting yang harus aku temui hari ini,” sahut Yoonjae sembari menyuapkan sesuap nasi dan lauk hangat ke mulutnya.
“Oh… pasien VIP?” Jihoon mengangguk pelan, menunjukkan bahwa ia mengerti maksud adiknya.
“Hmm, anak pejabat,” lanjut Yoonjae santai, suaranya sedikit teredam oleh makanan yang sedang dikunyah. Jihoon menghela napas pelan, pandangannya kembali terarah ke tangga yang berkelok indah di ruang utama rumah mereka.
“Di mana dia? Apa tidak pergi bekerja? Kenapa belum turun juga? Tidak biasanya…” ujar nya bingung.
“Entahlah. Tadi malam dia pulang sangat larut, mungkin sedang banyak pekerjaan,” jawab Yoonjae tanpa mengalihkan pandangan dari piringnya.
“Mungkin saja. Dia terlalu serius dengan pekerjaannya itu,” gumam Jihoon, suaranya terdengar samar di antara denting sendok dan sumpit. Yoonjae tersenyum kecil.
“Kita semua seperti itu, Hyung. Kita sama-sama sibuk. Tapi menurutku, yang paling serius bekerja justru Hyung sendiri. Kami masih bisa sedikit santai, sedangkan Hyung… terkadang bahkan tidak pulang kalau sudah urusan pekerjaan.” ujar nya yang membuat Jihoon menatap meja sebentar, lalu menjawab pelan.
“Aku hanya merasa punya tanggung jawab atas perusahaan Appa. Kalian tidak mau ikut mengelolanya. Kalau bukan aku yang bekerja keras, mungkin perusahaan itu tak akan bertahan lama.” jawab nya yang membuat keheningan sempat melingkupi ruang makan itu. Aroma kimchi jjigae yang masih mengepul memenuhi udara, sementara sinar matahari pagi menerobos lembut dari jendela besar, menyoroti wajah lelah Jihoon yang tetap berusaha tampak tegar.
Yoonjae yang tahu kebiasaan kakaknya—tidak akan makan sebelum formasi keluarga lengkap—akhirnya meletakkan sumpitnya dan berdiri.
“Biarkan aku yang memanggil Minjoon, Hyung. Makanlah dulu, ini sudah siang,” ujarnya lembut hal itu membuat Jihoon menatap adiknya dan mengangguk pelan.
“Arasseo…” katanya singkat.
Yoonjae berjalan meninggalkan meja makan, langkahnya mantap namun tenang. Ia mulai menaiki tangga yang melingkar menuju lantai atas—ke arah kamar Minjoon berada. Setelah kepergian kedua orang tua mereka bertahun-tahun lalu, rumah besar itu hanya dihuni oleh mereka bertiga.
Kini, sekalipun megah dan penuh kehangatan masa lalu, rumah itu sering kali terasa sepi. Ketiganya tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Minjoon kerap menginap di apartemennya sendiri, tergantung seberapa jauh lokasi tempat kerjanya. Yoonjae lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit, sementara Jihoon hampir sepenuhnya hidup di kantor. Akibatnya, rumah itu sering kali kosong, hanya sesekali terisi saat ketiganya memiliki waktu luang dan memilih berkumpul. Jika tidak, hanya ahjumma yang datang setiap pagi untuk membersihkan dan merawat rumah.
“Joon… ini Hyung. Aku masuk, ya,” ujar Yoonjae lembut ketika sampai di depan pintu kamar adiknya. Tak ada sahutan dari dalam, tapi ia sudah terbiasa. Biasanya memang begitu.
Minjoon dikenal banyak orang sebagai sosok yang ceria, penuh energi positif—healing person bagi siapa pun yang mengenalnya. Namun di antara keluarganya, dia justru pendiam dan tenang. Sebaliknya, Jihoon dan Yoonjae, yang terlihat dingin di luar, berubah menjadi sosok penuh kehangatan di dalam rumah.
Yoonjae memutar kenop pintu dan melangkah masuk. Kamar itu luas, bergaya modern minimalis dengan sentuhan seni yang menenangkan. Tirai tebal masih tertutup rapat, membuat ruangan hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung berdesain estetik di sudut ruangan. Nuansanya lembut namun elegan—cerminan sempurna dari kepribadian Minjoon.
Tak heran, Minjoon memang seorang pecinta seni garis keras. Bahkan di rumah ini terdapat satu ruangan khusus yang dijadikan perpustakaan—hadiah dari ayah mereka semasa hidup. Sang ayah tahu betul, di balik wajah lembut Minjoon, tersimpan jiwa yang peka terhadap keindahan dan ketenangan.
Yoonjae melangkah perlahan menuju tempat tidur besar di tengah ruangan. Di sana, sesosok tubuh tampak terbaring, terselimuti hingga bahu. Minjoon masih belum bergeming, seolah tak terganggu oleh suara kakaknya tadi.
Dengan sedikit helaan napas panjang—antara sabar dan geli dengan kebiasaan adiknya yang sering manja meski sudah dewasa—Yoonjae berjalan ke arah jendela besar dan menarik tirainya. Seketika cahaya matahari pagi menerobos masuk, memantul di dinding putih dan lantai kayu hangat.
“Ya! Ireona, Minjoon-ah!” seru Yoonjae setengah bercanda, membiarkan udara segar Seoul yang dingin menyelinap ke kamar.
