‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️
Series #3 dan Series #4
Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.
Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.
Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.
Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 : Pelampiasan Rasa Sakit
...----------------...
...----------------...
...----------------...
...----------------...
...•••Selamat Membaca•••...
Langit mulai gelap saat mobil hitam Advait melaju di jalanan Madrid yang berangin. Jalanan dipenuhi lampu kuning yang menerangi aspal basah sisa gerimis sore tadi. Ia mengemudi tanpa arah yang jelas, membiarkan pikirannya larut dalam suara mesin dan desiran angin dari kaca jendela yang sedikit terbuka.
Undangan pernikahan itu masih tergeletak di dashboard. Kertas mewah berwarna gading dengan aksen keemasan itu terasa seperti tamparan bagi Advait.
“Tiga minggu lagi, kau sudah dimiliki pria lain,” gumamnya pelan.
Suara itu lirih, nyaris tak terdengar, tapi bagi Advait, itu terdengar seperti gema yang memantul-mantul di rongga kepalanya. Sofia akan menikah. Perempuan yang baru ia sadari terlalu berarti dan baru ia pikirkan untuk dimiliki ternyata telah dimiliki orang lain lebih dulu.
Advait menepikan mobilnya di sebuah taman kota yang sepi, mematikan mesin, dan duduk diam dengan pandangan kosong ke depan. Tangan kanannya menggenggam setengah bungkus rokok, tapi tak satu pun disulut. Ia hanya memandangi batang-batang rokok itu seolah berharap ada jawaban di sana.
Ia tidak menangis. Tapi dada kirinya terasa dihantam berkali-kali dari dalam. Sakit, panas, dan getir.
“Ini bukan cemburu,” katanya kepada dirinya sendiri. “Ini kekalahan telak, baru jatuh cinta sudah langsung patah.”
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Advait merasa terlambat. Dia selalu jadi yang tercepat, yang paling dingin kepala, yang paling logis, tapi kali ini, perasaannya tumbuh di tanah yang sudah ditanami orang lain.
Sofia telah memilih dengan damai pilihan hidupnya. Tanpa drama. Tanpa tahu bahwa ada seseorang yang diam-diam mengukir harapan di punggung bayangannya, yaitu Advait.
Ponselnya bergetar dengan sebuah pesan dari Rayden:
[Pulanglah, nanti aku bawakan kue ke markas buat kalian semua. Jangan mabuk.]
Advait hanya tertawa kecil. “Mabuk? Untuk apa? Luka ini terlalu sadar, terlalu jernih untuk bisa diredam oleh alkohol. Aku tidak sedang mencari pelarian, hanya sedang duduk, menerima kenyataan bahwa perasaannya tidak akan pernah sampai,” lirihnya lagi.
Perlahan ia membuka jendela mobil, mengambil undangan itu, lalu merobeknya diam-diam. Suaranya hampir tak terdengar, tapi setiap robekan itu seperti suara tulang yang patah.
Ia tak membuangnya. Ia masukkan ke dalam dasbor. Bukan karena ia ingin menyimpan luka itu. Tapi karena ia ingin mengingat bahwa cinta, meskipun sepihak, tetaplah cinta. Dan ia berhak merasakannya, walau tidak memilikinya.
“Tinggi sekali angan-anganku untuk memilikimu, Sofia. Wanita sepertimu pasti memilih pria terbaik dan imam yang tepat, bukan pecundang sepertiku.”
...***...
Malam itu, Rayden dan Maula sedang bersantai di kamar. Maula sudah tertidur di pelukan Rayden, tangannya memeluk pinggang suaminya erat-erat, sementara Rayden masih membaca pesan-pesan dari grup internal Vindex.
Satu pesan masuk dari Advait.
[Besok jam 8 pagi aku terbang. Jangan antar aku. Dan tolong jangan bilang pada Sofia.]
Rayden menatap layar ponselnya cukup lama, lalu membalas pendek:
[Baik.]
Lalu ia mematikan ponselnya. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk menghapus luka sahabatnya. Tapi setidaknya, ia bisa menjaga martabatnya dengan tidak memberitahu perasaan Advait pada siapa pun termasuk Maula.
...***...
Pagi-pagi buta, di Bandara Barajas, Advait berdiri dengan koper hitam dan jaket panjang. Tak ada pengantar atau pun peluk perpisahan.
Ia melewati gerbang keamanan, menengok ke belakang sebentar, lalu tersenyum kecil.
“Madrid terlalu tenang untuk luka seperti ini,” gumamnya.
Dan ia pun terbang. Membawa perasaannya yang tidak pernah sempat dilisankan, ke langit New York yang lebih gelap, lebih ramai, lebih kejam.
Tempat di mana Advait bisa kembali menjadi dirinya yang dulu tanpa bayangan senyum Sofia yang menghantui di sela tugas-tugas rahasia dan misi berbahaya.
