"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2
Wush!
"Aaaah! Berhasil! Kita berhasil, Yang Mulia!" teriak salah satu gadis bertudung gelap yang sedang memegang tongkat kayu dengan ujung permata kehijauan. Di sekelilingnya ada beberapa gadia berpenampilan serupa berdiri mengitari tubuh seorang pemuda yang baru saja muncul dari lingkaran magis.
Sesosok wanita cantik berpakaian mewah nan anggun berjalan menuruni tangga kecil, langkahnya perlahan namun pasti. Wanita berambut hitam panjang itu memakai gaun berwarna putih dengan sulaman benang emas. Mahkota perak tersemat melingkar di kepalanya. Sorot matanya tak menampik kenyataan bahwa ia merasa begitu puas.
"Akhirnya... setelah usaha yang kesekian kalinya, kau berhasil memanggil manusia dari dunia lain, Lira. Tapi... kenapa dia tertelungkup seperti itu? Jangan-jangan...,'' gumam wanita itu seraya mendekati pemuda yang tengah bersimbah darah. Sorot matanya menangkap pemandangan bahwa punggung pemuda itu terluka cukup lebar. "Astaga! Dia terluka dan berdarah, Lira! Cepat periksa dia! Apa dia mati?"
"Baik, Yang Mulia Kadita!" Gadis cantik bernama Lira mendekat lalu memeriksa denyut nadi pemuda yang ternyata Lingga itu. "D-dia sudah mati, Yang Mulia!"
"Cepat, bangkitkan dia!" titah wanita yang dipanggil Kadita itu.
Seorang gadis lain yang berpenampilan seperti Lira mendekat. "Apa Yang Mulia yakin mau menghidupkan dia lagi? Sepertinya dia lelaki yang terlihat cukup... lemah."
"Hanya ini yang bisa kita lakukan sekarang. Lagipula aku memang berencana memanggil seorang manusia dari dunia lain untuk menjalankan tugas penting dariku. Meskipun dia terlihat lemah, setidaknya ia bisa berlatih dan mempelajari beberapa kemampuan di dunia ini," sahut Kadita dengan sorot mata tajam. "Dan terlepas dari keadaannya, setelah beberapa kali usaha kita gagal, kita akhirnya mampu memanggil dia. Yah... meskipun dengan keadaan yang di luar dugaan ini. Oleh karena itu, kita harus membangkitkan dia segera!"
"Baiklah, kita akan menghidupkan dia kembali, Yang Mulia!" Lira dan gadis bertudung lainnya pun mulai mengitari tubuh Lingga yang sudah kaku. Mereka menyalurkan sebuah energi magis ke arah punggung Lingga yang menganga sembari menggumamkan sebuah mantra.
Wush!
Sebuah lingkaran magis kembali muncul di bawah tubuh Lingga dengan cahaya keperakan yang mulai menjalar perlahan. Cahaya itu semakin lama semakin membesar dan semakin terang seiring suara desiran seperti angin yang menderu. Terlihat luka Lingga perlahan tertutup dan nampak gerakan kecil pada ujung jarinya menandakan Lingga sudah bangkit dari kematiannya.
"Urgh... aaah, t-tubuhku," pekik Lingga lirih sembari mencoba membuka matanya perlahan. "A-aku di mana?"
Lingga perlahan membuka mata. Ia mendapati dirinya tertelungkup dengan kepala yang mendongak menatap ke sekeliling. Ia begitu terkejut saat melihat situasi di mana ia berada saat ini. Sekarang, Lingga berada di sebuah aula besar dengan pemandangan seperti ruang tahta sebuah kerajaan. Dengan ornamen dan perabotan terbuat dari perak dan emas, serta dinding batu yang memiliki corak aneh dan berwarna perpaduan merah dan hitam. Sungguh pemandangan yang tak pernah Lingga bayangkan sebelumnya.
Kadita berjongkok di depan Lingga seraya tersenyum. "Selamat datang, manusia. Kau sekarang berada di kerajaan kami, kerajaan Agniamartha."
Lingga yang sudah sedikit memiliki energi, lantas buru-buru bangun dengan kedua mata yang terbelalak. "Hah? Kerajaan? Apa-apaan? Jangan bercanda! Bukannya tadi aku... habis kena begal dan dibacok?"
Lira mendekat seraya menatap tajam ke arah Lingga. "Manusia! Jaga mulutmu di depan Yang Mulia Kadita! Kau tak berhak berkata tidak sopan seperti itu kepada beliau!"
"Tak apa, Lira. Biarkan saja... mungkin dia masih terkejut," ujar Kadita tenang. Ia pun kembali memandang wajah Lingga yang masih tak percaya dengan apa yang terjadi. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?"
"A-aku Lingga. Siapa kalian? Dan... apa sebenarnya yang terjadi? Tolong jelaskan kepadaku!" sahut Lingga mulai menatap mereka lebih serius dan tajam.
"Baiklah... aku akan menjelaskan semua kepadamu, Lingga. Tapi, sebelum itu, perkenalkan aku adalah penguasa kerajaan Agniamartha ini, Ratu Kadita Sakahiyang. Dan mereka adalah ahli nujum kerajaanku. Dan, asal kau tahu, merekalah yang telah menghidupkanmu kembali," tunjuknya kepada Lira dan rekannya yang lain.
