NovelToon NovelToon
Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / CEO / Cinta Seiring Waktu / Pengasuh
Popularitas:39.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ra za

Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.

Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.

Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

34 Kabar Buruk

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Pagi ini, Nayla telah bersiap untuk pulang ke rumahnya. Sudah pasti bersama Leon.

Sebelum mereka berangkat, Gaby menghampiri Nayla dan tersenyum hangat.

“Nayla, sampaikan salamku untuk ayahmu, ya. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan,” ucap Gaby tulus.

Nayla membalas dengan senyuman, “Terima kasih, Nyonya. Akan saya sampaikan.”

Leon sudah duduk di kursi rodanya. Nayla pun mulai mendorong kursi itu menuju mobil yang sudah menunggu di depan.

belum sempat mereka sampai ke mobil, suara dering ponsel dari dalam tas Nayla terdengar. Ia segera mengambilnya dan melihat layar ponsel. Nama bibinya tertera di sana.

“Siapa?” tanya Leon sambil menoleh ke arah Nayla.

“Bibi, Tuan,” jawab Nayla singkat. Ia sempat berpikir kenapa pagi-pagi sekali sang bibi sudah menelepon. Namun belum sempat ia menyimpulkan sesuatu, jantungnya tiba-tiba berdebar lebih kencang, seperti memberi isyarat bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.

Dengan ragu, Nayla mengangkat panggilan itu. “Hallo, Bi?”

Suara di seberang terdengar panik. Nayla diam, tubuhnya perlahan melemas. Tanpa sadar, tangannya yang memegang ponsel menurun pelan. Matanya mulai berkaca-kaca, lalu air mata jatuh membasahi pipinya.

“...Ayah…” gumamnya nyaris tak terdengar.

Leon yang sedari tadi memperhatikan ekspresi Nayla langsung panik. “Nay, ada apa? Katakan padaku…”

Dengan suara bergetar, Nayla menjawab, “Ayah… Tuan, ayah masuk rumah sakit…”

Leon langsung tersentak. “Apa? Rumah sakit? Ayo, kita harus ke sana sekarang juga!”

Dari depan pintu, Gaby yang masih berdiri menyaksikan semuanya langsung menghampiri mereka. “Kenapa? Ada apa dengan Nayla?”

Leon yang menjawab, “Ayah Nayla masuk rumah sakit ma.”

Gaby sontak panik. “Tunggu apa lagi? Cepat, kita berangkat sekarang!”

Mereka bertiga langsung masuk ke mobil yang sudah menunggu. Supir Leon segera melajukan kendaraan dengan kecepatan maksimal. Di sepanjang perjalanan, Nayla duduk dalam diam. Matanya sembab, wajahnya pucat. Ia menatap lurus ke depan, berharap kabar buruk itu tidak menjadi akhir yang menakutkan.

Leon sesekali menoleh, tapi tak ingin memaksanya bicara. Ia tahu, Nayla sedang berperang dengan ketakutan dalam pikirannya.

Gaby yang duduk di samping Nayla menggenggam tangannya. “Nayla, tenangkan dirimu, sayang. Ayahmu pasti kuat. Jangan berpikiran macam-macam, ya…”

Nayla hanya mengangguk pelan, tak mampu berkata apa pun.

Setibanya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruang ICU. Di depan ruangan itu, terlihat sosok yang sangat dikenali Nayla. Wajah perempuan itu tampak lesu, matanya sembab.

"Bibi!" seru Nayla, langsung menghampiri.

Mereka berpelukan erat. Tangis Nayla pecah dalam pelukan bibinya.

"Bibi, bagaimana keadaan ayah?" tanya Nayla dengan suara serak.

Sebelum sempat dijawab, seorang dokter keluar dari ruang ICU dan menghampiri mereka.

"Nayla..." sapa dokter itu pelan, jelas sudah mengenalnya.

"Dok, bagaimana keadaan Ayah saya?" tanya Nayla tanpa basa-basi, suaranya bergetar.

Dokter menarik napas panjang.

"Kami sudah melakukan yang terbaik. Tapi... kondisi beliau semakin memburuk. Penyakit gagal ginjalnya memasuki tahap kritis dan kini mengalami komplikasi. Meskipun selama ini sudah rutin menjalani pengobatan, tubuh beliau tidak merespon sebaik yang kami harapkan."

Nayla seperti kehilangan tenaga di kakinya, tubuhnya limbung. Ia berpegangan pada dinding agar tidak jatuh. Air matanya kembali mengalir tanpa bisa ditahan.

"K-kritis? Dok... ayah saya akan selamat, kan?"

Dokter menatapnya dalam, tidak memberi harapan palsu.

