Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.
Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.
Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:
Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.
Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.
Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.
Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.2 Jebakan Hutan Terlarang Dan Jiwa Dewa Perang
Kabut gelap menggantung rendah di antara pepohonan raksasa, menghalangi pandangan Xio Lun yang berjalan sendirian dengan langkah hati-hati. Akar-akar besar menjalar di tanah, sementara suara binatang buas sesekali menggema di kejauhan, membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.
Hutan Terlarang, tempat di mana cerita-cerita horor lahir dan mimpi indah mati.
Banyak murid luar pernah dikirim ke sini dengan dalih misi mulia. Namun satu pun tidak pernah kembali. Dan saat ini, Xio Lun menapaki jalan yang sama—tanpa tahu bahwa rumahnya sudah tenggelam dalam darah.
Ia menggenggam pedang kecil warisan ayahnya erat di tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang gulungan misi yang diberikan sang tetua.
“Batu Inti Pedang… katanya terletak di dalam hutan ini,” gumamnya mencoba meyakinkan diri.
Namun di dalam hatinya, suara lain berbisik:
Ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang salah sejak awal.
Beberapa jam berlalu. Siang telah berganti senja, namun gelap tetap mendominasi hutan. Di sela-sela pepohonan yang menjulang tinggi, terdengar dentingan logam seperti pedang saling beradu.
Xio Lun berhenti. Tubuhnya menegang.
“Siapa di sana?”
Tak ada jawaban, hanya gema langkah kaki mendekat. Dari balik kabut, muncul tiga sosok berpakaian murid elit klan—tanpa penanda misi, tanpa senyum.
Xio Lun terkejut. “Senior? Apa kalian juga menjalankan misi?”
Hanya tawa dingin yang menjawab.
“Hahaha… dia masih bertanya.”
“Aku heran kenapa klan menyuruh kita mengotori pedang untuk sampah sepertimu.”
Xio Lun mundur satu langkah. “Apa maksud kalian?”
Salah satu murid elit itu mengangkat pedangnya perlahan, cahaya redup memantul pada bilahnya.
“Kau benar-benar bodoh, Xio Lun.”
“Klan ingin menghapus keluargamu.”
Xio Lun membelalakkan mata. “Hapus… keluargaku?”
“Xio Wu terlalu berbahaya bagi ambisi tetua. Dan kau memiliki darah yang sama.”
Darah Xio Lun mendidih.
“Jadi… Ayah… dibunuh oleh klan kita sendiri!?”
Tawa itu semakin keras.
“Baru sadar sekarang? Terlambat.”
Salah satunya menatap Xio Lun dengan senyum keji.
“Oh, dan ibumu—dia pasti sudah tidak bernapas.”
Dunia Xio Lun runtuh seketika.
“A…pa…?”
“Cepat atau lambat, penghalang harus disingkirkan. Keluarga Xio hanya duri bagi klan.”
Pedang itu terangkat.
“Dan sekarang, giliranmu menyusul mereka.”
Tanpa memperingatkan, tiga murid elit menyerang bersamaan. Xio Lun hampir tidak sempat bereaksi. Meski ia berusaha menangkis, kekuatannya terlalu lemah untuk menghadapi para elit.
Bakk!
Satu tendangan menghantam dadanya, membuat tubuhnya terpental menabrak batang pohon.
Batuk darah keluar dari mulutnya.
Dalam rasa sakit yang mengoyak, Xio Lun berteriak dengan amarah memuncak:
“KALIAN AKAN MENYESAL!!!”
Namun murid-murid itu hanya mengangkat alis, mengejek tekadnya.
“Berkata seperti pahlawan, tapi tubuhmu bahkan tidak bisa berdiri dengan benar.”
Satu pedang mengarah ke jantungnya.
Detik itu, Xio Lun memilih berlari.
Bukan karena ia pengecut.
Bukan karena ia takut mati.
Tetapi karena ia tidak boleh mati—belum saatnya.
Ia harus bertahan.
Ia harus kembali untuk menuntut balas.
Ia berlari tanpa arah, menembus gelap hutan yang semakin padat. Langkah kaki para pengejar terdengar jelas di belakangnya.
“Kau tidak akan lolos!”
“Berhenti, tikus kecil!”
Namun Xio Lun tidak berhenti. Setiap napas terasa seperti menelan bara api, tetapi ia terus bergerak.
Untuk ayahnya.
Untuk ibunya.
Untuk dirinya sendiri.
Tiba-tiba tanah di bawahnya hilang.
Jurang dalam membuka mulutnya tepat di hadapannya.
Xio Lun terpeleset—pedang kecil terlempar dari genggamannya.
“AAAARGHHH!!”
Tubuhnya jatuh berguling ke bawah, bebatuan tajam menggores kulitnya sementara dahan-dahan pecah saat ia menabraknya.
Gelap.
Dingin.
Tak berujung.
Seolah-olah ia jatuh ke dalam perut dunia.
Suara tawa dari atas terdengar samar.
“Hahaha! Lihat? Bahkan alam membencimu!”
“Selesai sudah riwayatnya.”
“Ayo kembali. Tidak ada yang bisa bertahan dari Jurang Iblis Kematian.”
Langkah mereka menjauh, meninggalkan Xio Lun yang terus jatuh—ke takdir yang berbeda.
Braaakkk!
