Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”
“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”
“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”
“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”
“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”
“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Gu Yueqing berdiri kaku di depan tungku dapur. Tumpukan kayu bakar sudah disusun seadanya, tapi tangannya gemetar saat memegang batang kayu. Asap tipis mulai mengepul, membuat matanya perih.
Sudah lama sekali dia tidak memasak. Terakhir kali mungkin saat masih gadis belia, dan itu pun hanya membantu mengupas bawang atau mencuci beras. Kini, dia berdiri sendirian—dengan bara api di bawah kuali, dan tanggung jawab penuh di atasnya.
“Masukkan sayurnya sekarang,” kata suara malas dari sudut dapur.
Ibu Ulan duduk sambil memangku sebakul sayur yang baru dipetik. Meski terlihat membantu, ekspresinya menunjukkan bahwa dia justru menikmati situasi ini. Dia masih marah pada Ulan, tapi pingsannya gadis itu jadi alasan untuk tidak perlu turun tangan di dapur.
Gu Yueqing menggigit bibirnya. Dia memasukkan potongan sayur ke dalam bubur yang tengah dimasak. Suara mendidih terdengar pelan, mengiringi detak gugup di dalam dadanya. Gerakannya canggung, beberapa sayur jatuh ke samping, dan aroma yang keluar dari kuali tidak seperti biasanya,pahit, nyaris gosong.
“Awas jangan terlalu lama,” ibunya menegur, tapi tak bergerak dari tempat duduk.
Dengan sedikit panik, Gu Yueqing mengangkat panci dan mulai menyiapkan mangkuk. Menu hari itu sangat sederhana: bubur nasi encer dengan irisan sawi pahit dan daun bawang dari kebun belakang. Tidak ada garam yang cukup, dan minyak pun hanya sedikit menempel di dasar kuali.
Namun bagi keluarga ini, makanan tetaplah makanan. Dan waktu makan tak bisa ditunda lebih lama.
Saat mangkuk-mangkuk bubur dibawa ke ruang depan, aroma sayur rebus langsung memenuhi ruangan. Suasana makan malam menjadi aneh—hening, dan rasanya bukan hanya karena makanan yang hambar, tapi juga karena semua sadar bahwa masakan hari ini bukan buatan Ulan.
Beberapa suapan pertama membuat orang mengernyit. Rasanya memang aneh, pahit dan sedikit getir. Tapi tak ada yang protes. Bahkan nenek hanya mengaduk buburnya tanpa bicara, meskipun biasanya dia yang paling banyak mengeluh soal rasa.
Di sudut ruangan, ibu Ulan menyandarkan tubuhnya dengan tenang. Dia tidak berkata apa-apa, tapi matanya berbinar dengan kepuasan kecil. Entah kenapa, melihat putrinya pingsan dan Gu Yueqing kelimpungan di dapur, membuatnya merasa sedikit lebih menang hari ini.
Tak seorang pun menyinggung rasa pahit bubur itu. Bahkan tidak ada yang mengeluh. Justru, saat Gu Yueqing duduk perlahan dengan kepala menunduk, berharap akan ada cibiran atau omelan dari nenek seperti biasanya—yang terdengar justru sebaliknya.
“Yueqing, kau sudah berusaha keras. Untuk pertama kalinya, ini lumayan,” ucap nenek sambil mengangguk pelan. “Gadis desa harus bisa memasak. Ini langkah yang bagus.”
Gu Yueqing mendongak perlahan, matanya berkedip tak percaya.
Belum sempat dia menjawab, ayahnya,yang biasanya pendiam dan cuek,ikut bersuara. “Benar kata Ibu. Kau bahkan lebih rajin dari biasanya. Lihat, bisa juga memasak. Kau memang anak yang baik.”
Pujian itu mengalir begitu saja.
Gu Yueqing mengatupkan bibirnya rapat-rapat, tak mampu berkata-kata. Pipi yang semula pucat mulai berwarna merah muda. Sebuah senyum kecil muncul,samar, tapi penuh makna.
Cuman memasak tapi pujian ibu seperti dia sudah memenangkan penghargaan dari pemerintah.
Kakek yang duduk di pojok ruangan tiba-tiba tertawa kecil. “Kalau begitu, untuk merayakan hari pertama Yueqing memasak, bagaimana kalau kita buka sebotol arak? Sedikit saja. Bukankah ini kesempatan bagus?”
Seisi ruangan langsung bergemuruh.
“Setuju!”
“Sudah lama tidak minum!”
“Ini bisa jadi alasan bagus!”
Wajah para pria rumah itu berubah cerah seketika. Mereka bahkan tak lagi mempermasalahkan rasa bubur yang pahit atau sayur yang terlalu layu. Yang penting ada arak. Dan yang penting, mereka bisa tertawa malam ini.
Gu Yueqing kembali mendapat pujian bertubi-tubi.
“Kalau tahu hasilnya begini, harusnya dia masak dari dulu!”
“Yueqing memang gadis paling berbakti.”
