Di hancurkan berkeping-keping oleh suaminya dan juga ibu mertuanya, kehidupan Laras sangat hancur. selain harus kehilangan anak keduanya, Laras di serang berbagai ujian kehidupan lainnya. Putranya harus di rawat di rumah sakit besar, suami mendua, bahkan melakukan zina di rumah peninggalan orantuanya.
Uluran tangan pria tulus dengan seribu kebaikannya, membawa Laras bangkit dan menunjukkan bahwa dirinya mampu beejaya tanpa harus mengemis pada siapapun. Akan dia balaskan semua rasa sakitnya, dan akan dia tunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Sehebat apa luka yang Laras terima? apakah dia benar-benar membalaskan rasa sakitnya?
Yuk simak terus ceritanya sampai habis ya 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teror
Tiga hari telah berlalu, hubungan Laras dan Jefri masih belum bisa dikatakan baik. Terkadang sang suami terus menyalahkannya, tanpa melihat sebesar apa perjuangan yang dilakukan oleh sang istri demi memperbaiki hubungan mereka.
Berulang kali Laras berusaha memberikan yang terbaik sesuai keinginan Jefri, tetapi tetap saja masih dianggap salah. Semua itu karena sang suami memang sudah berniat ingin pisah darinya.
Maka dari itu baik benar ataupun salah yang Laras lakukan tetap akan membuat Jefri muak, lantaran hatinya sudah tidak lagi milik sang istri.
Ingin rasanya Laras menyerah dengan rumah tangga yang sudah tidak bisa dipertahankan. Namun wajah malaikat kecil yang selalu memanggilnya ibu menggerakkan hati untuk terus mempertahankan Jefri dan menjadikan anak sebagai korban keegoisan mereka.
Siang hari Laras ingin pergi menjemput anaknya pulang sekolah, tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah amplop cokelat yang tak sengaja diinjak ketika ingin keluar pintu.
Laras langsung mengambilnya sambil celingak-celinguk berharap ada seseorang yang bisa ditanyakan. Namun tak ada satu pun orang di dekat rumahnya.
Tanpa basa-basi Laras membuka amplop cokelat tersebut dan mengeluarkan isinya. Wajahnya terlihat syok berat mendapati foto Jefri bersama wanita lain dengan gaya foto sama persisi seperti pasangan romantis.
“Ma-mas Jefri … A-apa maksudnya ini, Mas? A-apa yang aku lihat ini benar kamu atau hanya cuma orang iseng yang berniat menghancurkan rumah tangga kita?”
Tak terasa air mata perlahan menetes di pipi Laras akibat foto yang dilihatnya berhasil mematahkan hati yang selama ini sepenuhnya telah diberikan kepada sang suami.
Sedetik kemudian Laras menghapus semua air mata dengan kasar, seolah-olah menyangkal foto itu dan berusaha untuk tetap tegar sambil tersenyum.
“Nggak, aku nggak boleh percaya begitu saja. Aku harus konfirmasi dulu sama Mas Jefri, siapa tahu ini foto editan. Ya, mungkin saja begitu. Daripada aku berburuk sangka pada suamiku sendiri lebih baik aku jemput Langit saja, kasihan jika terlalu lama menunggu.”
Secepat kilat Laras memasukan foto ke dalam amplop cokelat dan menaruh di tasnya, setelah itu mengunci pintu dan pergi menjemput anaknya.
*****
Sesampainya di depan pintu rumah Laras yang baru ingin masuk malah mendapatkan notifikasi pesan dari seseorang. Langit masuk lebih dulu, sedangkan sang ibu membuka ponselnya.
Betapa terkejutnya Laras saat melihat pesan itu berasal dari mertuanya sendiri yang menginginkan mereka berpisah.