Tubuh Xio Lun akhirnya menabrak dasar jurang. Sakit yang luar biasa menusuk seluruh tubuhnya. Pandangannya berputar.
“Aku… masih hidup…?”
Ia mencoba bangkit namun langsung terjatuh lagi. Napasnya berat, tubuhnya nyaris tak bergerak.
Dalam kabur antara hidup dan mati, ia melihat cahaya merah samar muncul dari kegelapan.
Suara bergema, dalam dan purba—seperti suara perang yang telah ada sebelum sejarah dimulai.
“Warisanku… akhirnya tiba.”
Xio Lun terbelalak. Suara itu tidak berasal dari luar. Itu bergema dalam kepalanya.
“Siapa… kau…?”
Suaranya lemah.
Cahaya merah itu semakin mendekat, berubah menjadi sosok raksasa berzirah emas yang dipenuhi bekas luka pedang. Matanya menyala seperti bara api neraka. Aura yang memancar darinya begitu kuat hingga tanah bergetar.
“Aku adalah… JENDRAL DEWA PERANG.”
Penghancur pegunungan. Penakluk ribuan clan. Pemegang Takdir Pedang Surgawi.”
Dan kau… pewarisku.”
Xio Lun ingin berbicara, namun mulutnya tak bergerak. Dadanya penuh sesak oleh emosi dan ketakutan.
“Kenapa… aku?”
Dewa Perang itu mendekat, suaranya menggelegar namun penuh keyakinan.
“Darah di tubuhmu bukan darah manusia biasa.
Itu darah dewa yang tersisa dari garis keturunan kami.
Ayahmu mati demi menyembunyikanmu dari mereka
yang takut akan kebangkitan kekuatan ini.”
Nama ayahnya bergema dalam kepalanya.
Dada Xio Lun serasa dihancurkan sekaligus dibakar bara dendam.
“Jika kau mau hidup dan membalas semuanya… terimalah aku.”
Dewa perang mengulurkan tangan besarnya yang berona energi pedang.
“Terimalah kekuatan perang.
Dan jadilah pedang yang memenggal para pengkhianat.”
Xio Lun memejamkan mata.
Ia membayangkan wajah ibunya tersenyum lembut… lalu pucat bersimbah darah.
Ia membayangkan ayahnya jatuh dengan luka dari pedang sesama klan.
Air mata mengalir.
“Aku… akan membalas mereka semua…”
Ia meraih tangan sang dewa.
“AKU TERIMA!!”
Ledakan energi dahsyat meledak dari tubuh Xio Lun.
DUAAAARRRR!!
Tanah retak.
Batu-batu melayang dan hancur.
Awan energi merah membentuk pusaran besar membungkus tubuhnya.
Jeritan roh-roh penghuni jurang memekik ketakutan dan melarikan diri ke kegelapan.
Tubuh Xio Lun terangkat ke udara seperti boneka di tengah badai kekuatan yang sedang bangkit.
Uranya mengembang. Retakan cahaya merah keemasan menyelimuti kulitnya, membentuk pola pedang yang menyala.
Suara Dewa Perang bergema, seolah dunia ini menjadi saksi:
“Mulai hari ini…
namamu akan menjadi kutukan bagi para penghianat.”
“Bangkitlah, Pewaris Dewa Perang!”
Suara dentingan ribuan pedang terdengar dari kejauhan—gaung sejarah berlutut di hadapan pemilik baru kekuatan perang.
Mata Xio Lun terbuka.
Pupilnya berubah menjadi merah menyala seperti logam panas.
Tubuhnya kembali jatuh ke tanah, namun kini ia berdiri perlahan dengan kekuatan yang jauh melampaui manusia.
Kesadarannya bercampur dengan kekuatan dewa.
Dan di dalam hati terdalam, satu perintah terukir jelas:
“Balas dendam.”
Dengan nafas yang mulai stabil, Xio Lun meraih pedang kecilnya yang tertancap di tanah.
Namun pedang itu kini berubah.
Bilahan tipis yang dulunya tampak biasa, sekarang berkilau seperti potongan bintang merah.
Pedang roh pertama Xio Lun… telah terbangun.
Pedang Darah Dewa.
Ia mengepalkan gagangnya.
“Tetua Yumeng… klan… kalian akan merasakan siksa pedangku,” gumamnya dengan suara rendah dan penuh tekad.
Luka-lukanya mulai sembuh dengan cepat—hasil dari energi dewa yang menyatu dengan jiwanya.
Xio Lun mendongak menatap tebing jurang.
Murid elit itu sudah pergi, percaya ia telah mati.
Kesalahan terbesar mereka.
Dalam diam jurang itu, Dewa Perang berbicara lagi, namun kali ini lebih lembut:
“Bangkitlah, Lun. Kau baru memulai perjalanan perangmu.”
Xio Lun menarik napas panjang.
Amarah, kehilangan, dan kekuatan baru bergumul di dalam dadanya.
“Mulai hari ini, aku bukan lagi murid luar lemah…”
Suaranya bergema di seluruh jurang.
“Aku adalah pewaris pedang yang akan menghancurkan mereka.”
Tatapan matanya bersinar tajam bagai bilah pedang.
“Aku adalah Xio Lun.”
Di atas sana, di dalam lembah penuh konspirasi…
Tak seorang pun tahu bahwa senjata paling mematikan yang pernah muncul dalam sejarah baru saja terlahir kembali.
Dan langit bergidik ketakutan.