NovelToon NovelToon
Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Romantis / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Aku punya cerita nih, soal dunia ku yang banyak orang bilang sih kelam, tapi buat ku malah keren dan penuh dengan keseruan. Aku punya circle, sebuah geng yang isinya anak-anak yahut yang terkenal jahil dan berani. Seru abis pokoknya! Mereka itu sahabat-sahabat yang selalu ada buat ngelakuin hal-hal yang bikin adrenaline kita ngacir.

Kita sering hang out bareng, kadang sampe lupa waktu. Dari yang cuma nongkrong asyik di tempat-tempat yang biasa kita tongkrongin, sampe yang agak miring kayak nyoba barang-barang yang sebenernya sih, yah, kurang direkomendasiin buat anak muda. Tapi, yah, lagi-lagi itu semua bagian dari mencari identitas dan pengalaman di masa remaja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 2

Di tengah ramainya kantin yang penuh dengan anak-anak kelaparan yang berebut makanan, Miranda melirik ke ku dan bertanya, "Lu mau makan apa?"

Pertanyaan itu langsung bikin gaku bingung. Selama ini, jajanan ku di sekolah biasanya yang murah-meriah. Aku seringnya beli kerupuk makaroni yang seribu perak itu, karena isinya lumayan banyak, atau kadang beli roti dua ribuan yang juga mengenyangkan dengan harga terjangkau.

Tapi, ya itu tadi, menu-menu seperti miso, bakso, soto, mie goreng, atau mie kuah, dan bahkan Pop Mie yang tampaknya jadi favorit banyak orang itu, aku nggak terlalu familiar. Aku sama sekali nggak tahu berapa harganya karena aku dan teman-teman ku yang sebelumnya nggak pernah makan itu. Alasannya simpel, bagi kami itu tergolong mehong alias mahal.

Di tengah makan siang di kantin sekolah, tiba-tiba Davina ngeluarin pernyataan bombastis, "aku yang bandar."

Mendengar itu, semua langsung melongo. Kaget dong? Pasti lah. Gak nyangka, Davina mau telaktir enam orang sekaligus? Eh, tapi tunggu dulu, apakah aku juga termasuk?

Mendengar pernyataan Davina yang tiba-tiba itu, Karisa langsung nanya dengan muka curiga, "Ada apa nih tumben-tumbenan?" Atmosfer tiba-tiba aja jadi tegang, semua mata langsung fokus ke Davina.

Tapi dengan santainya, Davina malah nyengir dan bilang, "Aku habis malak si Bambang," jawabnya dengan enteng, seolah nggak ada yang salah.

"Wiidih, kapan lu ketemu tuh bocah?" Fifin langsung terkejut, suaranya berat dan serak, khas dia yang abis teriak-teriak nonton bola.

"Malak enggak ajak-ajak," timpal Hanum dengan nada kecewa.

"Hooh, enggak asik lu," Caca langsung ngambek, ngikutin Hanum yang jelas-jelas merasa ditinggalkan Davina dalam aksi ‘malak-malak’ itu.

"Sorry," ucap Davina sambil tertawa kecil

Itu bikin Miranda melirik ke arahnya, tangannya masih menyandar santai di punggung kursi.

"Mau bandar apaan lu?" tanya Miranda penasaran.

"Miso aja ya, minumnya Segar Sari," jawab Davina santai.

Caca yang duduk di sampingnya langsung nyaut, "Woke," sambil angguk-angguk.

Fifin, yang dari tadi kelihatannya udah nggak sabar, teriak panggil penjualnya, "Bude!"

Suara gaduh di kantin itu membuat teriakannya nyaris tenggelam. Tapi si bude, Bude Retno, ternyata punya telinga jeli.

"Ya, Neng?" sahut Bude Retno sambil mengelap tangan di celemeknya.

"Miso enam, minumnya Segar Sari enam juga," teriak Fifin.

"Di tunggu!" jawab Bude Retno.

Sementara itu, aku cuma bisa duduk diem di pojokan, ngeliatin mereka semua. Ngobrol ngalor ngidul, ketawa cekikikan. Aku mah cuman bisa ngelus dada, mikirin nasib sendiri yang kayaknya jadi penonton tetap aja di drama kantin ini.

Di tengah keramaian kantin yang sedang ramai-ramainya, tiba-tiba aja suasana jadi rada hening sebentar pas segerombolan cowok mendekat ke meja kita.

"Widih, siapa nih?" tanya salah satu dari mereka, yang tampak penasaran banget.

Walaupun yang nanya cuma satu, tapi yang ikutan nyamperin bisa dibilang hampir seketurunan.

 Miranda, tangan kanannya  nyenggol-nyenggol ku, langsung jawab penuh gaya. "Ini Alisa, cewek paling putih di kelas kita," kata dia sambil mesem-mesem.

Salah satu dari mereka yang berani-beraninya memakai topi di sekolah dan enggak takut di sita guru, nyerocos, "Kenalin dong?" Sambil nyodorin tangan yang kayaknya sih bermaksud baik, tapi tetap aja membuatku merinding.