Sementara semua perhatian tertuju padanya, seorang wanita duduk kaku di sudut ruangan.
Ibu Ulan.
Ia menyaksikan semua itu dengan senyum palsu yang makin kaku setiap menit berlalu. Tangannya mengepal di atas lutut, kuku-kukunya menekan kain rok tuanya. Rasanya seperti ditampar berkali-kali.
‘Bubur pahit saja dipuji setengah mati,’ gumamnya dalam hati. ‘Anakku pingsan saja dimaki. Dunia memang benar-benar tidak adil.’
Perutnya terasa sesak, seperti ada bara yang menumpuk dan enggan padam. Tapi dia hanya bisa menunduk dan tersenyum kecil, pura-pura ikut senang. Pura-pura tertawa bersama.
Suara tawa dan tepukan tangan dari ruang tengah terdengar jelas sampai ke dalam kamar tempat Ulan berbaring. Meski kelopak matanya masih berat dan tubuhnya lemah, tapi telinganya tajam menangkap setiap ucapan yang keluar dari mulut keluarga itu. Saat seseorang menyebut rencana untuk “merayakan dengan arak,” tubuh Ulan tersentak pelan.
Rasa pahit menyesak di tenggorokannya. Kilasan ingatan itu datang begitu saja, menyambar seperti kilat dalam badai.
Malam yang sama namun di kehidupan sebelumnya. Tawa yang sama. Riuh yang sama. Tapi alasan mereka saat itu lebih menusuk mereka bersorak bukan karena ada yang memasak, melainkan karena mereka baru saja menerima uang mahar sebesar lima ratus rupiah,uang hasil menjual dirinya.
Wajah nenek yang tertawa terbahak sambil mengangkat cangkir arak, wajah Paman Kedua yang ikut menenggak dengan bangga, dan suara ibunya yang menyindirnya sambil makan kacang tanah seperti merayakan pesta tahun baru—semuanya masih terekam jelas di dalam kepalanya.
Saat itu, Ulan masih polos. Dia masih berpikir semua itu biasa, masih percaya bahwa keluarganya peduli. Sampai dia tahu bahwa dirinya adalah "komoditas" keluarga. Dan saat ia mendengar keluarga ingin minum oplosan, ia mencoba menghentikan mereka.
Pernah ada warga desa yang meninggal karena minuman keras ini, saat ini warga tidak tahu resiko nya.Jadi mereka menyimpan minuman keras untuk waktu yang lama .Setelah ini minuman semakin tidak layak di konsumsi .
Dia yang menghawatirkan keluarga mencoba mencegah mereka dari minum
“Ayah, Paman… jangan minum banyak, itu tidak baik… Paman sering pusing dan wajahmu kemarin pucat sekali...”
Itu yang dia ucapkan dulu. Tapi bukannya mendapat terima kasih, ia justru dimarahi habis-habisan.
“Jangan cerewet! Kau bahkan belum keluar uang sepeser pun tapi sudah sok jadi tabib!”
“Diam saja dan pergi! Kau cuma anak gadis tak berguna!”
Kata-kata itu masih menggema, dan setiap kali teringat, hatinya mengeras lagi seperti batu di musim dingin.
Kini, di kehidupan yang baru ini, Ulan membuka mata. Sorot matanya dingin, kosong. Tak ada lagi belas kasihan.
Dia tahu satu rahasia kecil,Paman Kedua sebenarnya punya gejala jantung dan darah tingg. Ia tahu karena bertahun-tahun kemudian, dia yang membantu membeli obat dan diam-diam membaca labelnya. Yang disebut vitamin itu sebenarnya adalah obat penurun tekanan darah.
Dan hari ini…
Hari ini mereka ingin minum lagi.
Silakan.
Minumlah sepuas kalian.
Bahkan, kalau perlu, nanti dia akan menghasut agar mereka menambah satu botol lagi. Mungkin dia bisa pura-pura ceria dan bilang, “Kalau araknya enak, buka saja botol yang satunya lagi, Nek.”
Jika keberuntungan sedang berpihak, mungkin seseorang akan rubuh malam ini. Dan jika itu terjadi, dia tidak akan menangis seperti dulu.
Dia hanya akan berdiri diam.
Dan dalam hati—tersenyum.
Langit di luar mulai berwarna jingga, dan rumah keluarga Gu tenggelam dalam bayang-bayang senja. Di dalam kamar kecil yang terletak paling pojok, Gu Xiulan masih terbaring di atas tikar anyaman. Wajahnya pucat, tubuhnya tampak lemah, dan matanya sesekali tertutup rapat seperti menahan pusing yang luar biasa.
Namun kenyataannya jauh berbeda.
Begitu suara langkah kaki menjauh dari pintu, ulan duduk perlahan dan menyentuh bagian dalam lengan bajunya—di sana tergantung kantong kecil khusus dari sistem. Ia mengeluarkan sebotol air jernih dan sepotong ayam bakar yang masih hangat, beraroma wangi yang menggoda.