“Dasar menantu tidak tahu diri kerjaannya cuma minta duit saja. Apa kamu lupa suamimu itu karyawan bukan bos, jadi jangan pernah menuntut apa pun dari anakku. Paham! Kalau mau apa-apa itu minimal usaha, bantu suamimu jangan bisanya marah-marah mulu. Pantesan aja suamimu gak betah di rumah dan memilih mencari kerja sampingan orang istrinya aja gak bersyukur. Tahu kaya gini mah, saya nyesel kasih restu anak saya dengan kamu. Udahlah daripada hidup anak saya tersiksa batin juga pikiran karena kamu, mending kalian pisah. Jefri bisa cari wanita yang jauh lebih baik dari kamu dan kamu bisa jadi simpanan om-om sana biar banyak duit sekalian!”
Tangan Laras refleks memegangi dadanya yang terasa sangat sakit. Pesan yang terus dikirim sang mertua selalu menyudutkan kesalahan yang tidak masuk akal juga menghinanya dan mengatakan kalau dia tidak pernah bersyukur atas rezeki yang diberikan oleh sang suami.
Padahal selama ini Laras berusaha mengirit-irit keuangan, sampai dia sendiri tidak makan hanya demi anaknya bisa makan enak sebulan sekali. Itu pun dia hanya mementingkan suami juga anak daripada kondisi dirinya.
Laras tak menyangka sebenci itukah sang mertua padanya. Jelas-jelas apa yang ada dipikirannya tidaklah benar. Dia meminta uang pun dalam keadaan mendesak, itu juga digunakan untuk kebutuhan suami juga anaknya tidak untuk berfoya-foya ataupun makan enak setiap hari.
Akan tetapi, Laras tak sanggup berkata apa-apa selain membalas pesan sang mertua dengan kata maaf karena belum bisa menjadi menantu terbaik.
Setelah itu Laras menghapus semua air matanya saat melihat Langit berada di depan pintu menatapnya.
“Ibu kenapa menangis?” tanyanya dengan wajah bingung.
“Ibu gapapa kok, Sayang. Ayo, ganti baju habis itu makan siang dan tidur, oke?”
Laras tersenyum lebar seolah-olah tak ada kejadian apa pun hati ini yang telah berhasil menguras mental juga batinnya.
Langit cuma menganggukan kepalanya, lalu mengikuti ibunya ke kamar untuk mengganti baju sekolahnya.
Ketika Laras ingin membuka baju sekolah Langit, matanya melihat beberapa jahitan baju yang sudah mulai berantakan. Belum lagi di bagian punggung terdapat lubang-lubang kecil akibat bahan seragam yang sudah tipis.
Parahnya saat baju terbuka Laras melihat di bagian ketiak seragam Langit sudah bolong akibat baju yang mulai kekecilan.
Tangannya meremas kuat baju itu dengan air mata yang hampir saja terjatuh jika Laras tidak mengalihkannya.
“Bajunya udah sempit ya, Bu. Jadi bolong, maafin Langit ya, kayanya Langit kebanyakan makan jadinya baju sekolah kekecilan. Langit janji, Bu. Langit tidak akan makan banyak lagi supaya baju langit tidak kekecilan lagi.”
Kalimat yang sangat menyayat hati seorang ibu berhasil membuat Laras meneteskan air matanya. Dia langsung memeluk Langit, meminta maaf, serta mencium wajahnya berulang kali.
Ini bukan salahnya dan ini bukan karena Langit makan banyak. Akan tetapi, ini akibat pertumbuhan sang anak yang sangat pesat.
Jika dipikir-pikir dari mana Langit makan banyak, sementara Laras masak beras satu liter saja bisa dimakan sampai dua hari bahkan terkadang tiga hari saking iritnya.
Kalaupun Langit makan banyak itu malah membuat hati Laras sangat bahagia, bukan sedih. Dikarenakan selama ini sang anak makan hanya dua centong nasi.
Kejadian hari ini benar-benar telah membuat Laras sangat bingung. Satu sisi dia mendapatkan foto suaminya dengan wanita lain dari orang tak dikenal, sisi lainnya sang mertua yang selalu menginginkan mereka pisah, dan sekarang Laras harus mendengar kata-kata Langit yang sangat mengharukan.
