Menjalin asmara bertahun-tahun tak menjanjikan sebuah hubungan akan berakhir di pelaminan.
Begitulah yang di alami oleh gadis bernama Ajeng. Dia menjalin kasih bertahun-tahun lamanya namun akhirnya di tinggal menikah oleh kekasihnya.
Namun takdir pun terus bergulir hingga akhirnya seorang Ajeng menikahi seorang duda atas pilihannya sendiri. Hingga akhirnya banyak rahasia yang tidak ia ketahui tentang suaminya?
Bagaimanakah Ajeng melanjutkan kisahnya??
Mari kita ikuti kisah Ajeng ya teman2 🙏🙏🙏
Selamat datang di tulisan receh Mak othor 🙏. Mohon jangan di bully, soale Mak othor juga masih terus belajar 😩
Kalo ngga suka ,skip aja jangan kasih rate buruk ya please 🙏🙏🙏🙏
Haturnuhun 🙏🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ibu ditca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Bersabarlah
Ranu menatap gadis yang ia cintai sejak belia itu menggowes sepedanya dengan cepat. Sungguh, dalam hati kecilnya pun ia tak rela mengakhiri hubungannya dengan Ajeng.
Hanya saja...dia juga tak kuasa menolak keinginan ayahnya dan ayah Novita yang menginginkan mereka segera menikah.
Padahal ayah Ranu sendiri juga sadar jika selama ini sang putra menjalin kasih dengan Ajeng. Perasaan tak enaknya karena atas bantuan Novita dan orang tuanya lah secara tidak langsung Ranu bisa memiliki posisi seperti sekarang ini.
Novita tiga tahun lebih tua dari Ranu, namun meski begitu sepertinya usia bukanlah kendala bagi mereka.
Yang pasti, ayah Novita juga berharap sang putri segera menikah. Apalgi keduanya sama-sama menjadi seorang pegawai. Sebuah kebanggaan bagi dua keluarga tersebut bukan?
"Nu!", Bu Suryati alias ibunya Ranu mendekati anaknya yang masih berdiri menatap Ajeng yang menjauh.
"Aku jahat sekali ya Bu!", ujar Ranu tanpa menoleh ke ibunya. Bu Suryati mengusap pelan bahu anaknya.
"Cepat atau lambat, Ajeng akan mengetahuinya Nu. Kalau semakin lama di tunda, Ajeng akan semakin sakit hati."
Helaan nafas keluar dari bibir pemuda itu. Ia memilih meninggalkan ibunya dan masuk ke dalam rumah untuk mengambil tasnya.
Di sisi lain, Ajeng buru-buru meletakkan sepedanya. Gadis itu masuk ke rumah dan tujuannya adalah kamar mandi.
Ajeng menangis terduduk di bawah kran yang ada di dalam ruang sempit itu.
Gadis itu melipat kedua kakinya sambil memeluknya begitu erat. Hati siapa yang tak sakit jika harus mengalami hal seperti Ajeng?
Bertahun-tahun menjalin asmara tak menjamin akhirnya sampai di pelaminan!
"Kamu jahat mas Ranu! Kamu jahat hiks....hiks...hiks....!", gadis itu menunduk dalam masih dengan memeluk kakinya.
Amri pulang dari pasar. Ia memang tak menemani istrinya berjualan. Pekerjaannya memang lebih sering di luar.
Dilihatnya sepeda Ajeng yang terjungkal di dekat pintu dapur. Amri membenahi sepeda Ajeng lebih dulu baru ia masuk ke dalam rumah.
Rumahnya yang tak terlalu besar itu membuat Amri bisa mendengar jika ada yang berada di kamar mandi.
Amri pikir, anak gadisnya sedang mandi. Ia pun menuju ke dapur. Melihat lauk yang istrinya siapkan untuk Ajeng masih utuh tak tersentuh.
"Kok yo belum sarapan tuh bocah!", monolog Amri.
Lamat-lamat Amri mendengar tangisan dari kamar mandi. Suara air yang sepertinya sudah tumpah itu terdengar bergemericik.
"Ajeng mandi apa tidur? Kaya suara nangis?", monolog Amri.
Ia pun penasaran.
Tok...tok....
"Ajeng, di dalam tah?", tanya Amri. Tangisan Ajeng berhenti. Gadis itu sudah basah kuyup dengan pakaian yang masih melekat di tubuhnya.
Di hapusnya air mata itu dengan cepat. Sayangnya, matanya sudah terlanjur sembab.
"Ajeng???!", panggil Amri sekali lagi. Tangan lelaki itu hampir mendorong paksa pintu kamar mandi hingga akhirnya terbuka dari dalam.
"Astaghfirullah, Ajeng!", pekik Amri. Ajeng masih sesegukan.
Reflek, Amri menyambar handuk yang ada di jemuran kecil dekat kamar mandi.
Ia menutupnya ke bahu Ajeng.
"Ganti baju sekarang!", pinta Amri. Ajeng yang masih menangis pun tetap menuruti permintaan bapaknya.
Sepuluh menit berlalu, Ajeng sudah berpakaian rapi. Piyama berbahan kaos menjadi pilihannya saat ini. Toh, ia tidak akan kemana-mana lagi.
