Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamparan Tak Kasat Mata
Hari itu kampus tak terlalu ramai, tapi di kepala Nayla, suara-suara ramai justru datang dari pikirannya sendiri. Ia berjalan melewati koridor fakultas dengan pandangan kosong, senyum yang biasa ia lempar ke mahasiswa pun terasa hambar. Hatinya sesak, namun wajahnya tetap ramah. Itulah Nayla, wanita yang menyimpan badai di balik senyum lembutnya.
Selepas kelas terakhir, sebelum matahari benar-benar tenggelam, Nayla duduk di ruang dosen dan memandangi layar ponselnya. Ia membuka percakapan terakhir dengan Azam, lalu memutuskan untuk menghubungi Humairah.
Nada sambung terdengar sebentar, lalu suara lembut menjawab.
“Assalamu’alaikum, Mbak…”
“Wa’alaikumussalam, Dek. Gimana hari ini? Sudah baikan?”
“Lumayan, tadi sempat muntah lagi. Tapi sekarang lebih enakan…”
“Alhamdulillah… Humairah pengen makan apa? Mbak bisa cariin atau Mbak masakin, sekalian mampir.”
Hening sebentar. Lalu jawaban polos Humairah membuat Nayla terdiam.
“Sekarang ini… Aku cuma pengen ketemu dan tidur di pangkuan Mbak Nayla…”
Nayla mengatup bibirnya, air matanya nyaris jatuh tanpa aba-aba. Betapa polosnya ucapan itu. Tak ada kecanggungan, tak ada persaingan. Hanya ketulusan dari adik sekaligus ‘madu’nya.
“Boleh, sayang… tunggu ya, Mbak otw ke sana.
Rumah Humairah disambut langit senja yang mulai memudar. Nayla datang membawa tas berisi buah potong dan makanan ringan yang dibelinya di jalan. Ia disambut dengan pelukan lembut Humairah yang langsung memeluknya dari depan pintu.
“Aku kangen Mbak…”
Nayla mengusap kepala Humairah dengan lembut, seolah sedang menyambut adik kandungnya sendiri.
“Mbak juga kangen, Dek…”
Di dalam rumah, Nayla menyiapkan teh hangat dan sedikit makanan. Lalu duduk di samping Humairah yang menyandarkan kepalanya di pangkuan Nayla, seperti anak kecil yang mendambakan ketenangan.
“Kalau nanti punya anak… jangan lupa, kamu harus tetap sayang sama Mbak ya,” ucap Nayla setengah bercanda.
Humairah menatap ke atas, ke arah wajah Nayla, lalu menjawab lirih, “Aku sayang Mbak bukan karena Mbak istri pertama Mas Azam… tapi karena Mbak itu rumah yang paling nyaman buatku dan Mas Azam…”
Nayla menunduk, mencium kening Humairah, lalu membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Hari ini, ia kembali belajar: bahwa cinta tak selalu tentang memiliki, tapi juga memberi ruang… bahkan ketika itu terasa menyakitkan.
Senja benar-benar lenyap, malam pun turun dengan tenang. Rumah Humairah tampak hangat malam itu, dengan cahaya lampu temaram yang menyinari ruang tamu. Di atas sofa, Nayla dan Humairah tertidur berdampingan. Kepala Humairah masih bersandar di pangkuan Nayla, sementara tangan Nayla terlipat di atas perutnya sendiri.
Tak lama, kelopak mata Nayla perlahan terbuka. Ia menatap sekeliling, memastikan bahwa yang dilaluinya tadi bukan mimpi. Sambil membetulkan letak kerudungnya, ia bangkit perlahan dan melepas kepala Humairah dengan hati-hati, agar sang adik tidak terbangun.
Ia melangkah pelan ke arah dapur untuk mengambil air putih. Namun langkahnya terhenti di lorong sempit menuju dapur ketika mendengar
suara keran dan derik jemuran. Ia menyibak tirai pintu belakang—dan hatinya seperti disiram embun ketika melihat sosok itu.
Azam sedang berdiri membungkuk di dekat jemuran, menata pakaian Humairah yang masih lembap. Cahaya lampu temaram memantul di wajah Azam yang terlihat kelelahan, namun tetap sabar.