“Jangan nangis lagi, Bu. Langit tidak suka Ibu menangis. Ibu harus senyum karena Langit tidak mau wajah Ibu jelek.”
Langit mengusap air mata Laras, lalu menarik kedua sudut bibir sang ibu menggunakan tangan mungil itu untuk mengajarkan cara tersenyum dengan baik.
“Nah, begini ‘kan, bagus, cantik.” Langit tersenyum membuat Laras kembali memeluknya sangat erat.
“Terima kasih, Sayang. Kamu adalah harta Ibu satu-satunya yang paling berharga. Jadi jangan pernah tinggalin Ibu ya, Ibu sayang Langit selamanya.”
“Langit juga sayang Ibu selamanya. Langit janji akan selalu ada bersama Ibu.”
Laras melepaskan pelukan anaknya, kemudian mencium wajah Langit. Selepas itu mereka tersenyum bersama menatap wajah satu sama lain.
Setelah selesai mengganti pakaian Laras segera menyiapkan makan siang untuk anaknya. Langit yang awalnya makan dikit, langsung ditambahkan oleh sang ibu karena apa yang dikatakan tadi tidaklah benar.
Kesehatan Langit merupakan kebahagiaan bagi Laras, jadi dia tidak ingin anaknya jatuh sakit hanya karena makan sedikit.
Bila dihitung Langit hanya membeli baju setahun sekali itu pun Laras harus ekstra hemat menggunakan pengeluaran rumah tangga.
Sementara Laras tak memikirkan dirinya sendiri, hingga penampilannya tak secantik dulu. Apalagi kehamilan yang kedua badannya malah terlihat lebih kurus juga lusuh. Jangankan merawat tubuhnya, makan pun kadang harus mengalah yang penting Langit tidak kelaparan.
*****
Malam hari sekitar jam 9, Jefri baru saja pulang ke rumah dan langsung disambut hangat oleh Laras dengan senyuman manis juga perlakuan yang lembut.
Tidak ada percakapan apa pun karena Jefri segera berjalan ke arah kamar untuk mengambil pakaian ganti karena badannya sudah sangat lengket dan tanpa sadar menaruh ponsel di meja kecil dekat ranjang.
Saking buru-burunya Jefri melupakan ponsel itu, hingga membuat Laras penasaran dengan isi ponsel sang suami yang selama ini tidak pernah diletakkan sembarangan.
Saat Laras menekan tombol menyala, seketika matanya terbuka lebar dalam keadaan syok. Dia tidak menyangka bahwa wallpaper suaminya merupakan foto dari wanita lain.
Dari situlah kecurigaan Laras terhadap Jefri semakin kuat karena adanya teror foto yang ditemukan di depan rumah serta mertuanya yang selalu menginginkan perpisahan mereka.
Laras duduk di tepi ranjang dalam keadaan terdiam menunggu sang suami kelar mandi. Baru juga Jefri masuk ke dalam kamar sambil mengeringkan rambut sang istri berdiri dengan tatapan datar.
“Kenapa wajahmu begitu?” tanya Jefri bingung.
“Ini foto siapa, Mas? Wanita mana yang sedang kamu dekati, hem? Kenapa harus wanita ini yang menjadi wallpaper ponselmu, kenapa bukan fotoku atau foto Langit? Kenapa, Mas? Kenapa!”
Laras yang sudah menahan kekecewaannya dari tadi siang sampai-sampai masih menyangkal semua itu. Namun kembali yakinkan oleh foto wanita cantik itu.
Jefri yang terkejut melihat ponselnya ada di tangan Laras langsung mengambilnya dengan paksa dan menatap tajam ke arahnya.
“Dasar istri lancang. Bisa-bisanya kamu membuka privasiku, hahh!” pekik Jefri.
