NovelToon NovelToon
I Love You My Sugar Daddy

I Love You My Sugar Daddy

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Alma tidak menjawab, hanya mengangkat bahu sedikit. Ia tahu percakapan seperti ini biasanya berakhir di titik aman—cukup hangat untuk diingat, tapi tidak terlalu dalam untuk meninggalkan jejak.

Namun malam ini terasa berbeda. Entah karena cara pria itu menatapnya, atau karena ketenangan suaranya yang tidak dibuat-buat. Ada sesuatu yang menahan langkah Alma untuk segera berdiri.

Harsya meletakkan amplop coklat tebal di meja, lalu berdiri perlahan.

"Terima kasih untuk malam ini,” katanya.

“Sama-sama, Pak,” jawab Alma, menunduk sedikit.

Harsya menatapnya sejenak, sebelum akhirnya berbalik menuju pintu keluar. Aroma parfum dan sisa cognac di meja menjadi jejak yang tertinggal bersamanya.

Lounge Grand Amartha sudah lengang. Lampu gantung yang tadi memantulkan cahaya keemasan kini diredupkan, menyisakan pantulan samar di permukaan marmer. Aroma cognac dan parfum masih menggantung di udara—jejak sisa malam yang baru berlalu.

Alma mengganti sepatu haknya dengan flat shoes di ruang ganti kecil belakang bar. Suara ritsleting tasnya terdengar pelan. Ia tidak terburu-buru ritme tubuhnya sudah terbiasa dengan keheningan semacam ini.

Di luar gedung, udara Semarang terasa lembab. Lampu jalan memantulkan warna oranye di aspal basah. Mobil-mobil berjajar rapi di area parkir hotel, beberapa sopir duduk menunggu tuannya sambil menggulir ponsel. Alma melangkah menuju taksi langganannya

“Seperti biasa, Mbak?” tanya sopir, begitu ia masuk.

"Iya, Pak.”

Perjalanan malam itu sunyi. Kota perlahan kehilangan riuhnya, berganti dengan jalanan kosong dan gedung-gedung tinggi yang mulai gelap di atas jam dua dini hari. Di kaca jendela, pantulan wajah Alma tampak tenang—tanpa riasan mencolok, hanya bayangan samar seorang perempuan yang terbiasa hidup di dua sisi waktu.

Begitu mobil memasuki area Perumahan Tirta Asri, suasana berubah total. Jalanan kecil dengan deretan rumah modern berdiri rapi, taman-taman kecil terawat di tiap pekarangan, dan suara jangkrik menggantikan musik lounge yang tadi mengiringinya.

Rumah Alma berada di blok yang agak ujung, dekat taman kecil perumahan. Ia membuka pagar pelan, menyalakan lampu teras, lalu masuk tanpa suara. Sepatu diletakkan di rak, blazer dilipat di sandaran kursi.

Ruang tamu kecil itu menyambutnya dengan keheningan.

Ia menatap sekeliling semua tertata rapi sofa abu-abu, meja kaca, dan satu lukisan pemandangan laut di dinding. Tidak ada sisa dunia Grand Amartha di sini, kecuali kilau samar di matanya yang belum sepenuhnya padam.

Alma berjalan ke dapur, menuang segelas air putih. Cairan dingin itu menyentuh tenggorokannya, menetralkan rasa manis sisa cognac di tenggorokan. Ia berdiri sejenak di depan jendela, menatap cahaya lampu jalan di luar.

Tidak ada suara. Tidak ada tawa.

Hanya dirinya sendiri, dan keheningan yang terasa begitu nyata.

Matahari pagi menyusup lembut lewat tirai putih yang sedikit terbuka. Di luar, suara burung dan sapuan sapu halaman terdengar pelan—ritme khas pagi di Perumahan Tirta Asri, kawasan tenang di pinggiran Semarang.

Alma duduk di meja makan, cangkir teh di tangannya mengepulkan uap tipis. Rambutnya dibiarkan terurai, wajah tanpa riasan. Di luar seragam malam yang penuh peran dan kontrol, inilah dirinya yang sesungguhnya—tenang, terukur.

.

Dari jendela, terdengar suara tetangga memanaskan mobil, anak-anak kecil berlari menuju sekolah. Dunia di luar berjalan normal, tanpa tahu bahwa malamnya Alma hidup di ruang yang berbeda—dunia lampu temaram, champagne, dan tawa-tawa yang tidak pernah tulus.