Namun sebelum naik ke pesawat, ia sempat mengirim satu email ke Rayden. Tanpa subjek. Hanya satu kalimat:
[Jika dia bahagia, aku kalah dengan senang hati.]
...***...
Langit New York mendung. Kabut musim dingin menyelimuti gedung-gedung tinggi yang menjulang tajam seperti pisau menusuk langit. Mobil hitam berhenti di depan sebuah gedung tua, kawasan Lower Manhattan. Gedung itu terlihat tak terurus, tapi di balik kaca buram dan tembok berlumutnya, salah satu cabang gelap bisnis berlian Advait telah dijebol dari dalam.
Malam itu, ia datang bukan sebagai bos. Tapi sebagai algojo.
Dengan jaket hitam panjang, rambut berantakan, dan mata yang tidak menunjukkan ampun, Advait melangkah ke dalam lorong gelap, diikuti dua orang pasukan kepercayaannya. Tak ada sepatah kata keluar. Sepatu boot-nya menjejak keras lantai beton, langkahnya membawa aura kematian.
Di ruangan belakang, Gorie—mantan rekan bisnis yang kini berkhianat—sedang duduk santai dengan dua penjaga bersenjata. Mereka sedang tertawa di atas meja bundar penuh uang, bir, dan sebungkus dokumen curian.
Pintu terbuka keras.
Brak!
Gorie mendongak, senyumnya langsung memudar. Yang berdiri di ambang pintu bukan utusan, bukan peringatan.
Itu Advait sendiri, yang telah resmi menjadi pemimpin Vindex menggantikan Rayden. Walau pun pemimpin di balik itu tetaplah Rayden tapi yang dikenal dunia saat ini adalah Advait.
“Jadi ini... cara kau membalas kebaikan?”
Suara Advait pelan. Tapi tajam. Penuh bara. Matanya gelap, kosong seperti bara api yang sudah mati tapi panasnya membakar jantung.
“Advait... aku bisa jelaskan—”
Dor! Dor!
Dua penjaga Gorie tumbang sebelum kalimat itu selesai. Advait tak menoleh ke belakang. Ia tahu kedua pelurunya tepat sasaran. Gorie langsung berdiri dan mundur dengan wajah panik.
“Kita bisa bicara—”
“Aku tak datang untuk bicara, bodoh.”
Dan itu cukup. Advait melempar jasnya ke lantai, berjalan cepat lalu menerjang Gorie dengan tinju pertama yang membuat bibir pria itu sobek. Tinju kedua menghantam perut, dan tinju ketiga yang paling keras mengarah ke pelipis, membuat Gorie limbung dan jatuh menabrak meja.
Bunyi pecahan gelas, teriakan tertahan, dan napas kasar memenuhi ruangan itu. Tapi Advait belum selesai. Ia menarik kerah baju Gorie dan memukulinya berulang kali. Setiap pukulan bukan hanya dendam bisnis.
Itu luka karena Sofia. Itu perasaan yang tak pernah sampai, dan itu cinta yang dipaksa untuk bungkam.
Pukulan Advait sekaligus pelampiasan patah hatinya.
“Kenapa harus sekarang… Kenapa harus saat aku baru ingin memulai mencintai…” desis Advait sambil mencengkeram leher Gorie dengan kuat.
Gorie sudah nyaris tak sadarkan diri, tapi Advait tak berhenti. Ia mengangkat kursi dan menghantamkannya ke dinding, lalu ke meja, lalu kembali ke kepala Gorie.
Pasukannya diam. Mereka tahu ini bukan sekadar misi. Ini penyaluran rasa kalah dari seorang pria yang biasa memenangi segalanya kecuali satu hal, perempuan yang ia cintai.
Advait mengusap darah dari tangannya dengan sapu tangan putih. Dingin. Tanpa penyesalan.
Lalu ia meraih senter kecil dan menyinarinya ke arah kamera pengawas di pojok ruangan.
“Buat rekaman ini bocor. Biar semua orang tahu, siapa pun yang mengkhianatiku akan berakhir seperti bajingan ini.” Perintah Advait tegas.
“Baik bos.”
Beberapa jam kemudian, Advait duduk di atas gedung tinggi menghadap kota. Rokok di tangan kiri, bourbon di tangan kanan. Jaketnya kotor darah, angin malam menerpa wajahnya yang dingin dan lelah. Ia menunduk, membuka ponselnya, dan menatap foto Sofia dari galeri lama.
Foto yang dia ambil diam-diam untuk dia simpan.
“Kamu tak salah... hanya aku yang terlambat.”
Ia menyimpan ponsel, lalu berbisik pada angin.
“Kenapa ya? Aku semudah itu mencintai dia? Padahal hati ini sangat sulit jatuh pada wanita mana pun. Tapi Sofia berbeda, dia istimewa.”
Di belakangnya, lampu kota New York menyala gemerlap, tapi di dada Advait, hanya kegelapan yang tersisa.
...•••Bersambung•••...