Aruna, gadis pintar, tapi sangat lugu. Selama ini Aruna fokus belajar dan.belajar. Perpus adalah tujuannya saat jam istirahat.
Kiano adalah cowo tampan yang digilai banyak cewe. Dia adalah anak gaul yang pertemanannya hanya di kalangan orang orang kaya.
Aruna menjadi korban taruhan Kiano dan teman teman gengnya berupa uang sebesar lima puluh juta jika Kiano berhasil jadi pacarnya dalam deadline yang sudah ditentukan.
Tujuh tahun kemudian mereka bertemu sebagai dokter dan pasien. Kiano menderita asam lambung yang ngga kunjung sembuh. Teman temannya merekomemdasikan Aruna yang sudah menjadi dokter untuk memgobatinya.
Apakah Aruna mau? Yang jelas Aruna masih dendam pada Kiano.dan teman temannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Cemburu
Lega rasanya Aruna bisa pulang bersama mama dan papanya. Walaupun ada rasa cemburu terselip dalam kekesalannya melihat gadis kecil nan centil itu yang masih memepetkan dirinya di samping Kiano.
Orang tua Kiano terlihat santai melihat kelakuan sahabat putrinya. Hanya Nita yang terlihat bingung.
"Kenapa? Kamu cemburu?" tanya mama meledek karena Aruna hanya diam saja sejak mereka meninggalkan kamar perawatan Kiano.
"Ih, ngga lah ma," sangkal Aruna cepat.
Tapi mama dan papa Aruna malah saling pandang dan tertawa Tau kalo putri bungsunya berusaha menutup perasaannya.
"Sejak kapan?" tanya papa sambil buka pintu mobil. Beliau pun menahan pintu mobil sambil menatap usil putrinya yang kini cemberut.
"Iya sejak kapan?" tanya mama Kiano ikut mengulang pertanyaan suaminya. Hatinya penasaran, kapan putrinya yang kutu buku mengenal Kiano.
"Apanya ma?" tanya Aruna heran ketika kedua orang tuanya menatapnya penuh selidik.
"Sejak kapan sayang, kamu kenal Kiano? Apa itu laki laki yang membuat kamu nga punya pacar sampai sekarang?" lanjut mamanya lagi dengan nada penuh tuntutan.
"Enggak maaa.... Aruna ngantuk nih. Pulang sekarang ya," elak Aruna sambil masuk ke dalam mobil. Dia pun membaringkan tubuhnya di jok belakang dengan kaki menjuntai ke bawah.
Mama dan papa hanya bisa menggelengkan kepala karena ngga berhasil mengorek keteramgan dari Aruna.
Saat di dalam mobil, mama menghela nafas kesal melihat putrinya sudah memejamkan mata.
"Sudah, ngga usah dipikirkan. Nanti pasti cerita juga," kata papa sambil memghidupkan mesin mobil.
"Yah, gimana lagi," kata mamanya menyerah. Kini tatapannya sudah fokus ke depan.
Aruna membuka sedikit matanya dan tersenyum sebelum memejamkan lagi matanya. Interogasi selesai.
Syukurkah, batinnya lega. Aruna benar benar membutuhkan tidur. Tubuhnya sangat lelah. Begitu juga perasaannya. Gadis kecil itu benar benar membuat suasana hatinya gerah dan ngga nyaman.
*
*
*
Ingatan Aruna
Setelah puas meneteskan air matanya di ruang uks, Aruna memutuskan pulang. Hari ini dia sudah ngga ada niatan lagi untuk balik ke kelas. Apalagi sahabatnya ngga datang karena ijin bertanding.
Tasnya pun sudah di dekapnya. Bu Neta sebelum pergi sudah membawakan tasnya membuat Aruna merasa ngga enak hati. Bahkan Bu Neta sudah mengijinkannya untuk pulang. Bu Neta terlalu memperhatikannya. Wali kelasnya.
Aruna terdiam ketika membuka pintu uks. Kiano berdiri di depannya dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celananya. Aruna terpesona sesaat sebelum rasa sakit menyadarkannya. Pesona tampan yang telah mencabik cabik hatinya.
Tanpa kata Aruna melangkah di samping tubuh Kiano. Tubuh mungilnya membuat dia mudah melewati Kiano yang hanya berdiri tegak tanpa niat menghalangi langkahnya.
"Aruna."
Aruna menghentikan langkahnya menjauhi laki laki tampan yang sangat dipujanya itu memanggilnya. Tapi kemudian Aruna melangkah lagi, pergi.
Semua sudah selesai, batinnya sakit.
"Maaf "
Aruna ngga menggubris. Dia terus melangkah dengan air mata yang mengalir lagi membasahi pipinya. Langkahnya terasa ringan. Supirnya sudah menunggu di parkiran.
Untuk apa kata maaf jika hatinya udah pecah dan hancur.
Aruna benar benar patah hati. Dia sudah ngga ingin melihat Kiano lagi. Atau mendengar suaranya Entah bagaimana caranya. Padahal mereka berada dalam satu lingkup sekolah dan akan terus bersama dalam rentang waktu yang cukup lama.
