Mentari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Tari dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perkara Bedak
“Mas, minta duit dong. Bedakku habis,” ucap Tari sembari menodongkan tangannya tepat di depan suaminya. Wajahnya terlihat datar, tetapi di balik itu ada harapan besar bahwa kali ini Teguh tidak akan menolak permintaannya.
Teguh, yang baru saja selesai menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, kembali mendengus. “Nggak ada! Bulan ini kita harus berhemat!” jawabnya tegas, tanpa ragu.
Teguh terdiam sejenak, mencoba memahami alasan Teguh. Namun, di dalam hatinya, ia tahu, ini bukan soal hemat. Bagi Tari, Teguh selalu mencari alasan untuk tidak memberinya lebih.
Teguh menolak mentah-mentah permintaan Tari. “Gak ada, Tari. Jangan maksa!” ucapnya dengan nada lebih keras, membuat Tari menahan napas sesaat.
Tari tak menyerah. “Cuma 30 ribu aja, Mas. Itu pun bedaknya bisa sampai setahun baru habis! Bukan sesuatu yang boros, kan?” balasnya dengan suara lebih pelan, berusaha menenangkan suaminya.
Namun, bukannya mereda, emosi Teguh justru semakin tersulut. “Gak ada ya, gak ada, Tari! Kamu kan tahu gaji aku cuma berapa? Belum lagi aku harus menghidupi satu keluarga besar ini. Kamu pikir uang itu cuma buat kamu? Lagi pula, buat apa sih kamu pakai bedak segala? Kamu udah kawin ini, gak bakal ada yang lirik kamu walau kamu bedakan sekalipun!” sarkasnya dengan nada menusuk, melantur ke mana-mana.
Kata-kata Teguh seperti pisau yang menancap dalam di hati Tari. Ia terdiam, menelan ludah untuk mengusir rasa sesak di tenggorokannya. Betapa sulitnya meminta uang dari suaminya ini. Bukan hanya soal penolakan, tapi juga penghinaan yang sering kali menyertai setiap permintaannya.
Di dalam hati, Tari menghitung kembali. Gaji Teguh sebesar dua juta lima ratus ribu rupiah. Jika setiap hari Teguh hanya mengeluarkan uang 25 ribu untuk kebutuhan rumah tangga, itu berarti dalam sebulan totalnya hanya 750 ribu. Masih ada sisa lebih dari satu juta. Namun, ke mana uang itu? Mengapa setiap kali Tari meminta sedikit saja, Teguh selalu bersikap seperti ini?
“Mas... aku nggak minta banyak. Aku cuma minta sedikit aja buat kebutuhan. Apa aku salah?” tanyanya pelan, hampir seperti berbisik. Namun, Teguh tidak menjawab, ia hanya mengangkat tasnya dan berjalan keluar kamar, meninggalkan Tari yang berdiri terpaku dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Mas, cuma 30 ribu aja, kamu pelit banget sih! 25 ribu sebulan itu baru 750 ribu, gajimu masih sisa satu juta lebih, kan? Kenapa sih nggak bisa kasih sedikit saja?” Tari tetap bersikeras, tak ingin menyerah. Ia sudah lelah berjuang keras di rumah ini, mengurus segala urusan rumah tangga. Masa iya, hanya bedak seharga 30 ribu saja suaminya tidak mau beri!
“Sekarang aku minta jatah nafkahku!” ujar Tari dengan nada menuntut, matanya tajam memandang Teguh, berusaha menunjukkan ketegasan. Ia sudah lama merasa tak dihargai.
Teguh berdecak kesal mendengar kata-kata itu, seolah tidak suka dengan keberanian Tari untuk menuntut haknya. Tak ayal, ia pun mengeluarkan dompet dari saku celananya dengan kesal, lalu membukanya dengan tergesa-gesa.
“Nih, cuma ada segini!” kata Teguh dengan suara mendengus, sembari menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah. “Belilah kau bedak Kelly, nggak perlu lah beli yang Mardah, yang harganya selangit itu!” pungkasnya sambil menggerakkan tangannya dengan sikap kasar.
Sungguh, Tari terdiam melihat uang yang diberikan Teguh—hanya sepuluh ribu rupiah. Matanya terbuka lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja diterimanya.
Semangat thor