Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
Plakk!
Suara tamparan keras menggema di udara.
Pendeta Serfa terhuyung sedikit ke samping, pipinya langsung memerah akibat hantaman telapak tangan Yuki.
Seisi medan pertempuran yang tadi penuh bisik-bisik dan gumaman mendadak membeku. Mata semua orang kini tertuju pada Yuki, yang berdiri dengan napas memburu, tangannya masih terangkat di udara.
Matanya merah, berkilat dengan kemarahan yang berusaha ia tahan. Bibirnya bergetar, suaranya terdengar parau ketika ia berbisik tertahan, “Apa kau puas sekarang…?”
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani mengeluarkan suara.
Yuki menarik napas gemetar, lalu menggeleng, matanya masih menatap Pendeta Serfa dengan tatapan nanar yang dipenuhi amarah dan kepedihan. “Apa kau puas… Dia telah mati sesuai keinginanmu?”
Kata-katanya menusuk seperti pisau, membawa dingin yang membuat Pendeta Serfa hanya bisa menundukkan kepalanya.
Tubuh Yuki terasa ringan, namun juga berat di saat bersamaan. Seluruh kekuatannya seperti tersedot keluar dari tubuhnya. Ia mundur beberapa langkah, kakinya terhuyung, hampir terjatuh.
Jenderal Aiden spontan melangkah maju, refleks ingin menahan Yuki, tapi ia ragu untuk menyentuhnya. Wajah Yuki tampak seperti seseorang yang baru saja kehilangan separuh jiwanya.
Yuki menggelengkan kepala. Air mata kembali memenuhi matanya.
Ia seharusnya tahu.
Seharusnya ia menyadari sesuatu sejak awal. Seharusnya ia menaruh curiga saat melihat Pendeta Serfa dan Pangeran Sera berbicara dengan serius di lorong waktu itu.
Seharusnya ia bertanya lebih jauh.
Seharusnya ia menggali lebih dalam.
Seharusnya ia tidak membiarkan Pangeran Sera mengetahui rahasia itu.
Sebab jika saja ia melakukannya—jika saja ia sedikit lebih waspada—mungkin Pangeran Sera tidak akan pernah pergi ke kubah itu.
Mungkin Pangeran Sera masih hidup.
Pendeta Serfa masih memegang pipinya yang perih akibat tamparan Yuki ketika suara tenangnya kembali terdengar.
“Ramalan Putri Duyung tidak mungkin salah. Kita akan mendapatkan keuntungan jika anak-anak Putri Yuki dimiliki oleh kerajaan Garduete.”
Brak!
“Brengsek kau!!”
Bangsawan Voldermon, yang sejak tadi mencoba memahami situasi dengan ekspresi gelisah, akhirnya kehilangan kesabaran. Ia bangkit dengan kemarahan yang meluap, tinjunya menghantam wajah Pendeta Serfa tanpa ragu.
Pendeta Serfa jatuh ke tanah, bibirnya pecah, darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
Suasana di sekitar mereka semakin panas. Para pasukan dan bangsawan lainnya hanya bisa menatap dengan keterkejutan, tapi tak ada yang berani menghentikan amukan Bangsawan Voldermon.
Mata pria itu kini berkilat dengan amarah yang mendidih, rahangnya mengatup keras saat ia menuding Pendeta Serfa dengan penuh kemuakan.
“Kau mengetahuinya dari awal! Tapi kau baru menceritakannya pada Sera setelah mendengar ramalan Putri Duyung!” suaranya bergemuruh, penuh emosi yang tak terbendung.
Pendeta Serfa mencoba membuka mulut, tetapi Voldermon tidak memberinya kesempatan.
“Kau tidak peduli dengan nyawa Yuki! Yang kau inginkan hanyalah rahimnya saja!”
Sekali lagi, Bangsawan Voldermon mendekat, menggenggam kerah Pendeta Serfa dengan kasar. Nafasnya memburu, wajahnya memancarkan kemarahan yang nyaris meledak.