Sejujurnya, aku sih jadi agak risih. Soalnya, aku itu jarang banget ngobrol sama cowok. Aku tuh cenderung pemalu, trus bapak ku juga sering ngomong kalau cowok sama cewek itu harusnya jaga jarak. Katanya sih biar enggak ada salah paham apa kek, salah langkah apa kek.

Di tengah kegaduhan kantin yang rame kebangetan, tiba-tiba Caca yang paling tengil di antara kita semua buka suara, "Jangan dianggurin tuh tangan!" ngode sambil menunjuk ke arah cowok bertopi yang masih mencoba jadi gentleman dengan tangan yang terjulur ke arahku.

Maksudnya sih baik, tapi timingnya kurang pas, bikin semua mata langsung ngarah ke kita berdua.

Aku, yang biasanya cuma penonton di panggung drama kantin ini, tiba-tiba jadi bintang utamanya. Dengan hati yang udah kayak diaduk blender, aku nekat sambut tangan dia.

"Alisa," aku perkenalkan diri.

Tapi suara yang harusnya keluar malah tersangkut di tenggorokan. Hasilnya? Cuma bibir yang komat-kamit tanpa suara.

Cowok bertopi itu, dengan rasa penasaran yang terpampang jelas, mendekatkan telinganya.

"Siapa?" tanyanya, berusaha nggak bikin situasi makin canggung meski udah pasti gagal.

Tepat saat itu, salah satu dari rimbongan cowok itu, suaranya menggelegar menembus kegaduhan. "Woi yang merasa manusia bisa diem enggak!"

Badannya kekar kayak Hulk mini, dan mukanya, ah, mukanya itu loh, kayak enggak cocok banget buat anak SMP kelas VIII atau XI. Kantin yang biasanya seperti pasar ikan mendadak jadi hening, semua mata seakan tertarik magnet ke sosok itu.

Kembali ke cowok bertopi, dia ulangi pertanyaannya, masih dengan gaya santainya. "Siapa nama lu?"

"Alisa," jawabku, kali ini suara keluar walau masih setengah gugup.

"Rian," ucapnya.

Tapi, eh tapi, tangannya masih nggak mau lepas dari genggaman. Cuma diem sambil menatapku dengan tatapan yang bikin aku pengen kabur ke kutub utara. Kedekatan fisik yang nggak perlu sebenernya, bikin suasana yang udah canggung ini tambah canggung aja.

Tangan dia yang kayak rantai sepeda di tangan ku, berat dan kokoh, nggak ada tanda-tanda mau lepas.

Dalam diam, aku berdoa, supaya scene ini cepat berlalu.

Setelah beberapa menit yang terasa kayak berabad-abad, Miranda dengan tegas menyelamatkan situasi.

"Lepasin woi," ujarnya sambil nyengir ga jelas, mungkin mencoba tampil berani di depan cowok-cowok itu.

Rian langsung melepas genggaman tangannya. Ada rasa lega yang jelas terlihat di wajahku, meski mungkin dia nggak sadar betapa canggungnya aku.

Miranda, yang dari tadi udah kayak jenderal lapangan, langsung menunjuk ke arah Bude Retno yang datang ke arah kami sambil membawa nampan besar yang penuh dengan mangkuk-mangkuk miso yang masih mengepul.

"Kalian pergi sana. Makanan kita udah datang tuh," katanya sambil nyerocos tanpa jeda.

"Oke-oke, satuy dungs," jawab Rian, masih dengan senyum tengil yang tadi sempat bikin aku pengen kabur.

Mereka pun pergi, tapi duduknya nggak jauh dari kita, mungkin biar tetap bisa kepo atau iseng.

"Ini makanannya," ucap Bude Retno, meletakkan nampan itu di meja kami dengan hati-hati.

"Makasih bude," kami menjawab kompak, seolah-olah barusan nggak ada kejadian apa-apa.

Bude Retno lanjut sibuk melayani pelanggan lain, dan kami akhirnya bisa mulai makan. Ini pertama kalinya aku makan miso di sini dan ternyata rasanya jauh lebih enak dari yang aku bayangkan. Mungkin karena semua drama tadi bikin lapar, atau memang miso di kantin ini bener-bener juara.

"Lu jangan mau sama Rian, dia tuh buaya," kata Fifin sambil nyerocos tanpa jeda.

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala, "Idih, siapa juga yang mau deket sama cowok modelan dia." Lagipula, aku juga kena aturan ketat dari rumah. Bapak itu super protektif. Kalau sampai kepergok deket-deket sama cowok, wah bisa-bisa aku langsung seleding.

Hanum, yang selalu serius kalo udah soal masalah ginian, ikut nimbrung. "Kalau salah satu dari mereka ada yang nembak lu, lu jangan mau, ya." Nada suaranya mendadak kayak kakak yang lagi ngasih nasehat ke adiknya.

Davina juga ikutan, “Hooh, mereka enggak bagus kalau dijadiin pacar,” seolah-olah dia udah punya PhD dalam urusan memilih pacar yang baik dan benar.

“Iya,” gue cuma bisa nyautin singkat. Bingung juga sih mau ngomong apa lagi.

1
Amelia
halo salam kenal ❤️🙏
Atika Norma Yanti: salam kenal juga ya😄
total 1 replies
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya
Anita Jenius
seru nih mengangkat masalah pembullyan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!