"Kami sedang melakukan semua yang kami bisa, Nayla. Tapi... kamu harus bersiap untuk kemungkinan terburuk."

Gaby dengan sigap memeluk Nayla dari samping, menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

"Kamu tidak sendiri, Nay. Kami semua ada di sini untukmu," bisiknya lembut, penuh ketulusan.

Leon yang tak bisa bergerak dari kursinya, hanya bisa mengepalkan tangan dan menatap dokter.

"Dok, lakukan apapun yang dibutuhkan untuk menyelamatkan Ayah Nayla… tolong lakukan. Saya akan bantu semua biayanya."

Dokter mengangguk,

"Baik, Tuan. Kami akan berusaha semaksimal mungkin."

Setelah itu dokter kembali masuk ke ruang ICU, meninggalkan mereka dalam keheningan yang menyesakkan.

Nayla masih menangis dalam pelukan Gaby, sementara Leon menatap ke arah pintu ICU dengan sorot mata penuh tekad. Ia tahu betul, ini bukan hanya tentang kesehatan Ayah Nayla, ini juga tentang perjuangan Nayla, wanita yang kini sangat berarti dalam hidupnya.

Nayla masih setia duduk di bangku tunggu, tak bergeming sejak siang tadi. Wajahnya pucat, matanya sembab, tapi ia tetap bertahan. Ia tak ingin jauh dari ayahnya, seolah kehadirannya di sini bisa menjaga harapan tetap menyala.

Leon duduk tak jauh darinya. Pria itu menemaninya tanpa banyak bicara, hanya sesekali menatap Nayla dengan tatapan penuh perhatian. Padahal Nayla sudah beberapa kali memintanya untuk pulang dan beristirahat.

“Tuan… ini sudah malam. Pulanglah, nanti Tuan kelelahan,” ucap Nayla lirih, suaranya lemah tapi tetap sopan.

Leon menoleh pelan, senyumnya tipis namun tulus. “Tidak apa-apa, Nayla. Aku akan tetap di sini menemanimu.”

Nayla tak membalas. Ia hanya mengangguk kecil. Baginya, keberadaan Leon memang sangat berarti. Meski diam, pria itu seakan menjadi sandaran di tengah badai yang sedang ia hadapi.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Rafa muncul sambil membawa paperbag berisi makanan dan pakaian. Ia menghampiri Leon dan Nayla dengan langkah tenang.

“leon, ini makanan dan pakaian yang kau minta,” ujar Rafa, menyerahkan bungkusan itu.

Leon menerima dengan anggukan singkat. “Terima kasih, Rafa.”

“Sama-sama.” Rafa melirik ke arah Nayla yang tampak lelah. “Apa aku boleh tetap di sini,? Kalau kalian butuh sesuatu, aku bisa bantu.”

Leon menggeleng pelan. “Tidak perlu, Rafa. Pulang saja. Besok pagi kau harus ke kantor.”

Rafa mengangguk. “Kalau begitu, baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, segera hubungi aku!.”

Sebelum pergi, Rafa menghampiri Nayla dan menepuk bahunya dengan lembut. “Kuat ya, Nayla. Kami semua mendoakan Ayahmu.”

“Terima kasih, kak Rafa…” ucap Nayla pelan, suaranya hampir tak terdengar.

Setelah Rafa pergi, ruang itu kembali sepi. Hanya suara detak jam dan dengung AC yang terdengar.

Leon membuka bungkus makanan yang dibawa Rafa. Ia menata makanan di meja kecil, lalu mendekatkan ke arah Nayla.

“Nayla, ayo makan. Dari pagi kau belum makan apa-apa.”

Nayla menggeleng lemah. “Saya tidak lapar, Tuan.”

Leon menarik napas sabar. “Kamu harus makan, Nayla. Walaupun sedikit. Kalau kamu sampai sakit, bagaimana ayahmu? Siapa yang akan menjaganya?”

Kata-kata Leon menampar kesadaran Nayla. Ia menunduk, menggenggam jemarinya sendiri yang dingin.

“Benar yang Tuan katakan… aku tidak boleh lemah seperti ini.” batinnya lirih.

“Baiklah…” jawab Nayla akhirnya.

Leon tersenyum dan mulai menyuapi Nayla perlahan. Mereka makan dalam diam, tapi suasana tak lagi seberat sebelumnya. Ada sedikit kehangatan di tengah dinginnya malam.

Tak lama setelah itu, pintu kembali terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk bersama seorang pria berpenampilan sederhana tapi rapi. Itu adalah Bibi Nayla dan suaminya, yang baru datang dari luar kota.

“Nayla, kamu sudah makan, Nak?” tanya sang Bibi lembut sambil mendekat dan menyentuh bahu Nayla.