"Minum dulu!", Pak Amri menyodorkan segelas teh hangat dan pisang goreng yang tadi ia hangatkan.
Ajeng terus menuruti apa yang bapaknya katakan. Usai menyesap tehnya, Ajeng menggenggam gelas kaca yang masih cukup hangat di telapak tangannya.
"Kamu sudah bertemu Ranu?", tanya Amri tiba-tiba. Ajeng pun mendongakkan kepalanya menatap bapaknya.
"Iya pak!", jawab Ajeng dengan suara parau.
"Dia sudah ngomong langsung sama kamu kalau dia sudah melamar Bu guru dari desa sebelah?", tanya Amri lagi.
Ajeng mengerjapkan matanya pelan. Air matanya kembali meleleh.
"Bapak sudah tahu sebelumnya?", tanya Ajeng dengan suara bergetar.
"Iya! Bapak tahu, itu pun mendengar dari orang lain! Bukan dari Ranu!", jawab lelaki matang tersebut.
Air mata Ajeng kembali meleleh. Gadis itu yakin, bukan hanya dirinya yang kecewa orang tuanya pun sama.
"Bapak tidak mau bicara hal ini sama kamu, bukan karena bapak ngga sayang sama kamu. Tapi bapak justru ingin Ranu yang mengatakannya secara langsung ke kamu."
Ajeng menggigit bibirnya karena masih saja ia terisak pelan.
"Bersabarlah Jeng! Ranu memang bukan jodoh kamu'', kata Amri mengusap puncak kepala sang putri dengan pelan.
Ajeng hanya bisa menganggukkan kepalanya.
"Insyaallah Ajeng ikhlas, Pak!", ujar Ajeng dengan suaranya yang serak.
"Allah pasti sudah menyiapkan rencana terbaik untuk mu di masa depan nanti! Untuk hari ini, menangis sepuas kamu! Sampai kamu lega selega-leganya! Tapi hari besok, kamu sudah tidak ada waktu untuk menangisi Ranu lagi!", kata Amri tegas.
Ajeng semakin kencang menangis sambil memeluk perut bapaknya.
Amri mengusap puncak kepala Ajeng dengan lembut. Hati ayah mana yang tega melihat anak gadisnya menangis seperti ini?
Ternyata sebanyak apa pun harta yang bapak kumpulkan tetap tidak bisa sepadan dengan neraka, Nak! Maafkan bapak yang tak bisa memberikan semua yang terbaik untuk kamu!
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
"Dua kilo ngga kurang nih Bu Haji?", tanya Jaenah ramah pada pelanggannya.
"Insyaallah cukup Bu Jen!", sahut perempuan paru baya itu.
"Jaenah Bu Haji, kalo Bu Jen nanti di kira personil black pink hehehe."
Bu Haji pun tertawa mendengar celetukan Jaenah yang ramah. Pantas kiosnya selalu ramai meski ia jaga sendirian. Tak sedikit yang iri pada kios Jaenah yang selalu ramai tiap harinya.
Setelah membayar belanjaannya, Bu Haji pun pergi. Bu Jaenah sedang menghitung uang dagangannya.
"Bu Jen!", panggil seseorang. Jaenah yang sedang menunduk pun mendongakkan kepalanya.
"Bu Yati?!", sapa Jaenah. Wajah Bu Suryati tampak serius ,itu yang Jaenah lihat.
" Mau belanja apa?", tanya Jaenah lagi. Bu Suryati menggeleng pelan.
"Ajeng sudah tahu, tadi pagi dia ke rumah."
Jaenah menghela nafas panjang. Akhirnya hal ini terjadi juga.
"Alhamdulillah kalau Ajeng sudah tahu, Bu."
Bu Suryati menganggukkan kepalanya. Pensiunan guru itu terlihat sekali tak enak hati pada Jaenah.
"Sudah Bu Yati, jangan terlalu di pikirkan. Insya Allah Ajeng ngga apa-apa. Lagi pula, mereka kan hanya pacaran. Belum sampai ke tahap lamaran apalagi menikah. Ngga apa-apa!", kata Jaenah.
Obrolan dua orang ibu itu pun selesai setelah Bu Suryati pergi. Jaenah duduk lemas setelah berpura-pura tegar di depan ibunya Ranu.
Mulut memang bisa berkata demikian, tapi hati??? Sebagai seorang ibu yang melahirkan Ajeng, tentu ia pun turut bersedih mengetahui apa yang terjadi dengan putrinya.
Jaenah teringat akan ucapan Ajeng yang berbicara tentang masa depannya dengan Ranu.
Tapi nyatanya...mereka tidak berjodoh!
Sabar ya, Nduk! Insya Allah kamu akan mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik dari Ranu! Begitu lah doa seorang ibu yang berharap kelak anaknya dapat menemukan kebahagiaannya suatu saat nanti!
💐💐💐💐💐💐💐
terimakasih 🙏🙏🙏
jodohnya Ajeng belom nongol ya 😅😅😅🙏
km tuh cm gede mulut doank resti... tpi kenyataan nol besar... krja gaji cm cukup buat beli make up... tpi songongmu g ktulungan...
biar tau rasa tuh ibumu yg pilih kasih...