"Orang-orang itu berpesta dengan arak murahan. Aku berpesta dengan ayam berbumbu dan air segar," bisiknya pelan, senyum menghiasi wajahnya.
Dengan tenang, ia memakan ayam bakar itu hingga tak tersisa satu pun serat daging. Setelah itu, ia meneguk air dengan pelan, menikmati sensasi dingin yang menyegarkan tenggorokannya. Semua ia lakukan dengan rapi, tenang, tanpa suara. Begitu selesai, ia menghapus sisa minyak dari mulutnya dengan sapu tangan kecil, lalu meraih satu botol kecil dari dalam sistem,sebuah cairan herbal dari dunia modern yang dapat membuat bibir tampak lebih pucat dan kering.
Ia menepuk-nepuknya perlahan ke bibir, lalu kembali berbaring seperti sebelumnya. Napasnya diatur perlahan, tubuhnya dibuat sesantai mungkin seolah-olah sedang demam dan lemas karena kurang makan.
Tiba-tiba, tawa meledak dari ruang tengah.
Tawa yang berderai, keras, penuh semangat, diselingi suara botol arak yang dituang ke dalam mangkuk keramik.
Xiulan membuka matanya sedikit, mendengarkan.
“Itu pasti mereka… semuanya sedang merayakan gadis yang baru bisa memasak. Bahkan memasak bubur saja sudah bisa dijadikan pesta,” bisiknya, pelan namun tajam.
Dia tak bergerak dari tempat tidurnya. Tapi satu sisi bibirnya terangkat perlahan, menyiratkan senyuman kecil yang sulit dijelaskan antara sinis, puas, dan mungkin… harapan yang berbalut dendam.
Dan malam pun perlahan turun, menutupi rumah keluarga Gu dengan segala rahasia yang masih menggeliat di balik pintu-pintunya.
Ruang tengah rumah keluarga Gu dipenuhi suara riang. Tawa-tawa lepas, bunyi gelas bersentuhan, dan obrolan gembira mengisi malam yang tak biasanya hangat. Beberapa lelaki duduk bersila di lantai dengan wajah memerah karena minuman, sedangkan para perempuan,selain Gu Yueqing yang duduk malu-malu di sisi ruangan,ikut menyaksikan suasana itu dengan senyum tipis atau tatapan menilai.
Di tengah kehebohan itu, sang nenek berdiri dan berjalan ke arah kamarnya. Tak lama kemudian ia keluar dengan membawa sebuah kendi tanah liat, bentuknya khas dengan segel anyaman bambu di mulutnya. Semua orang langsung bersorak,mereka tahu itu minuman beralkohol buatan sendiri, diracik oleh warga desa dari hasil fermentasi beras yang sudah dikenal bisa "menghangatkan badan" saat malam dingin. Minuman itu kuat, tapi karena dibiasakan sejak muda, warga desa tak pernah benar-benar memikirkan bahayanya.
“Ayo! Ini buat merayakan Yueqing yang akhirnya tahu cara memasak!” seru sang nenek bangga, menuangkan isi kendi ke gelas-gelas kecil dari logam yang biasa mereka pakai.
Paman Kedua tertawa keras. Wajahnya sedikit pucat, tapi ia tetap duduk dengan posisi paling depan. Sejak kecil, dia memang dikenal sering sakit kepala dan pusing, bahkan tadi pagi pun masih mengeluh lehernya kaku. Ia menelan satu pil dari kantong bajunya, lalu,tanpa rasa curiga sedikit pun,langsung menenggak minuman keras yang dituangkan nenek ke gelasnya.
Ulan, yang diam-diam melihat dari celah pintu kamarnya, mengenali betul pil yang baru saja ditelan pamannya. Di kehidupan sebelumnya, ia pernah mendengar dari seorang petugas medis desa bahwa pil itu adalah penurun tekanan darah tinggi. Tapi saat itu tidak ada yang tahu bahayanya mencampur obat itu dengan alkohol. Mereka menganggap semua sakit kepala bisa sembuh dengan ‘minum hangat’.
Ulan menarik napas dalam-dalam. Kilasan memori itu muncul jelas,beberapa tahun setelah peristiwa seperti ini, pamannya jatuh pingsan dan akhirnya lumpuh separuh badan. Penyebabnya adalah serangan stroke yang dipicu oleh kombinasi obat dan alkohol. Namun, waktu itu semua menyalahkan takdir, bukan ketidaktahuan mereka sendiri.
Kini, Ulan hanya menatap dingin dari balik celah pintu. Kali ini dia tidak akan menghentikan mereka. Bahkan jika bisa, ia ingin mereka minum lebih banyak.
"Minumlah… minumlah sebanyak-banyaknya," bisiknya pelan, senyumnya samar di bibir pucat yang sudah ia olesi dengan sisa getah dedaunan dari sistem,agar terlihat makin lemah dan menyedihkan bila dilihat.
Tawa kembali menggema di ruang tengah. Tak ada yang menyadari bahwa malam itu, di balik sukacita pura-pura, benih petaka telah ditanam perlahan.