Karya ini menceritakan tentang seorang karakter utama yang di reinkarnasi menjadi semut di dunia fantasy.
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HZ77, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya Karena Sepotong Roti?
Langkahnya masih goyah. Setiap gerakan terasa aneh dan tidak natural. Dia mencoba menyesuaikan diri dengan tubuh barunya, tetapi hasilnya tetap mengecewakan. Seolah-olah setiap bagian tubuh ini bukanlah miliknya.
“Astaga… jalan saja susah,” keluhnya, berusaha menyeret tubuh kecilnya melewati ranting-ranting yang baginya sekarang tampak seperti batang pohon raksasa.
Kakinya—enam jumlahnya—bergerak secara otomatis, tetapi dia belum terbiasa dengan ritme barunya. Rasa frustrasi mulai muncul. Jika saja dia masih memiliki tubuh manusia, dia pasti sudah berlari menjauh dan mencari jalan keluar. Namun sekarang, dia hanya bisa merangkak seperti makhluk kecil yang baru belajar berjalan.
Namun, di tengah segala kebingungan itu, sesuatu yang aneh mulai terasa.
Ada semacam aliran di sekelilingnya.
Bukan angin, bukan suara, bukan juga sesuatu yang bisa ia lihat dengan jelas. Lebih tepatnya… seperti air yang mengalir ke arah tertentu. Rasanya seperti ada sesuatu yang membimbingnya, semacam arus yang bergerak perlahan tetapi pasti.
“Apa ini?”
Rasa penasaran mulai mengusik pikirannya. Arus ini terasa familiar, meskipun dia tidak bisa menjelaskan kenapa.
Tanpa sadar, tubuhnya mulai bergerak mengikuti aliran itu.
Semakin jauh ia berjalan, semakin kuat arus yang ia rasakan. Seolah-olah sesuatu di depan sedang menariknya ke sana. Meskipun ragu, nalurinya berkata bahwa mengikuti aliran ini adalah keputusan terbaik.
Beberapa saat kemudian, dia akhirnya tiba di suatu tempat yang cukup terbuka. Cahaya matahari menembus celah-celah dedaunan yang besar, menerangi sebuah objek yang tampak bersinar di matanya.
Secuil roti.
Atau lebih tepatnya, sebuah potongan roti yang tampak besar di matanya yang kecil.
“Oh, makanan!” serunya dalam hati.
Perutnya yang sedari tadi kosong tiba-tiba meronta. Tanpa berpikir panjang, dia segera berlari ke arah roti itu dengan tubuh kecilnya yang masih belum sepenuhnya stabil.
Dia menggigit roti itu dan—
“Ini enak!”
Roti yang ia kunyah memiliki rasa yang jauh lebih intens daripada yang ia bayangkan. Apakah karena tubuhnya yang sekarang berbeda? Atau apakah karena ini adalah makanan pertama yang ia makan sejak tiba di dunia ini?
Dia tidak peduli. Yang penting, dia bisa mengisi perutnya yang kosong.
Namun, di tengah asyiknya menikmati makanan, bulu-bulu halus di tubuhnya tiba-tiba meremang.
Suasana di sekitarnya berubah.
Awalnya, dia tidak menyadarinya. Tapi sekarang, dia bisa merasakan ada sesuatu yang aneh. Udara terasa lebih berat, seolah-olah ada bahaya yang mengintai.
Instingnya berteriak.
Perlahan, dia melirik ke samping.
Dari balik semak-semak kecil, segerombolan makhluk muncul.
Semut.
Tapi bukan sembarang semut.
Semut merah.
Mereka keluar dengan barisan yang rapi, seolah sedang melakukan invasi. Ukuran mereka sama dengannya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa… tidak nyaman.
Musuh.
Dia tidak tahu kenapa, tetapi melihat mereka membuat darahnya mendidih. Seolah-olah tubuhnya memiliki ingatan sendiri.
Semut hitam dan semut merah adalah musuh bebuyutan.
Dan sekarang, dia sendirian di tengah-tengah mereka.
Begitu dia menggerakkan satu kakinya, bahkan hanya sedikit saja, semut merah langsung bereaksi.
Seolah-olah mereka sudah menunggu sinyal itu, tubuh-tubuh kecil dengan rahang tajam berbaris maju dengan kecepatan yang mengerikan. Barisan mereka bergerak seperti gelombang yang hendak menelannya hidup-hidup.
"Sial...!"
Ketakutan menyergap dirinya. Tubuh kecilnya gemetar melihat musuh yang jumlahnya terlalu banyak. Bahkan jika dia masih seorang manusia, menghadapi gerombolan sebesar ini akan tetap membuatnya ciut nyali.
Namun, tepat ketika dia hampir pasrah…
*Srekkkk!
Tanah di depannya bergemuruh, dan sesuatu menerobos dari sisi lain. Koloni semut hitam muncul dari balik dedaunan, menyerbu seperti prajurit yang datang untuk merebut medan perang.
Mereka tidak hanya maju secara membabi buta. Tidak seperti semut merah yang menyerang secara frontal, semut hitam tampak bergerak dengan koordinasi yang rapi.
Mereka menembus barisan musuh dengan formasi khusus, menciptakan jalur lurus menuju ke arahnya.
Pertempuran pun meletus.
Semut merah menyerang lebih agresif, rahang mereka mengatup dengan bunyi klik klik mengerikan, merobek tubuh lawan tanpa ampun. Namun, meskipun mereka unggul dalam serangan individu, semut hitam lebih taktis.
Mereka bertempur dalam formasi terorganisir, mengepung lawan secara berkelompok dan menyerang titik lemah mereka. Seakan-akan ada pemimpin yang mengatur strategi mereka.
Dia hanya bisa terdiam.
Pertempuran ini lebih dari sekadar perkelahian antar serangga. Ini adalah peperangan—dengan strategi, manuver, dan kekejaman yang nyata.
Di tengah semua kekacauan itu, tiba-tiba…
*Ding!
Sebuah cahaya samar muncul di hadapannya. Seperti layar transparan yang sering ia lihat di novel atau komik bertema fantasi.
[Sistem Aktif]
“Apa…?”
Saat dia masih berusaha memahami apa yang terjadi, suara lembut terdengar di pikirannya.
[Hai, aku adalah 'Pemandu']
Suara perempuan. Tenang, jelas, dan entah kenapa… familiar.
Dia mengerjap, merasa aneh karena suara itu terdengar langsung di dalam pikirannya. Pada saat yang sama, kalimat tersebut juga muncul dalam window sistem di depannya.
[Aku di sini untuk membantumu bertahan di dunia ini.]
[Selamat datang di kehidupan barumu, wahai Semut yang Terpilih.]
...~𝙱𝚎𝚛𝚜𝚊𝚖𝚋𝚞𝚗𝚐~...