Minjoon menggeliat pelan di bawah selimut, bergumam tak jelas. Namun alih-alih bangun, dia justru menarik selimutnya lebih tinggi hingga menutupi seluruh tubuhnya. Yoonjae menggeleng sambil tersenyum kecil.
“Aigoo… selalu saja seperti ini,” gumam Yoonjae pelan, separuh kesal, separuh pasrah. Namun, Minjoon yang masih terlelap tampak tak mendengarnya sama sekali. Wajahnya tertutup sebagian oleh selimut, hanya rambutnya yang berantakan terlihat di atas bantal. Napasnya teratur, menunjukkan bahwa dia belum berniat bangun.
“Jangan tidur lagi! Cepat bangun, atau aku siram pakai air!” seru Yoonjae, kali ini lebih keras, sembari menarik paksa selimut milik adiknya itu.
“Akhhh… Hyung, mengganggu saja,” gumam Minjoon dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
“Cepat bangun!” ulang Yoonjae tegas.
“Lima menit lagi, jebal…” Minjoon mencoba bernegosiasi sambil menarik kembali selimut yang masih berada dalam genggaman kakaknya.
“Bangun, Joon!” suara Yoonjae terdengar semakin tak sabar, tapi Minjoon tetap tak bergeming. Ia sudah kebal terhadap omelan kakaknya itu. Yoonjae akhirnya mendesah panjang.
“Menyusahkan sekali anak ini!” ujarnya kesal. Dengan wajah datar namun nada yang jelas jengkel, dia menarik lengan Minjoon kuat-kuat hingga pria itu terdorong bangun setengah paksa.
“Yah, yah! Hyung! Aku bisa jalan sendiri!” protes Minjoon sambil mencoba menjaga keseimbangan, tapi Yoonjae tidak menggubris. Ia menyeret adiknya itu keluar kamar tanpa memberi kesempatan untuk cuci muka atau ganti baju.
Tubuh Minjoon yang belum sepenuhnya sadar tampak terhuyung-huyung, berusaha mengikuti langkah kakaknya yang tergesa. Rambutnya acak-acakan, kaus tidurnya setengah kusut. Begitu mereka tiba di lantai bawah, aroma kimchi jjigae dan gyeran-mari yang dimasak Jihoon langsung tercium, memenuhi udara pagi yang hangat.
Jihoon, yang sedang makan, hanya bisa menggeleng pelan melihat dua adiknya itu.
“Aish… kalian berdua tidak pernah berubah,” gumamnya.
“Hyung! Itu namanya penganiayaan!” keluh Minjoon, duduk di kursi favoritnya dengan wajah manyun.
“Banyak bicara. Cepat makan. Kau aneh sekali,” ujar Yoonjae datar tanpa ekspresi, mengambil tempat duduk di seberang.
“Lagipula hari ini aku libur, Hyung. Terlalu banyak aturan. Kolot sekali pikiran mu,” balas Minjoon sambil mengambil sumpitnya, mulai menyentuh sarapan buatan Jihoon.
“Apa katamu?!” nada suara Yoonjae meninggi, membuat Jihoon spontan mendecak pelan sambil menahan tawa kecil. Dia tahu, pagi keluarga Kim tidak akan lengkap tanpa adu mulut kecil antara dua adiknya itu.
“Sudahlah... cepat makan. Kita jarang berkumpul seperti ini. Jadi, kalau ada waktu bersama, usahakan untuk menikmatinya. Paham?” ujar Jihoon dengan nada lembut namun tegas, tatapannya beralih pada Minjoon.
Nada suaranya bukan perintah, tapi penuh makna — suara seorang kakak yang telah lama memikul tanggung jawab keluarga. Minjoon, yang semula masih terlihat enggan, langsung menunduk kecil dan mengangguk patuh.
“Ne, arasseo, Hyung...” jawabnya pelan, suaranya terdengar seperti anak kecil yang sedang dimarahi.
Bersama Yoonjae, Minjoon masih bisa bersenda gurau dan saling mengolok dengan bebas. Namun di hadapan Jihoon, ia selalu menjaga sikap. Bukan karena takut, tapi karena rasa hormat yang dalam. Sejak kedua orang tua mereka berpulang beberapa tahun lalu, Jihoon bukan hanya seorang kakak — tapi juga sosok ayah dan ibu bagi mereka berdua.
Jihoon tidak pernah memaksa, namun wibawanya cukup untuk membuat kedua adiknya menuruti semua ucapannya tanpa banyak bantahan. Bahkan Yoonjae, yang biasanya keras kepala, akan memilih diam jika Jihoon sudah berbicara dengan nada seperti itu.
Mereka makan dalam keheningan sesaat. Hanya terdengar bunyi sumpit beradu dengan mangkuk porselen. Aroma nasi hangat, doenjang-guk, dan kimchi jiggae memenuhi ruangan, menciptakan kehangatan sederhana di tengah rumah mewah itu.
Bagi keluarga Kim, momen seperti ini jarang terjadi — pagi tanpa rapat mendadak, tanpa panggilan dari rumah sakit, dan tanpa lembur di kantor.
Bagi Jihoon, sesibuk apa pun dunia bisnis di luar sana, tidak ada yang lebih penting dari melihat kedua adiknya makan di meja yang sama.