Hana dan Kinan dinyatakan meninggal dalam kebakaran rumah yang dasyat. Daud sebagai suami terpaksa menerima kenyataan tersebut setelah jenazah keduanya ditemukan kosong di dapur rumah mereka. Lalu bagiaman dengan aset yang ditinggalkan Hana yang diwariskan dari almarhum orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YNFitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keluarga Bardi
Keluarga Bardi bukanlah keluarga old money ataupun konglomerat. Namun mereka cukup kaya raya dari bisnis tembakau yang mereka supply ke pabrik roko besar di Indonesia. Perintisnya adalah Saleh Bardi, generasi pertama dalam keluarga Bardi yang membuat keluarganya hidup sejahtera. Saleh Bardi lalu merambah bisnis property dengan membangun dan menjual perumahan asri di pinggiran kota dengan sistem cluster. Meskipun cluster yang dibangun awalnya kecil dan hanya terdiri dari 20 rumah, namun langsung membuat Bardi property menancapkan nama dalam industri property. Dengan meniru konsep perumahan di luar negri yang mengutamakan keamanan dan kenyamana serta fasilitas yang lengkap perumahan pertama yang dibangunnya sukses terjual dalam waktu singkat. Disusul permintaan pasar yang saat itu sedang tinggi, membuatnya kembali membangun perumahan dengan konsep serupa berbeda tema. semua dirintis Saleh bersama istrinya hampir 30 tahun yang lalu.
Sekarang ketiga anaknyalah yang meneruskan usahanya. Ekspansi dan diversifikasi usaha pun dilakukan demi kemajuan dan stabilitas perusahaan.
Saat ini Saleh menikmati masa tuanya dengan tinggal di Magelang dengan berkebun dan menikmati hijau serta sejuknya udara desa. Jauh dari hiruk pikuk nan semrawutnya Jakarta. Hanya sesekali saja dia berangkat ke Jakarta. Selain untuk melihat anak cucunya tentu saja untuk mengontrol bisnisnya sesekali. Selebihnya Saleh lebih sering memantau dari rumahnya yang asri di Magelang.
Namun ketenangan masa pensiunnya mulai terusik sejak beberapa bulan lalu. Diawali dengan laporan keuangan perusahaan yang jelas menunjukan adanya penurunan keuntungan yang sangat besar, sementara proyek dan tender yang mereka kerjakan sangat banyak dan menghasilkan. Saleh terpaksa kembali lebih sering mengawasi perusahaan yang dibangunnya dengan darah dan air mata. Sementara anak-anaknya berkilah bahwa penurunan keuntungan dikarenan lesunya pasar ekonomi global. Perusahaan sebesar mereka pun merasakan dampaknya. Jadi menurut ketiga anaknya hal tersebut wajar. Tapi instingnya yang terlatih sejak puluhan tahun berbisnis membuatnya yakin ada hal lain yang membuat keuangan perusahaan hampir minus. Dan mengambil pinjaman besar ke Bank pun terpaksa dilakukan. Hal yang hampir tidak pernah dilakukan perusahan sejak lebih dari 15 tahun lalu. Bahkan saat itupun Bardi tidak pernah melakukan pinjaman besar untuk proyek ke Bank. Pinjaman yang dilakukan terhitung kecil dan receh untuk tujuan keseimbangan cash flow perusahan, bukan untuk menambal kekurangan.
Dan kini ketenangannya kembali terusik manakala asisten kepercayaannya mengabarkan musibah yang menimpa anak sulungnya. Berulang kali Saleh menghembuskan nafas mencoba menenangkan diri. Berita mengenai mantu dan cucunya yang meninggal terpanggang api di rumahnya sangatlah mengejutkan. Isi kepalanya yang sedang dipenuhi persoalan perusahaan makin berat mendengar musibah yang menimpa anak sulungnya.
Perlahan Saleh berdiri dan menepuk rumput liar yang menempel di bajunya. Saat menerima telpon dari Agus asistennya, Saleh memang sedang berjalan di tengah sawah miliknya. Dan kini dia berencana segera pulang menemui istrinya untuk
berangkat ke Jakarta. Keluarga harus selalu menjadi prioritas.
*****
Saleh dan Halima sudah ditunggu Agus asistennya di Bandara Halim. Tanpa banyak bicara mereka langsung menuju mobil yang dikemudikan langsung Agus. Tujuan mereka rumah lama Saleh di daerah Tebet yang sekarang dihuni Dina dan suami serta anak mereka.