“Privasi kamu bilang, Mas? Setelah aku tahu semuanya perlakuanmu di belakangku kamu masih bilang kalau itu privasi? Iya!”
Sang suami tidak menyangka baru kali ini Laras berani meninggikan nada bicaranya persis seperti nada Jefri padanya.
Sorot mata Laras yang teramat kecewa dengan kebohongan Jefri selama ini, perlahan membuat sang suami takut karena sudah tertangkap basah.
Jika seseorang tidak bersalah maka dia akan menjelaskannya dengan baik dan menggunakan kepala dingin. Namun berbeda kalau orang tersebut melakukan kesalahan pasti malah akan berbalik marah untuk membela diri.
“A-apa maksudmu, hahh? Ka-kamu menuduhku selingkuh hanya karena wallpaper ini, iya?” bentak Jefri.
Laras tidak banyak berbicara. Dia mengambil bukti foto tadi siang dan memberikan di tangan Jefri dalam keadaan mata memerah menahan tangis.
“Foto itu akan membuktikan siapa yang menuduh dan siapa yang dituduh,” sahut Laras.
Jefri yang penasaran segera menaruh ponselnya di saku celana pendek, lalu membuka amplop tersebut. Betapa syoknya pria itu ketika mendapati fotonya bersama Dania bisa sampai di tangan Laras.
“Masih mau menyangkal, Mas? Sudah jelas wanita yang ada di foto itu dan wallpapermu adalah wanita yang sama. Itu artinya kamu ada main di belakang aku, iya, ‘kan? Aku minta Mas jawab jujur!”
Jefri mulai tersudutkan ketika sang istri telah mengetahui semua sifat busuknya. Memang benar selama beberapa tahun ini sang suami telah menjalin hubungan bersama Dania di belakang Laras.
Parahnya mereka sampai melakukan kontak badan untuk menyalurkan hasrat satu sama lain atas nama cinta. Cuma Jefri tidak ingin mengakuinya dan memilih untuk menyangkalnya.
“Sekarang jamannya teknologi canggih, Ras. Jangan bodoh jadi orang, foto bisa saja diedit, tapi buktinya mana? Apa kamu lihat dengan mata kepalamu sendiri, hahh? Nggak ‘kan, jadi jangan pernah menuduhku atau—”
“Atau apa, Mas? Kamu mengancamku, iya! Pantas Mama selalu menerorku dan mengatakan hal buruk mengenai, tanpa mengaca jika anaknya sendiri yang melakukan hal buruk dengan berselingkuh dengan wanita lain di saat istrimu sedang mengandung anak kedu—-”
Plakk!
Tamparan keras mendarat tepat di pipi kanan Laras hingga terjatuh tepat di atas ranjang. Sang istri menoleh dengan tatapan penuh kecewa sambil meneteskan air mata.
“Kamu benar-benar tega, Mas! Kamu tega!” teriak Laras disertai tangisan.
Jefri yang tak terima malah malah menarik rambut Laras dengan keras, membuat wajah sang istri mendongak ke atas.
“Awwshhh, sakit, Mas. Lepaskan aku, Mas, lepaskan hiks ….”
“Sekali lagi kamu mengatakan hal buruk tentangku juga mamaku, tidak segan-segan aku akan membuat perhitungan sama kamu. Ngerti!”
Jefri menghempaskan Laras di kasur, lalu meninggalkannya begitu saja dalam keadaan menangis.
Jika fisik yang disakiti Laras masih terima, tetapi ini masalah hati, kepercayaan, juga kesetiaan yang sudah dihancurkan. Haruskah dia bertahan ataukah menyerah dalam artian menyelamatkan mental juga anak-anaknya dari rumah tangga yang suda tidak sehat.
Laras yang merasakan perutnya keram hanya bisa menenangkan diri, meski rasanya begitu sakit. Dia tidak ingin sampai terjadi sesuatu pada sang anak yang ada di dalam kandungannya.
*****
Bersambung.