“Jika Putri Duyung tidak meramalkan semuanya di depan kita, pasti kau akan diam saja dan membiarkan Yuki yang menarik segel suci itu, bukan!?”
Tak ada yang bisa membantah kata-kata itu.
Pendeta Serfa terdiam, tidak membenarkan, tetapi juga tidak menyangkal.
Keheningan yang melingkupi mereka terasa semakin mencekam.
Yuki, yang masih berdiri dengan tubuh lemah, menundukkan wajahnya. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dadanya terasa sesak, dipenuhi kemarahan yang bercampur dengan kesedihan yang nyaris menelannya hidup-hidup.
“Jadi semua ini… karena ramalan itu? Karena rahimku?”
Suara Yuki terdengar lirih, hampir seperti bisikan. Matanya yang redup menatap kosong ke depan, seolah jiwanya perlahan menghilang bersama api yang telah padam di dalam kubah.
Kepalanya terasa berat. Dunianya berputar.
Pusing.
Begitu pusing.
Tubuhnya tiba-tiba melemas, napasnya pendek dan tidak beraturan. Sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, kegelapan menyelimuti pandangannya.
Bruk.
Tubuh Yuki ambruk tanpa daya.
Namun sebelum tubuhnya menyentuh tanah, sepasang tangan kokoh dengan sigap menangkapnya.
Pangeran Riana.
Gerakannya cepat dan tegas, namun matanya yang biasanya dingin kini menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak saat ia menatap wajah Yuki yang tak sadarkan diri di dalam dekapannya.
Ia mengangkat tubuh Yuki tanpa ragu, membopongnya dengan mudah dalam gendongannya.
Tanpa melihat Pendeta Serfa yang masih terkapar di tanah, tanpa menanggapi tatapan kaget Bangsawan Voldermon dan Xasfir, Riana hanya berkata dengan suara rendah dan tajam, “Vold, Xasfir. Aku serahkan yang di sini padamu.”
Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi.
Di kejauhan, seekor naga hitam dengan mata merah menyala telah menunggu. Radolft, makhluk buas yang hanya tunduk pada Pangeran Riana, merentangkan sayapnya yang besar seolah siap menerkam siapa pun yang mendekat.
Pangeran Riana melompat naik ke atas punggung naganya, tetap membopong Yuki dalam dekapannya.
Sekali hentakan, Radolft mengangkasa, membawa mereka pergi meninggalkan medan pertempuran yang masih dipenuhi debu dan kepedihan.
Membawa mereka kembali ke Kuil Suci.
...****************...
Di dalam kamar yang sunyi, hanya suara angin malam yang menyelinap dari celah jendela.
Pangeran Riana duduk bersandar di sofa dengan tubuh tegap, tetapi sorot matanya tajam dan penuh bahaya. Di depannya, pendeta suci duduk, tidak berani menatap langsung ke mata pria itu.
Di ranjang besar di sisi ruangan, Yuki masih terbaring tanpa sadar. Sejak kemarin, dia belum juga bangun. Nafasnya teratur, tubuhnya dalam kondisi baik menurut Dokter Aurelian, tetapi jiwanya seakan menolak kembali.
“Dia hanya terlalu bersedih,” kata Dokter Aurelian kemarin, setelah selesai memeriksa Yuki. “Dia menolak bangun dari kegelapannya. Dia butuh waktu. Jangan paksa dia sampai dia sendiri yang ingin kembali.”
Namun, waktu bukan sesuatu yang bisa ditunggu dengan tenang oleh Pangeran Riana.
Ia mengalihkan tatapannya dari Yuki ke arah pendeta di hadapannya, lalu berkata dengan suara rendah, tetapi begitu dingin hingga udara di dalam ruangan terasa menegang.
“Jadi kau serta semua pendeta dari awal sudah mengetahui semuanya…”
Mata Pangeran Riana menyipit, napasnya dalam dan terkendali, tetapi kemarahan mengintai di balik ketenangan itu.
“…dan kau menceritakan semuanya hanya pada Yuki. Lalu Sera.
