Sassy Savannah menempelkan kepalanya di kaca jendela kereta, yang akan membawanya kembali ke tanah kelahirannya. Lima tahun bukan waktu singkat, untuk mengubur kenangan yang telah terjadi. Apalagi harus kembali berhadapan dengan orang dari masalalunya, yang hingga saat ini masih bersemayam di lubuk hatinya paling dalam. Rasanya malas harus kembali bertemu dengan mantan suaminya, yang mencampakkannya dengan semena-mena.
Aidan Darma Saputra, lelaki yang dicintainya sekaligus di bencinya. Dia telah menorehkan sebuah kesakitan, juga sekaligus kebencian dalam jiwanya. Hanya karena sebuah aduan tidak berdasar yang di tuduhkan padanya, dia dengan teganya mencampakkan dirinya.
Dengan kekuatan yang tersisa, Sassy bisa keluar dari istana yang mengurungnya selama ini. Berbekal tekad kuat dan dorongan semangat dari ke dua orangtuanya, Sassy melanjutkan hidup jauh dari lelaki yang di cintainya sekaligus orang yang mematahkan harapannya bisa bersanding hidup bersama sampai ajal memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yaya_tiiara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Nyaris bertemu
"Sassy, cepat masuk!" suara Rian yang tidak sabaran, menyentaknya dari keterpakuan.
"Iya...ini juga mau" buru-buru Sassy masuk ke dalam dan duduk di kursi penumpang, dengan agak membungkuk menyembunyikan tubuhnya.
Ketika mobil sudah keluar dari parkiran, barulah ia berani menegakkan tubuhnya kembali. Sambil mengusap dadanya yang berdebar tak karuan, Sassy mengucap syukur dalam hati. 'Hampir saja ketahuan. Bagaimana, seandainya mereka bersua? Masihkah Aidan membencinya?
Tapi di pikir-pikir lagi, kenapa Sassy harus takut? Bukankah, mereka sudah bukan apa-apa lagi? Kadang Sassy menyesali dirinya, yang tidak bisa membela dirinya sendiri. Tetapi apalah artinya Sassy bagi seorang Aidan, yang banyak di kelilingi wanita cantik. Ia hanyalah butiran debu, yang menempel di tubuh pria setampan dan semenawan Aidan.
Kelakuan Sassy ternyata, tak luput dari penglihatan sang kakak. Rian hanya bisa menggelengkan kepalanya lemah, melihat tingkah laku adiknya. Sebenarnya ia ingin memberitahu Sassy, mengenai Aidan mantan suaminya. Tetapi rupanya semesta memperlihatkan kebusukan Aidan, dengan cepat di depan mata Sassy. Andai dulu ia tidak mengijinkan Aidan memiliki hati adiknya, tentunya Sassy tidak akan menderita.
"Kamu liat siapa lelaki berkaos biru itu, bukan?" tanya Rian, memecah kebisuan malam.
"Iya" jawab Sassy, dengan suara tercekat.
"Lupakan Aidan, dia bukan yang terbaik buat mu." Ada kilat kemarahan, di mata sehitam malam itu. Wajarlah apabila Rian membenci Aidan, karena telah menghancurkan kebahagiaan Sassy. Selain itu mereka dulu bersahabat erat, sebelum Aidan melakukan tuduhan yang tak ada buktinya pada sang adik. Lalu dengan teganya menjatuhkan talak pada Sassy, tanpa mau mendengar pembelaannya.
Sassy hanya mengangguk pasrah, lima tahun tak cukup baginya melupakan lelaki yang jadi cinta pertamanya. Namun juga, menorehkan luka yang teramat dalam di hatinya. Di pejamkan matanya rapat-rapat, menghalau semua kesakitan.
Sementara itu, lelaki yang menjadi topik pembicaraan mereka juga merasa mendengar nama yang sudah terkubur lama di hatinya. Ia agak tersentak dan mendongak cepat, mencari-cari sumber suara yang begitu familiar. Terlihat Rian, sahabat yang sudah lama putus hubungan dengannya sedang membuka pintu mobil. Di bagian samping kursi penumpang, ia mendapati seorang wanita duduk agak membungkuk. 'Siapa gerangan wanita itu? Istri Rian, kah?'
"Ada apa, Mas Aidan?" tanya wanita dalam rengkuhannya itu penasaran, karena lelaki yang tengah memeluk bahunya tidak mendengarkan ia berceloteh. Sepertinya ia sedang melamun, dan matanya tidak fokus menatapnya.
"Ah enggak, aku seperti mendengar suara yang gak asing. Tapi ternyata, aku salah dengar" ucapnya menutupi kekagetannya sesaat tadi.
"Oo, kukira ada apa?" balasnya lembut.
"Kita langsung pulang, atau makan malam dulu" tawar Aidan, sembari menjalankan kendaraanya keluar dari parkiran.
"Langsung ke rumah aja, aku capek. Rasanya, pengen cepet-cepet meluk guling" keluhnya, memejamkan kedua mata indahnya.
"Kan udah di bilangin naik plane aja, kenapa malah pake kereta api?"
"Naik kereta itu, asyik lho. Sambil cuci mata, juga kenalan dengan teman seperjalanan."
"Tapi lama kan, Clara."
"Susah deh, ngomong sana kamu. Enggak asyik, maunya cepet terus" rajuk Clara manja. "Coba, kalo aku ajak kamu nikah. Pasti, nanti lagi jawabnya."
"Menikah itu butuh waktu, gak sesederhana yang kita pikirkan" elak Aidan diplomatis. "Banyak yang harus di urus, dan di rundingkan."
"Kamu ngomong gitu, bukan karena ingin memundurkan tanggal yang udah di sepakati bersama kan?!" tuduh Clara, dengan bibir mengerucut. "Apa kamu masih memikirkan, mantan mu yang kabur itu?"
"Clara, please jangan bawa-bawa dia. Kalo kamu masih memikirkan yang bukan-bukan, lebih baik kita putus aja" sentak Aidan kesal. Ia menatap lurus ke jalanan, mengacuhkan keberadaan kekasihnya yang terlihat pucat pasi.
Clara tak menduga, Aidan bisa semarah itu bila sudah menyangkut mantan istrinya. Ia jadi berpikir, bila tunangannya masih menyimpan rasa. Di liriknya wajah keruh pujaan hatinya, bibirnya baru akan meminta maaf saat Aidan berhenti tepat di depan rumahnya.
"Sudah sampai, turunlah!" perintahnya tegas.
"Aidan, maafkan aku" cicit Clara pelan.
"Lupakan saja, tapi jangan kau ulangi lagi" ucapnya dengan intonasi tegas.
"Bye Aidan! Sekali lagi, maaf" ujar Clara, sambil keluar dari mobil Aidan.
Aidan hanya diam, melirik sekilas ke arah wajah cantik tunangannya. Bukannya ia membenci Clara, tetapi setiap pembicaraan yang menyinggung nama mantannya dirinya akan menjadi kesal. Entah apa, yang ia kesalkan dari sang mantan?
****