Aruna terbangun dari tidurnya dengan pipi yang basah. Kenangan buruk itu terlalu dalam menghunjam di hatinya. Dia sangat terluka. Bahkan sampai kini. Walau rasa cintanya pada Kiano masih belum padam.
Dia cinta, tapi sangat terluka. Aruna cemburu dengan Nabila, tapi dia ngga bisa berbuat apa apa. Dia malah memberi Nabila kesempatan untuk dekat dekat dengan Kiano. Dan laki laki nyebelin itu malah senang senang saja di dekati para pemujanya. Di depan matanya. Gimana di belakangnya.
Aruna menghembuskan nafas kasar. Apalagi setelah dia pergi, entah en*a en*a apa yang akan mereka lakukan. Aruna sangat berharap adik Kiano tetap bertahan menemani kakaknya yang super nyebelin, karena Aruna ngga bisa percaya pada teman adik Kiamo yang sangat centil itu.
*
*
*
Terpaksa Aruna berdiri di depan pintu ruang rawat inap Kiano dengan memmbawa paper bag berisikan sarapan pagi. Mama tadi memaksanya dan bersama papa yang mengantarnya di depan gerbang rumah sakit. Memastikan Aruna tidak pergi ke tempat lain.
Setelah mengambil nafas dalam dalam, Aruna membuka pintu. Matanya menatap ke seluruh ruangan yang tampak kosong dan sepi.
Apa dia sudah dibolehin pulang? batin Aruna menduga.
Dengan langkah perlahan Aruna memasuki ruangan itu, dan menatap ranjang yang terlihat rapi. Aruna pun meletakkan paper bagnya di atas meja kecil. Dia menajamkan telinga ketika mendekati pintu kamar mandi. Ngga terdengar suara apa pun. Benar benar sepi.
Kemana sih dia, batin.Aruna kesal.
Aruna pun melangkah keluar dari ruangan Kiano. Tapi baru saja membuka pintu, Aruna langsung mematung. Kiano berdiri di depannya dengan memegang tiang infus.
Ada kelegaan.di mata Aruna melihat kemunculan Kiano yang seorang diri. Tapi Aruna langsung memasang wajah datarnya untuk menyembunyikan perasaannya.
"Kamu udah lama datangnya?" tanya Kiano kaget campur senang melihat Aruna ada di depannya.
"Kamu dari mana? Pasien, kok, ninggalin kamar gitu aja. Kirain kamu udh di IGD," sahut Aruna judes.
Kiano tertawa mendengarnya. Satu tangannya akan meraih kepala Aruna, tapi dengan sigap Aruna berjengkit mundur.
"Gerak reflek kamu bagus juga. Belajar dimana?" sindir Kiano cuek sambil melangkah memasuki ruangannya. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Tadi dia hanya berjalan jalan sebentar. Bosan berada di kamar sepanjang hari.
'Kok, sendirian?" tanya Aruna heran.
Mana si centil itu?
"Makanya, temanin dong," goda Kiano sambil mendudukkan dirinya di ranjangnya.
Aruna menjebikkan bibirnya membuat garis senyum Kiano masih juga ngga hilang.
"Kamu bawa apa?" tanya Kiano sambil menunjuk paper bag yang di atas meja.
"Sarapan dari mama," jawab Aruna mendekat. Dia memperhatikan Kiano yang meraih tissue basah dan mengusapkannya di kedua tangannya.
"Ya udah, suapin aku," pintanya laksana perintah.
"Kamu ngga bisa makan sendiri," omel Aruna kesal.
Enak aja nyuruh nyuruh. Belum juga jadi istri. Eh, batin Aruna keseleo.
"Nih, tangan ku kan sebelahnya ada infus, Runa," sergah Kiano sambil menunjukkan infus di tangannya.
"Mana cewe kamu yang tadi malam. Kok, dia ngga datang," ketus Aruna sambil mengeluarkan mangkok bekal yang berisi bubur tanpa mau melihat Kiano.
Kiano menatapnya gemas.
"Kamu cemburu?" kekehnya tanpa peduli dengan lirikan membunuh Aruna.
"Nggak ya. Jadi laki tu jangan gampang ke ge eran," sangkal Aruna ngga terima kalo perasaan cemburunya terlihat jelas. Aruna bertambah kesal melihat Kiano yang malah tergelak gelak mentertawainya.
"Ketawa terus aku pulang," ancam Aruna tambah kesal karena Kiano masih terus saja tertawa.
"Oke, oke. Tapi tolong, wajah kamu jangan lucu gitu, Runa. Yang biasa aja eksoresinya," perintah Kiano yang berusaha menghentikan tawanya.
Aruna kembali menjebik kesal.
Tapi bagi Kiano, ini suatu kemajuan untuknya dalam berkomunikasi dengan Aruna.
Sayangnya Aruna ngga tau. Malam itu setelah Aruna pergi, Kiano juga meminta adiknya pulang dengan sahabatnya. Sudah cukup Kiano memamas manasi hati Aruna. Mengingat itu membuat tawanya sukar untuk berhenti.