Dan hanya aku yang tidak mengetahui masalah segel suci?”
Suasana dalam ruangan semakin mencekam.
Pendeta itu tetap diam. Tidak ada kata-kata yang bisa diutarakannya untuk membela diri.
Karena apa yang dikatakan Riana benar.
“Kau dan Sera adalah seorang Pangeran yang menjadi harapan rakyat negeri kalian….”
Kata pendeta suci terdengar bergetar, namun belum sempat ia melanjutkan, suara Pangeran Riana membelah udara, lebih tajam dari angin dingin yang berhembus melalui jendela.
“Apa kau pikir Yuki tidak penting hanya karena dia bukan seorang Pangeran sepertiku?”
Pendeta suci terdiam.
“Dia adalah duniaku. Hidupku.”
Kedua tangan Pangeran Riana mengepal, jemarinya bergetar menahan amarah yang membuncah.
“Beraninya kau menyodorkan pisau dan menyuruhnya untuk membunuh dirinya sendiri seperti itu, sementara aku dan Sera berjuang mati-matian untuk ketidakbecusanmu dan kuil ini.”
Tatapan Pangeran Riana semakin gelap. Rahangnya mengeras.
Pendeta suci itu menundukkan kepala, tidak mampu berkata apa-apa. Tidak ada yang bisa ia jadikan alasan untuk membela dirinya kali ini.
Di atas ranjang, Yuki masih tertidur. Diam. Tak bergerak.
Namun di dalam tubuhnya, luka itu tetap ada. Luka yang tidak terlihat, tetapi lebih dalam dari luka mana pun yang pernah ia derita.
“Sekarang bukan saatnya menyalahkan siapa,” suaranya bergetar, tetapi ia memaksakan dirinya untuk tetap berbicara. “Takdir telah bekerja, tetapi Pangeran… kematian Pangeran Sera akan berakibat fatal untuk Putri Yuki.”
Pangeran Riana tidak menjawab, tetapi sorot matanya membara dengan kemarahan yang tertahan.
“Kerajaan Argueda tidak akan membiarkan ini begitu saja,” lanjut pendeta itu. “Putri Yuki adalah istri Pangeran Sera. Kematian Pangeran Sera akan menjadi api yang membakar dendam mereka.”
Ruangan terasa semakin sunyi.
Pangeran Riana menyandarkan tubuhnya ke sofa, matanya masih tajam menatap pendeta itu. Ia tahu. Ia sudah memikirkan itu sejak api di dalam kubah suci padam. Sejak ia melihat tubuh Yuki yang menggigil dalam tangisnya. Sejak nama Sera menjadi abu bersama segel suci.
Argueda akan datang.
Mereka tidak akan tinggal diam.
Dan Yuki…
Yuki mungkin akan membenci dirinya lebih dari yang pernah ia lakukan sebelumnya.
Pangeran Riana menegakkan tubuhnya, tatapannya dingin dan tajam bagaikan pedang yang baru diasah. Ia menyusupkan jemarinya ke rambutnya sejenak, seolah berusaha menahan amarah yang semakin memuncak.
“Jika mereka datang, biarkan saja datang.”
Suaranya rendah, tetapi penuh dengan ancaman yang tidak terbantahkan.
“Jika mereka berani menyentuh Yuki, meskipun hanya seujung rambutnya tanpa izinku…”
Pangeran Riana menatap lurus ke arah pendeta suci, ekspresinya tidak terbaca, namun hawa membunuh yang menguar dari dirinya begitu nyata.
“Aku akan menghancurkan mereka.”
Pendeta suci bergidik, merasakan udara di dalam ruangan seakan menipis.
Tidak ada yang bisa membantah kata-kata Pangeran Riana.
Bagi dunia, Yuki mungkin hanya seorang istri yang kehilangan suaminya.
Tetapi bagi Pangeran Riana, dia adalah dunianya. Dan ia tidak akan membiarkan dunia itu hancur untuk kedua kalinya.