"Pak Daud saat ini sudah keluar dari rumah sakit dan tinggal di apartemennya Pak" ujar Agus memberitahu tanpa diminta
"Apa dia baik-baik saja Gus? Dan apa badannya ada luka atau cedera" tanya Halima
"sepengatahuan saya cedera hanya kakinya saja, sepertinya terluka saat berlari menyelamatkan diri. Tapi tidak parah hanya membuatnya sedikit kesakitan saat berjalan. Mungkin masih terguncang saja" Agus menjawab sejelas mungkin
"Lalu sudah dipastikan jenazah itu Hana dan Kinan" kali ini Saleh yang bertanya
"Sudah Pak. Semalam saya ikut dampingi ke ruang jenazah. mereka tidak dikenali. Tapi Pak Daud mengenali cincin kawinnya yang masih ada di jari Bu Hana serta bandul kalung yang dikenakan bayi Kinan"
Halima dan Saleh menghembuskan nafas keras berusaha melegakan rongga dada mereka. Bagaimanapun Hana sudah memberikannya cucu meskipun kadang Halima merasa jengkel dengan sifat Hana yang menurutnya susah diatur. Dan Kinan, bayi mungil menggemaskan itu baru berusia 4 bulan. Satu-satunya cucu perempuan mereka karena Dina dan Henry hanya memiliki anak laki-laki. Satu hal yang mereka banggakan dan sempat membuat David merasa menjadi pecundang karena anaknya terlahir perempuan. Hal ini juga yang sempat memicu pertengkaran Halima dan Hana karena Halima tidak terima melihat Hana menjawab garang ucapan Daud karena mengungkapkan kekecewaannya memiliki anak perempuan. Halima merasa seharusnya Hana diam saja dan terima kemarahan Daud. Karena sebagai anak pertama yang menikah paling akhir pasti berharap anaknya lelaki sebagaimana kedua adiknya. Gen Bardi memang kuat melahirkan anak laki-laki. Satu-satunya perempuan di generasi anak mereka hanya Dina, selebihnya anak dari keluarga besar Saleh Bardi melahirkan anak berjenis kelamin laki-laki. Jadi bisa dibayangkan kekecewaan Daud.
"kapan rencana pemakamannya?" Saleh memutus keheningan
"Belum tahu pak, menurut Bu Dina mungkin besok. Hari ini Bu Dina akan mengurus untuk persiapan besok ke Kamboja (perusahaan pengurusan jenazah)"
"Apakah akan dimakamkan di San diego atau dibawa ke Bogor?" Halima memastikan karena keluarga besar Hana berasal dari Bogor.
"Saya kurang tahu Bu, mungkin bisa langsung tanya Bu Dina atau Pak Daud" jawab Agus
"ck.. " Halima berdecak kesal dan entah apa yang membuatnya kesal. Agus hanya diam sementara Saleh diam sambil melihat kemacetan Jakarta melalui kaca mobilnya. Isi kepalanya tentu saja penuh dengan banyak pertanyaan yang butuh jawaban. situasi ini berlangsung sampai mereka tiba di Tebet dimana Dina dan Karim suaminya sedang makan siang.
***
"jadi mereka tetap minta dimakamkan di Bogor?"
"Iya Bu, Dina sudah bilang sudah siap di San diego tapi mereka bilang ada komplek pemakaman keluarga milik mereka sendiri. jadi ya sudahlah. kavlingnya jual saja lagi besok, atau over ke siapa" Jawab Dina enteng.
"Kapan jenazahnya mulai diurus?" Saleh yang mengeluarkan suara
"Rencana besok, tapi keluarga minta jika hari ini bisa malam sekalipun segera dilakukan. Pihak Rumah sakit berkoordinasi dulu dengan polisi tadi jadi ini kita menunggu"
"Lah Daud di apartemen, terus kamu disini dan Henry dan Karim di kantor, lalu siapa yang bertanggung jawab di rumah sakit" tanya Saleh sedikit kesal
"ckk. Kan Dina bilang tadi Pak kalau keluarganya minta dimakamkan di Bogor, jadi ya sekalian Dina suruh mereka yang urus dari rumah sakit. Dari rumah Kamboja tetap ada juga stand by. Sudahlah, lebih baik Bapak sama Ibu makan dan istirahat dulu, atau telpon Bang Daud"
"huh biar Bapak saja yang telpon abangmu, Ibu mau makan dan istirahat saja" jawab Halima sambil berdiri menuju ruang makan. Dina ikut bangun menemani Halima sedangkan Saleh meraih Hp di sakunya lalu mulai menelpon Daud
****
Dina, Henry, Karim serta Saleh dan Halima beserta cucunya sudah berkumpul. Daud nampak kusut. Selain keluarga inti Saleh Bardi ada adik dan kaka dari Saleh dan Halim beserta keluarga besar mereka. Saat ini mereka berkumpul di rumah yang ditempati Dina sebelum bertolak ke Bogor.
"ckk.. Kita sebagai keluarga inti Hana dan bayinya seperti tidak punya wewenang saja, keluarga mereka langsung membawa mereka ke Bogor setelah dimandikan di rumah sakit. Bahkan itupun tanpa menunggu Daud yang jauh lebih berhak" Sardi adiknya Saleh berkata kesal. Sementara Daud hanya tertunduk diam.
Yang lain diam tenggelam dengan pikiran mereka sendiri. Apakah mereka bersedih? Terus terang siapapun yang melihat mereka hanya Daud yang terlihat terpuruk, yang lainnya lebih terlihat kesal karena kegiatan mereka harus terganggu.
" Mobil sudah siap semua, sudah bisa berangkat" Agus langsung berkata pada semua begitu masuk ke ruang tamu.
Lagi, mereka menghela nafas dan seperti malas berdiri lalu menuju halaman yang sudah penuh berjejer mobil yang akan membawa keluarga Bardi ke Bogor. ada 11 mobil yang diisi keluarga Bardi. cucu keluarga Bardi masuk ke dalam salah satu alfard dan yang masih kecil beserta pengasuhnya masuk ke mobil Hiace. Selebihnya para orang tua memasuki mobil masing-masing yang tentu saja menggunakan sopir.
Di salah satu mobil milik keluarga Bardi tampak percakapan yang menegangkan.
"yang jelas perempuan itu sekarang sudah meninggal dan tidak bisa lagi mengurusi penjualan aset yang di sukabumi. Kita hanya perlu melobi pengacaranya saja. Usahakan uang hasil penjualan Rabu besok masuk ke rekening yang sudah disiapkan. Dan sebisa mungkin jangan sampai berita perempuan ini terdengar oleh Pak Isman sebelum hari Rabu besok" sebuah suara bariton laki-laki dengan tegas memerintahkan. Sementara penumpang lainnya hanya diam saja. Sopir mereka pura-pura tak mendengar. Selebihnya perjalanan diisi keheningan sampai mereka tiba di rumah duka keluarga Hana di Bogor.
Di mobil yang lain penumpangnya hanya diam menatap lurus ke jalan raya. Tidak ada yang bisa membaca isi kepalanya. Tapi yang jelas kepalanya sedang berfikir dan membuat perhitungan. Bibirnya sedikit terangkat tersenyum tipis begitu selesai menghitung rupiah yang bisa dikantonginya.
Di mobil lain Saleh dan Halima terlibat pembicaraan yang sejak tadi ditahannya. Keberadaan Agus yang menyopiri mereka tidak membuatnya khawatir. Mereka sangat percaya kepada asistennya.
"Secara hukum berarti semua milik Hana akan menjadi milik Daud. Begitu kan Pak?" tanya Halima
Saleh terdiam tidak menjawab. " meskipun itu adalah warisan dari orang tuanya, keluarganya tentu tidak memiliki hak karena saat ini Hana sudah terikat pernikahan dengan Daud. Dan anaknya pun ikut mati bersama ibunya" ujar Halima dingin. Agus diam saja tak bereaksi, namun Saleh langsung menatap istrinya
"Sebaiknya Ibu tidak banyak bicara, jangan sampai keluarga Hana mendengarnya. Biar itu kita bicarakan setelah Hana dimakamkan. Mungkin setelah 40 hari "
"halah kelamaan" potong Halima ketus. " si Hana kan bodoh, pastikan saja anakmu segera mengamankan semua surat tanah dan surat berharga lain milik Hana. Keluarganya tidak akan pernah bisa berkutik karena Daud suaminya dan ahli waris yang sah secara hukum. keluarganya tidak akan bisa menggugat"
Saleh akhirnya diam membiarkan ucapan istrinya begitu saja. Keadaan ini terus berlangsung sampai mereka tiba di Bogor.