“Sudah, Bi. Baru saja selesai,” jawab Nayla dengan suara yang mulai pulih sedikit demi sedikit.

Sementara itu, Leon menjabat tangan suami bibi Nayla.

“Saya Leon,” ucapnya sopan.

“Saya Romi, pamannya Nayla. Terima kasih sudah menemani keponakan saya.” Ucapan itu tulus, dan diiringi tatapan hormat.

“Tidak masalah, Paman. Saya senang bisa berada di sini untuk Nayla,” balas Leon.

“Nak Leon, kamu tidak pulang?” tanya sang Bibi.

Leon menggeleng. “Tidak, Bi. Saya akan tetap di sini menemani Nayla.”

Bibi Nayla hanya mengangguk kecil dan tersenyum, tampak terharu melihat perhatian pria itu.

Beberapa menit kemudian, dokter masuk ke ruangan. Semua mata langsung tertuju padanya.

“Maaf, kami hanya ingin melakukan pemeriksaan rutin. Kondisi ayah mu masih belum menunjukkan perubahan signifikan. Namun, kami terus memantau ketat dan melakukan penanganan terbaik.” kata dokter sambil menatap Nayla

Nayla menggenggam tangan Leon erat saat mendengar kabar itu. Ia merasa tubuhnya lemas, tapi tak ingin terlihat rapuh.

Setelah prosedur kebersihan dan sterilisasi selesai, Nayla diizinkan masuk ke ruang ICU dengan mengenakan alat pelindung. Ia berjalan perlahan menuju ranjang tempat ayahnya terbaring lemah, wajahnya pucat, dipenuhi selang dan alat medis.

“...Ayah…” panggilnya pelan.

Ia duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ayahnya yang dingin.

“Ayah harus sembuh… aku tidak mau kehilangan Ayah…”

Tak banyak kata yang bisa ia ucapkan. Hanya air mata yang terus mengalir, membasahi wajahnya. Dadanya sesak, seolah ada beban besar yang menekan dari segala arah. Tapi ia tetap menggenggam tangan ayahnya erat, seakan dari sentuhan itu ia bisa mentransfer semua harapannya.

Dari balik kaca, Leon memperhatikan semua itu. Hatinya ikut terhimpit, melihat gadis yang begitu kuat itu menangis. Ia berjanji dalam hati, akan melakukan apapun untuk mendukung Nayla melewati semua ini.

1
Umi Al'Zidane
semangat trs ya thor/Rose//Rose//Rose/
𝐈𝐬𝐭𝐲
nah bener Leon harus di selidiki secepatnya sebelum nyawa kalian jadi taruhannya...
LISA: Ya tuh harus diselidiki siapa dalangnya
total 1 replies
LISA
Moga aj rencana Clarisa itu gagal..kejam bgt sih..
Kimchi
critany luar binasa thor suka
Kimchi
buatlah crarissa dpt karma sm si davin ,,gmn rasa sakit.pgn ngliht berdua mati samber petir .
LISA
Rencana apa nih ?
Sunaryati
Semoga lancar sesuai rencana pernikahannya, jangan sampai Clarissa bisa mengganggu atau mendekati
Mar lina
semoga lancar pernikahannya
tak ada gangguan apa pun
dan Segera bisa jln untuk mempelai pria nya
lanjut thor ceritanya
do tunggu up nya
LISA: Amin..moga aj rencana liciknya Clarisa gagal..
total 1 replies
Dafi Maulana
jangan ada drama batal kawin thor,dan jangan sampai si sundal mangacaukan semua nya
LISA
Wah ikut senang nih Nayla udh menerima lamaran dari Leon..moga Leon segera dpt berjln kembali..bahagia selalu y Nayla & Leon 😊🙏
Mar lina
aku mampir
lanjut bacanya
Yani Sugondo
aaaah, sebentar lgi nayla, sabar
mungkin ini karena masih Leon yg dingin dan nayla polos dan pemalu,
up yg rutin thoor
LISA
Semangat Leon utk menarik hatinya Nayla
LISA
Leon koq g mau mengakui perasaannya ke Nayla..jujur aj Leon spy Nayla g merasa dinikahi hanya karena kmu kasihan pdnya
Umi Al'Zidane
konflik nya jangan yg berat2 thor.../Smirk//Smirk/
Nadhiraaa
lanjut thor...crtnya menarik
LISA
Moga ayahnya Nayla dpt pulih kembali.
𝐈𝐬𝐭𝐲
lanjut thor
Sunaryati
Semoga harapan Ny Giba dikabulkan
LISA
Puji Tuhan..Leon benar² dapat menerima Nayla bahkan meminta agar Nayla ada selalu di dekatnya..perkembangan yg bagus moga dgn itu kaki Leon dpt pulih kembali.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!