Tanpa pikir panjang, Nayla melangkah cepat dan memeluk suaminya dari belakang. Tubuhnya bergetar. Nafasnya berat.
“Aku kangen, Mas…” bisiknya, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat Azam tertegun kaku.
Azam refleks memegang tangan Nayla yang melingkari perutnya. Degup jantungnya berpacu. Rasa yang sama menghunjam hatinya, namun ia menahan diri.
“Nay… kita di rumah Humairah,” lirih Azam seraya membalik tubuh pelan, melepaskan pelukan Nayla dengan lembut namun tegas. “Kalau Humairah lihat… nggak pantas.”
Ucapan itu seperti tamparan dingin bagi Nayla. Ia terdiam, menunduk. Matanya memanas. Rasanya seperti disadarkan kembali bahwa dirinya kini tak lagi bisa mencintai sesuka hati. Ada batas, ruang, dan ada mata lain yang harus ia jaga.
Nayla menarik napas panjang, menahan tangis yang nyaris pecah.
“Maaf, Mas…” ucapnya, pelan. “Aku cuma… rindu.”
Azam menatap wajah istrinya yang tertunduk, lalu mengusap lembut kepala Nayla. “Aku juga rindu. Tapi sekarang kita harus lebih hati-hati. Aku nggak ingin ada yang tersakiti.”
Nayla mengangguk pelan, meski hatinya terasa sesak. Ia tahu, hidup bersama cinta yang harus dibagi memang bukan perkara mudah. Tapi ia juga tahu, dirinya memilih jalan ini dengan sadar, dan harus belajar ikhlas—meski berkali-kali hatinya terluka.
Azam menutup pintu pagar perlahan. Malam mulai larut, jalanan kompleks tampak lengang. Angin berembus pelan, membawa aroma embun yang baru jatuh dari langit. Di dalam mobil, Nayla duduk di kursi penumpang depan, diam, menatap ke luar jendela.
Azam meliriknya sekilas sebelum menyalakan mesin.
Mereka diam cukup lama. Hanya suara mesin dan musik lembut yang mengalun pelan dari radio. Sampai akhirnya, Azam yang memulai.
“Maaf kalau aku bikin kamu merasa tersisih.”
Nayla tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, lalu berkata pelan, “Aku tahu, Mas. Humairah butuh perhatian lebih sekarang… Dia sedang hamil. Aku pun pasti melakukan hal yang sama kalau aku jadi Mas.”
Azam menoleh, menatap wajah istrinya yang berusaha tersenyum meski air mata menahan di pelupuk.
“Tapi aku cuma manusia biasa, Mas… Kadang aku lelah menahan. Aku rindu masa-masa dulu, saat Mas pulang ke rumah ini setiap malam. Saat masakanku selalu jadi yang pertama Mas cicipi. Saat aku bisa memeluk Mas kapan pun aku mau tanpa harus takut ada hati yang terluka.”
Mobil berhenti di lampu merah. Azam mematikan musik. Hening.
“Aku nggak pernah berhenti mencintaimu, Nay.” Suara Azam rendah, namun tegas. “Setiap kali aku menatap Humairah, aku tahu… aku mencintainya. Tapi, setiap kali aku melihatmu,aku sadar… kaulah yang membentuk aku menjadi seperti sekarang. Kamu rumahku. Kamu alas sujud pertamaku. Kamu nafas sabarku.”
Nayla menoleh. Air matanya jatuh perlahan, namun senyum tipis muncul di wajahnya.
“Terima kasih karena tetap kembali, Mas… Meski tidak setiap malam.”
Azam menepikan mobil sesaat sebelum masuk ke halaman rumah Nayla. Ia mematikan mesin dan menatap Nayla lama.
“Boleh aku peluk kamu?” tanya Azam, seolah meminta izin pada hati Nayla yang tersakiti.
Nayla mengangguk pelan, dan saat Azam menariknya ke dalam pelukan hangatnya, Nayla pecah dalam tangis. Tangis yang tak berteriak, namun justru begitu menyayat.
Dalam pelukan itu, Azam mencium kening Nayla lama dan dalam.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan