Pembalasan Istri Terbuang
Tek tek tek
Suara terdengar dari pisau yang beradu konstans dengan talenan. Suaranya berasal dari sebuah dapur yang tampak berantakan dengan asap yang mengepul dan wangi bumbu yang menyengat. Seorang wanita bertubuh tambun berhenti sejenak untuk mengirisan bawang saat matanya terasa begitu perih dan berair. Ia menyeka air matanya dengan bahunya lalu sedikit menengadah agar air matanya berhenti menetes.
Suara panci presto terdengar memekakkan telinga. Ia segera mematikan kompornya dan mengganjal tabung ventilasi panci itu dengan spatula kayu, uap pun langsung keluar. Sambil menunggu desisan panci itu berhenti, Anjani melanjutkan kegiatan memotong bawang merah yang belum ia rampungkan. Wajan penggorengan ia perhatikan benar, khawatir minyaknya terlalu panas.
“Daun bawangnya di potong panjang aja, jangan terlalu kecil. Gak cantik!” komentar seorang wanita yang baru menghampiri Anjani. Dia adalah Widi, ibu mertua sekaligus nyonya rumah di rumah besar ini. Wanita itu sudah terlihat segar dan cantik, berbanding terbalik dengan Anjani yang masih berbau bumbu. Hidupnya ia habiskan di dapur, menyiapkan menu makanan tiga kali sehari juga membuat kudapan yang diinginkan Widi serta anak bungsunya.
“Iya, Mah.” Anjani patuh saja. Meski di rumah ini ada beberapa ART, tetapi memasak tetap menjadi tugas utamanya. Bagi Widi, sia-sia membiayai Anjani kursus memasak kalau ilmunya tidak digunakan.
“Masih lama gak matengnya? Bentar lagi Cheryl datang loh.” Wanita itu memperhatikan meja hidang yang masih kosong.
“Sebentar lagi Mah, tinggal di plating. Mba, tolong ya....” Ia meminta bantuan ART yang sedari tadi hanya mematung memperhatikan Anjani memasak.
“Baik, Bu.” Seorang ART segera mendekat dan menata makanan di atas piring. Sudah empat menu yang matang dan keringat Anjani sudah berjatuhan. Mungkin ukurannya setara dengan bulir jagung.
Tidak lama, terdengar suara bell berbunyi. Anjani melihat jam dinding yang ada di depan matanya. Ternyata sudah jam tujuh malam. Rasanya ia sudah mengerahkan semua tenaganya, tetapi masih saja keteteran.
“Lelet kamu! Keburu datang kan Cheryl-nya.” Mata Widi mendelik tajam pada Anjani. Lantas beranjak untuk membukakan pintu.
Anjani hanya bisa terdiam melihat perlakuan mertuanya. Padahal dirinyalah yang menjadi menantu di rumah ini, tetapi Cheryl yang selalu ia puja-puja. Sungguh, ini menyakitkan. Namun, sekalipun ia kesal, tetap saja ia hanya bisa memendamnya dalam hati. Toh pada akhirnya tidak ada yang bisa ia lakukan. Meminta keadilan? Pada siapa?
Anjani bukan siapa-siapa di rumah ini. Hanya seorang menantu sekaligus istri yang tidak diinginkan oleh keluarga suaminya. Hanya satu orang yang selalu berbuat baik pada Anjani dan menyayanginya dengan tulus, yaitu kakek mertuanya yang meninggal tiga bulan lalu.
“Tanteee... apa kabar?” suara itu masih bisa didengar oleh Anjani.
Suara manja khas milik Cheryl, seorang artis terkenal. Gadis bermata cokelat itu menjadi model iklan di perusahaan milik suaminya. Sudah sebulan ini Cheryl sering datang ke rumah untuk sekadar bertemu Widi dan sesekali menginap. Kalau di hitung-hitung, satu minggu ini sudah dua kali Cheryl menginap. Alasannya karena ia merasa kesepian di apartemennya, tinggal jauh dari orang tuanya yang ada di Yogyakarta.
“Baik dong. Cheryl keliatan makin cantik aja sih. Perawatan di mana?” Widi yang penasaran mengusap pipi mulus bersemu kemerahan milik gadis itu.
“Biasa Tan, ada klien yang pengen tempat usahanya di promoin. Dia ngasih tawaran kerja sama, ya aku coba dulu perawatan di sana. Kalau bagus, baru aku terima. Menurut Tante, hasilnya bagus gak?” Gadis itu memamerkan kulitnya yang lembut seperti ****^* bayi, berpadu dengan lesuk pipi yang menawan. Terlihat cantik saat ia tersenyum.
“Cantik banget... kapan-kapan ajak tante ke sana dong, tante juga pengen perawatan, perasaan muka tambah kendur aja.” Widi menekan-nekan pipinya yang sudah tidak sekencang dahulu.
“Sip! Nanti Cheryl ajak Tante ke sana.”
“Makasih Cheryl.” Widi tersenyum senang mendengar ajakan gadis berambut cokelat itu.
“Kak Andrew mana Tan, belum pulang kerja?” Cheryl celingukan mencari keberadaan Andrew, anak pertama keluarga Sanjaya, alias suami Anjani.
“Udah pulang kok. Bentar biar di panggilin.” Kalau sudah begini, sudah pasti Anjani yang diminta memanggilkan suaminya.
“Jani, panggil suamimu. Masaknya udah selesai kan?” benar bukan. Anjani lah sasaran mepuk untuk ia suruh-suruh.
“Iya, Mah.” Anjani segera mengelap tangannya dengan serbet. Lantas berjalan cepat menuju tangga ke lantai dua. Saat Anjani melintas di depan Cheryl, gadis itu tidak berniat menyapa sedikitpun, lebih memilih memalingkan wajahnya sambil terkekeh geli bersama Widi, melihat cara jalan wanita bertubuh gempal yang menurutnya mirip pinguin.
“Itu gak apa-apa Tan, nyuruh dia yang manggil?” Cheryl bahkan enggan menyebut nama Anjani.
“Biarin aja biar kurusan. Tante sesak tiap waktu liat badan dia yang segede lemari kristal begitu.” Widi ikut mendelik melihat Anjani yang kesulitan menaiki anak tangga. Baru empat anak tangga saja napasnya sudah ngos-ngosan. Masih ada sekitar delapan anak tangga lagi untuk sampai ke lantai dua.
“Cepetan doang, udah mau lewat nih jam makan malam!” Widi bersuara dengan sinis. Siapa lagi yang ia maksud kalau bukan Anjani.
“Iya, Mah.” Seperti orang bodoh, Anjani hanya bisa menurut saja.
Tiba di depan kamarnya, Anjani hendak mengetuk pintu kamar. Ia masih berusaha mengatur napasnya yang memburu. Tetapi tiba-tiba saja pintu terbuka dan menampakkan sesosok pria berkacamata dengan tampilan wajah yang segar dan bersih. Wangi parfumnya juga menyengat segar.
Dialah Andrew, suami Anjani. Laki-laki yang sangat sempurna, dengan mata hitam pekat yang tajam, hidung yang bangir, bibir yang berisi juga rahang yang kokoh. Alisnya yang rapi tampak menarik saat berkerut seperti itu. Kekurangannya hanya satu, sikapnya terlalu dingin.
“Mau apa kamu?” Cara bicara Andrew memang tidak berbeda jauh dengan cara berbicara Widi.
“Em, itu Mamah manggil buat makan malam, Mas.” Meski begitu, tatapan dingin Andrew selalu berhasil membuat jantung Anjani berdebar kencang.
Pria bertubuh atletis itu tidak menimpali, membiarkan Anjani tersenyum kelu hingga giginya kering. Ia memilih turun untuk makan malam.
“Kak Andrew!!!” Seruan manja itu datangnya dari Cheryl. Dia berhambur memeluk Andrew dan cium pipi kanan kiri tanpa ragu.
Anjani mengintip dari atas. Ia melihat Cheryl bergelayut manja di lengan kokoh suaminya. Hati Anjani meringis melihat sikap Cheryl. Tidak hanya satu kali ini, tetapi sudah berkali-kali Cheryl melakukan hal ini dihadapannya dan ibu mertuanya tanpa rasa ragu atau malu. Yang lebih membuat mencelos, Widi malah tersenyum, ikut senang melihat interaksi akrab dan hangat antara Cheryl dengan putra sulungnya. Salahkah kalau seorang Anjani cemburu dan merasa tidak ada artinya di rumah ini?
Tanpa sadar, air mata Anjani menetes begitu saja saat melihat tangan Andrew dengan ringan melingkar di pinggang ramping Cheryl. Mereka melenggang kangkung menuju meja makan yang sudah terisi penuh makanan.
Anjani hanya bisa mengelus dadanya dengan hati yang pedih. Lantas mengusap air matanya dengan kasar. Semua sikap manis Andrew pada Cheryl begitu nyata di depan matanya, sementara sebagai seorang istri, ia tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu.
“Mas, kamu kok tega? Aku istri kamu, masih bernapas dan memiliki perasaan.” Hati Anjani gemetar saat lisannya berucap. Ia menggigit bibirnya kelu, meraup udara dalam-dalam untuk menyabarkan hatinya yang bergejolak.
“Anjani! Di mana kamu?” panggil Widi dengan suara lantang dari bawah sana.
Haruskah Anjani turun dan menemui mereka?
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Ririn
duhhh sakit banget yah Jan...
udh tinggalin aja si belatung
banyak pria yg baik diluar sana
2023-09-04
0
Bunda dinna
Pingin punya istri cantik dan wangi seperti artis sangat mudah,,suami harus mau keluar modal..
2023-07-12
5
Nana
Baru baca part awal udah gemes bangeeet skaligus kesel.... semangat anjani🤗
2023-07-12
4