"Ahli nujum? Jadi benar aku sudah mati? Tapi... apa ini bisa dibilang masuk akal? Kalian menghidupkanku kembali? Bagaimana bisa? Jangan bercanda! Argh! Kepalaku...!" sahut Lingga dengan gusar. Pikirannya tiba-tiba kacau, tak bisa menelaah secara logis apa yang sudah terjadi padanya.
Kadita tersenyum lalu menepuk pundak Lingga. "Sebentar, tenangkan dirimu. Kerajaan kami sebenarnya dalam masa kritis. Oleh karena itu, kami memanggil manusia dari dunia lain dan kamulah yang terpanggil ke sini."
Lingga menyipitkan kedua matanya begitu penasaran. "Kritis? Apa yang terjadi? Kenapa aku?"
"Pada dasarnya sistem pemanggilan kami itu bersifat acak. Jadi, siapa saja bisa terpanggil jika mantra dan proses ritualnya berhasil. Mengingat prosesnya sangat sulit dan kerap mengalami kegagalan. Namun, secara kebetulan, kami berhasil memanggil manusia dari dunia lain dan orang itu adalah kamu, Lingga," jawab Lira menggantikan Kadita. "Meskipun telah berhasil, ternyata kamu muncul dalam keadaan sudah tewas. Jadi, daripada kami mengulang ritual pemanggilan yang merepotkan lagi, kami akhirnya membangkitkanmu dari kematian."
"J-jadi, aku beneran sudah mati?"
"Iya, Lingga."
"Berarti sekarang... bagaimana nasibku? Bagaimana ibuku dan kekasihku yang aku tinggal?" sergahnya seraya mulai meratapi nasibnya.
"Mengenai hal itu, aku minta maaf, Lingga. Karena keegoisan kami, kamu jadi berada di sini sekarang," tukas Kadita dengan wajah sendu.
"Yang Mulia! Jangan berkata seperti seolah-olah merendahkan diri di depan manusia ini! Lagipula seharusnya ia berterima kasih kepada kita karena telah berhasil menghidupkannya dari kematian!" sangkal Lira dengan wajah memerah, mulai emosi.
Lingga tertunduk lalu menggeleng pelan. "Maaf, aku masih belum bisa menerima ini semua di dalam kepalaku. Mengenai pemanggilan hingga kebangkitanku dari kematian... semuanya masih terasa aneh dan ganjil menurutku."
"Wajar saja, Lingga. Mengingat mungkin kamu berasal dari dunia yang sangat berbeda dari dunia kami. Mungkin di duniamu tidak ada yang namanya sihir dan energi magis atau aliran chakra yang memenuhi udara," timpal Lira seraya tersenyum sedikit menyindir.
Sebelum Lingga merespon, Kadita menjelaskan lagi menyambung penjelasan dari Lira. "Kerajaan kami sebenarnya tengah mengalami peperangan yang cukup panjang dengan kerajaan lain. Di tambah akhir-akhir ini muncul deklarasi dari ras baru yakni ras Bethara Kala, yakni ras iblis yang cukup jahat dan menguasai energi chakra kegelapan. Kami sudah kehilangan harapan sejak saat itu. Jadi, dengan rendah hati kami memohon bantuanmu untuk mempertahankan kerajaan ini, Lingga!"
Lingga membelalak tiba-tiba. "Hah? Apa kalian nggak salah? Aku cuma manusia biasa! Lagian, aku cuma seorang bartender! Mana bisa aku melindungi sebuah kerajaan! Jangan ngaco!"
Lira tiba-tiba menghunuskan sebilah pisau ke leher Lingga dengan tatapan penuh kebencian. "Diam, Lingga! Sudah aku bilang jangan membentak Yang Mulia Kadita seperti itu! Atau, kau mau aku matikan sekali lagi biar kau puas, hah!"
Kadita mendorong belati Lira ke bawah seraya menggeleng pelan. "Sudah, Lira. Hentikan... emosi hanya akan menambah dampak yang buruk. Biarkan Lingga seperti itu karena mungkin itu sudah menjadi sifat dan kepribadiannya. Lagi pula aku tak mempermasalahkannya. Jadi, berhenti bertindak gegabah, Lira!"
Lira memasukkan belatinya ke jubah, lalu menunduk patuh. "Mohon maaf, Yang Mulia. Hamba mengerti!"
Kadita menghela nafas panjang lalu menatap Lingga kembali. "Nah, Lingga. Kamu juga jangan terlalu gampang mengomentari sesuatu dengan tergesa-gesa jika belum tahu akhirnya."
"Iya, Kadita— eh, Yang Mulia... aku minta maaf. Aku hanya... masih bingung!"
Kadita tersenyum lalu berkata. "Aku sudah paham jika kamu manusia biasa yang bahkan tak memiliki ilmu kanuragan apalagi ilmu sihir. Maka dari itu aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk membuatmu menjadi kuat dalam waktu singkat sehingga mampu melindungi kerajaan ini."
Lingga menyipitkan kedua matanya penasaran. "Kekuatan? Kekuatan apa, Yang Mulia?"
"Mari ikut aku," sahut Kadita seraya membalikkan badan lalu berjalan menjauh.
***