Ia meneguk tehnya perlahan. Tidak ada musik jazz, tidak ada parfum mahal, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan.

Kadang, Alma berpikir betapa kontrasnya dua dunia itu. Tapi pagi seperti ini memberinya jeda, ruang kecil untuk bernafas sebelum malam kembali menjemputnya lagi.

Jam dinding menunjukkan pukul delapan lewat sedikit ketika Alma membuka tirai. Cahaya matahari masuk lembut, mengenai permukaan meja makan dan menyorot gelas air sisa malam tadi. Udara pagi di Tirta Asri terasa bersih, wangi daun basah dari taman depan menyelinap lewat jendela.

Di meja makan, tersusun beberapa amplop tagihan, majalah interior lama, dan sebuah ponsel yang bergetar pelan. Satu pesan masuk.

“Al tamu semalam sepertinya suka sama kamu.”Tulus Mas Ardan manager lounge.

Alma membaca pesan itu sebentar, lalu meletakkan ponselnya tanpa membalas. Ia sudah terbiasa dengan pesan semacam itu.

Ia kembali menyesap teh pelan, menatap kosong ke arah luar. Di kepalanya masih tersisa bayangan cahaya lounge, tawa samar para tamu, dan—tanpa ia sadari—tatapan Harsya.

Tatapan yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.

Teh di cangkir mendingin. Matahari sudah naik sedikit lebih tinggi. Alma menutup matanya sebentar, menarik napas panjang, lalu berdiri untuk memulai hari yang baru.

Suara anak kecil memecah kesunyian rumah. Dari ruang tengah, Asha berlari kecil sambil tertawa, boneka beruang di tangannya terayun-ayun. Di belakangnya, Mbak Sari pengasuhnya mengekor sambil membawa segelas susu hangat.

“Hati-hati, Nduk… jangan lari nanti jatuh” tegur Mbak Sari lembut.

Alma muncul menoleh dari ruang tamu masih mengenakan pakaian rumah. Rambutnya dikuncir sederhana, wajah tanpa riasan, tapi sorot matanya hangat saat melihat pemandangan itu.

“Asha, sini.”

Anak itu berhenti, menatap ibunya, lalu berlari ke arahnya dan memeluk kakinya erat-erat. “Bunda!”

Alma membungkuk, mengusap kepala putrinya.

 “Udah sarapan?”

“Udah, roti sama susu.” jawab Mbak Sari cepat, sambil tersenyum sopan.

Alma mengangguk, kembali lalu duduk di sofa. Asha memanjat ke pangkuannya tanpa bicara, hanya memeluk dengan wajah menempel di dada ibunya. Momen seperti itu singkat, tapi cukup untuk membuat keheningan rumah terasa penuh makna.

“ Asha tidur siang jam berapa , Mbak?. Saya nanti keluar sebentar,” kata Alma.

“Iya, Bu biasanya jam sebelas udah tidur .”

Asha menatap wajah ibunya sejenak, lalu mulai memainkan jemari Alma, mencoba melepas cincin yang ia kenakan dengan polos. Alma tersenyum kecil, membiarkan saja.

Di luar, matahari menyorot temaram melalui jendela, mengenai pipi Asha yang kemerahan. Waktu seperti melambat di ruangan itu—antara tawa kecil, aroma susu, dan rasa damai yang singkat tapi nyata.

Tak lama, Mbak Sari mengangkat Asha kembali ke kamarnya. Alma menatap ke arah mereka sampai pintu kamar tertutup.

Lalu, seperti refleks, ia melirik jam dinding.

Masih ada beberapa jam sebelum senja.

Dan malam seperti biasa akan menunggunya lagi.

Senja temaram di langit Tirta Asri dengan pelan. Cahaya oranye jatuh di dinding ruang tamu, menyentuh bingkai foto kecil Asha yang tersenyum di taman. Alma berdiri di depan cermin kamar, menarik napas panjang sebelum mulai berdandan.

Di meja rias, rapi tertata botol parfum, bedak, dan perhiasan,setiap sapuan bedak, setiap olesan lipstik, menghapus sedikit demi sedikit jejak ibu rumah tangga yang tadi bermain dengan anaknya.

Cermin memantulkan wajah yang sama, tapi dengan sorot berbeda.

Dingin, tenang, nyaris tanpa cela.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!